Lian Hearn Kisah Klan Otori Grass for the Pillow Download Ebook Jar Lainnya Di http://zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net PENGANTAR PERISTIWA dalam buku kedua ini terjadi setelah kematian Lord Otori Shigeru di kastil Tohan di Inuyama. Pemimpin Klan Tohan, lida Sadamu, telah dibunuh dalam usaha balas dendam yang dilakukan anak angkat Shigeru, Otori Takeo, atau begitulah yang diyakini oleh orang banyak. Sedangkan penggulingan Tohan dilakukan Arai Daiichi, seorang bangsawan Klan Seishuu dari Kumamoto, yang memanfaatkan chaos setelah kejatuhan Inuyama untuk menguasai Tiga Negara. Arai berharap dapat membentuk persekutuan dengan Takeo dan berencana menikahkan pemuda itu dengan Shirakawa Kaede yang kini menjadi pewaris Klan Maruyama dan Klan Shirakawa. Tetapi, kegalauan antara amanat terakhir Shigeru dan tuntutan keluarga ayah kandungnya, yaitu Tribe Kikuta, membuat Takeo menyerahkan hak waris dan pernikahannya dengan Kaede, gadis yang sangat dia cintai. Dia pun pergi bersama Tribe, karena merasa ada ikatan darah dan juga karena dia telah bersumpah setia. Lord Otori Shigeru dimakamkan di Terayama, di biara terpencil yang terletak di jantung Negara Tengah. Setelah pertempuran di Inuyama dan Kushimoto, Arai datang ke biara untuk memberi penghormatan pada sekutunya yang telah tewas sekaligus hendak menegaskan persekutuan baru. Di tempat inilah Takeo dan Kaede bertemu untuk terakhir kalinya. SATU SHIRAKAWA KAEDE tertidur nyenyak hingga nyaris tidak sadarkan diri akibat tidur Kikuta yang dihantarkan melalui tatapan. Malam berlalu, bintang-bintang memucat seiring fajar tiba, suara-suara dari kuil datang dan pergi, namun dia tetap tidak bergerak. Dia tak mendengar suara Shizuka yang memanggil dengan cemas, berusaha membangunkan. Dia tidak merasakan elusan Shizuka di keningnya. Dia tidak mendengar anak buah Lord Arai Daiichi datang dengan ketidaksabaran yang memuncak, mengatakan pada Shizuka bahwa pemimpin itu sedang menunggu untuk berbicara dengan Lady Shirakawa. Napas Kaede terdengar damai dan tenang, sosoknya diam tak bergerak layaknya topeng. Menjelang sore, terjadi perubahan pada diri Kaede. Kelopak matanya bergerak dan bibirnya menampakkan senyuman. Bersabarlah. Dia akan datang kepadamu. Kaede bermimpi dirinya membeku. Kata-kata jernih bergema di kepalanya. Ia tidak merasa takut, ia hanya merasa seperti ditahan sesuatu yang dingin dan putih di dunia yang hening, membeku, dan mempesona. Mata Kaede bergerak membuka. Hari masih terang. Dari bayangan di dalam ruangan, Kaede tahu bahwa hari beranjak sore. Lonceng angin berdentang lembut, satu kali, lalu tenang kembali. Hari saat ingatannya belum pulih pasti hangat karena kulit kepalanya terasa lembab. Ia mendengar kicau burung di atap, dan capitan burung layang-layang saat menangkap serangga terakhir di sore itu. Segera saja hewan-hewan itu terbang ke selatan. Musim gugur telah tiba. Kicau burung mengingatkan Kaede pada lukisan pemberian Takeo, sketsa burung yang membuat ia berpikir tentang kebebasan; lukisan itu hilang bersama semua barangnya, kimono pengantin dan pakaian lainnya, di saat kastil Inuyama terbakar. Kini ia tidak punya satu barang pun. Shizuka akhirnya menemukan beberapa kimono tua di tempat mereka menginap setelah peristiwa itu, dan meminjam sisir serta beberapa perlengkapan lain. Inilah pertama kali Kaede berada di rumah yang berbau kedelai fermentasi, penuh orang yang berusaha menjauh, meskipun terkadang ada pelayan mengintip melalui jendela. Ia takut orang tahu apa yang terjadi pada malam kejatuhan kastil. Ia telah membunuh seorang laki-laki, dan tidur dengan laki-laki lainnya. Ia telah bertarung dengan menggunakan pedang orang yang ia bunuh. Ia merasa tidak yakin telah melakukan hal itu. Terkadang ia merasa seperti tersihir. Orang-orang membicarakan tentang dirinya, bahwa setiap laki-laki yang menginginkan dirinya akan mati-dan memang benar. Semua laki-laki itu telah mati. Kecuali Takeo. Sejak dilecehkan seorang penjaga saat masih menjadi iawanan di kastil Noguchi, Kaede selalu takut pada laki-laki. Rasa takut pada Iida yang telah mendorongnya untuk bertahan melawan laki-laki itu; namun ia tidak takut pada Takeo. Ia hanya ingin memeluk erat pemuda itu. Sejak berjumpa di Tsuwano, ia mendambakan Takeo. Ia ingin Takeo menyentuhnya, ia ingin merasakan kulit Takeo menyentuh kulitnya. Kini, saat mengenang malam itu, ia sadar dengan kejernihan baru bahwa ia tak akan menikah dengan orang lain selain Takeo, ia tak akan mencintai seorang pun kecuali pemuda itu. Aku akan bersabar, janjinya. Namun, dari mana kata-kata itu berasal? Kaede menengok dengan perlahan dan ia melihat Shizuka sedang di tepi beranda. Tak jauh dari pelayannya itu ada pohon yang telah berumur ribuan tahun. Udara beraroma kayu cedar dan debu. Lonceng biara membunyikan jam malam. Kaede tidak bicara. Ia tidak ingin bicara atau mendengar apa pun. Ia hanya ingin kembali ke tempat es tadi, ke tempat saat ia tertidur. Kemudian, selain debu yang melayang-layang di cahaya mentari sore, ia melihat sesuatu: sesosok roh, pikirnya, hanya saja sosok itu bukan roh karena berwujud; sosok itu ada di sana, begitu nyata, berkilauan bak butiran salju. Ia memandang, setengah terbangun, tapi begitu mengenali sosok wanita itu, Dewi Putih, Sang Pengasih, Sang Pengampun itu pun menghilang. "Apa itu?" Shizuka mendengar gerakan dan langsung berlari ke sisi Kaede. Kaede menatap Shizuka dan melihat kekhawatiran yang mendalam di mata pelayannya itu. Ia sadar betapa berharganya orang ini baginya, dialah sahabat terdekat, satu-satunya sahabat. "Tidak. Hanya mimpi." "Kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?" "Entahlah. Aku merasa.... " suara Kaede menghilang. Ia menatap Shizuka beberapa saat. "Aku tertidur seharian? Apa yang terjadi?" "Tidak seharusnya dia lakukan itu padamu," kata Shizuka, suaranya cemas dan juga marah. "Takeo?" Shizuka mengangguk. "Aku tidak tahu kalau dia memiliki kemampuan itu. Itu adalah salah satu kemampuan Kikuta." "Yang kuingat hanya matanya. Kami bertatapan lalu aku tertidur." Setelah diam sejenak, Kaede melanjutkan, "Dia sudah pergi?" "Pamanku, Muto Kenji, dan ketua Kikuta, Kotaro, telah menjemputnya kemarin malam," balas Shizuka. "Dan aku tak akan bertemu dengannya lagi?" Kaede ingat keputusasaannya di malam sebelumnya, sebelum tidur nyenyak, sebelum tidur panjang. Ia memohon pada Takeo untuk tak meninggalkannya. Ia mencemaskan masa depan dirinya tanpa Takeo; juga marah dan terluka oleh penolakan pemuda itu. Namun semua pergolakan hatinya musnah sudah. "Kau harus lupakan dia," kata Shizuka, meraih dan mvngusap tangan Kaede dengan lembut. "Sejak saat ini hidupnya dan hidupmu tak akan bersentuhan." Kaede tersenyum samar. Aku tidak bisa melupakannya, pikir Kaede. Tak akan ada yang dapat merebutnya dariku. Aku pernah tidur dalam kebekuan. Aku telah melihat Dewi Putih. "Kau baik-baik saja?" desak Shizuka. "Tidak banyak orang yang bertahan dari tidur Kikuta-mereka biasanya mati tanpa pernah sadar. Apa yang terjadi padamu?" "Tidur itu tak berbahaya bagiku. Bahkan telah mengubahku. Aku merasa seperti tidak tahu apa-apa. Seolah-olah aku harus mempelajari semuanya dari awal lagi." Shizuka berlutut, bingung, matanya mencari-cari di wajah Kaede. "Apa yang hendak kau lakukan sekarang? Ke mama kau akan pergi? Kau akan ikut Arai ke Inuyama?" "Aku harus pulang. Aku harus menengok ibuku. Aku takut dia meninggal selama kita di Inuyama. Aku akan herangkat pagi-pagi. Kuharap kau bisa menyampaikannya pada Lord Arai." "Aku mengerti kecemasanmu," balas Shizuka. "Tapi Arai mungkin keberatan membiarkanmu pergi." "Baiklah, aku yang akan membujuknya," kata Kaede tenang. "Pertama-tama aku harus makan. Maukah kau meminta pelayan menyajikan makanan? Dan juga teh." "Lady," Shizuka membungkuk lalu melangkah keluar beranda. Saat Shizuka pergi, Kaede mendengar senandung pilu dari alunan seruling, namun peniupnya tidak terlihat karena alunan itu berasal dari taman di belakang biara. Ia bisa menebak si peniup seruling, biarawan muda yang menyambut rombongan Kaede saat pertama kali tiba di biara untuk melihat lukisan Sesshu, tapi ia tidak ingat nama pemuda itu. Alunan seruling seakan mengisahkan tentang penderitaan dan kerinduan yang tak tertahankan. Dedaunan bergoyang ketika hembusan angin semakin kencang, burung hantu di pegunungan mulai bersahutan. Shizuka datang membawa teh kemudian menuangkan secangkir untuk Kaede. Ia meminumnya seakan baru pertama kali minum teh, seakan setiap tetes memiliki citarasa yang berbeda. Dan ketika pelayan tua membawakan nasi dan sayuran yang dimasak dengan tofu (tahu), ia seakan belum pernah mencicipi hidangan itu. Ia terkagum-kagum karena kekuatan baru yang bersemayam dalam dirinya. "Lord Arai ingin bertemu denganmu sebelum malam," kata Shizuka. "Aku sudah menyampaikan bahwa kau belum sehat, tapi dia memaksa. Bila kau tidak ingin menemuinya, akan kusampaikan padanya." "Kurasa kita tidak bisa memperlakukan dia seperti itu," kata Kaede. "Bila dia memberi perintah, aku harus patuh." "Dia sangat marah," kata Shizuka dengan nada rendah. "Dia tersinggung dan marah atas kepergian Takeo. Dia merasa kehilangan dua sekutu penting. Kini hampir dipastikan dia harus bertempur melawan Otori tanpa Takeo di pihaknya. Dia berharap pernikahanmu" "Jangan bicara itu lagi," sela Kaede. Ia menghabiskan nasi terakhirnya, metakkan sumpit dan membungkukberterima kasih atas hidangannya. Shizuka menghela napas panjang. "Arai tidak tahu banyak tentang Tribe, cara kerja mereka, tuntutan yang mereka tetapkan atas apa yang menjadi milik mereka." "Dia tahu kau orang Tribe?" "Dia tahu aku selalu memiliki cara untuk mengirimkan pcsan-pesannya. Dia cukup senang dapat memanfaatkan keahlianku guna membentuk persekutuan dengan Lord Shigeru dan Lady Maruyama. Dia hanya tahu tentang Tribe seperti kebanyakan orang lain, dia pikir mereka hanya sekadar orang suruhan. Keterlibatan Tribe dalam kematian Iida membuatnya kaget, meskipun dia diuntungkan dengan peristiwa itu. "Shizuka diam sejenak, lalu melanjutkan. "Kini dia tidak mempercayaiku lagi-kurasa dia pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin dia tidur denganku tanpa berpikir akan dibunuh. Yah, kami sudah dipastikan tak akan bersama lagi. Kini semuanya telah berakhir." "Kau takut? Apakah dia mengancammu?" "Dia murka," balas Shizuka. "Dia menganggap aku telah berkhianat, lebih buruk lagi, dia merasa diperbodoh. Kurasa dia tak akan memaafkan aku." Nada pahit terdengar dalam suaranya. "Sejak beranjak dewasa, aku telah menjadi kekasih, sahabat dan orang kepercayaannya. Aku telah melahirkan dua anak laki-lakinya. Tapi, dia pasti akan menghukum mati aku bila tidak ada kau." "Akan kubunuh orang yang berani mencelakaimu," kata Kaede geram. Shizuka tersenyum. "Kau kelihatan galak sekali saat mengatakan itu!" "Laki-laki mati dengan mudah," ujar Kaede datar. "Dari tusukan jarum atau tikaman belati. Kau yang mengajariku." "Tapi kuharap kau tidak menggunakan semua keahlian itu," balas Shizuka. "Meskipun kau bertarung sangat baik di Inuyama. Takeo berhutang nyawa padarriu." Kaede terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada rendah, "Aku tidak hanya bertarung menggunakan pedang. Kau tidak tahu seluruh kejadiannya." Shizuka menatapnya. "Apa maksudmu? Apakah kau yang membunuh Iida?" bisiknya. Kaede mengangguk. "Takeo memenggal kepala lida setelah orang itu mati. Aku lakukan apa yang kau ajarkan. Dia hendak memperkosa aku." Shizuka mencengkram tangan Kaede. "Jangan sampai ada yang tahu! Tak seorang ksatria pun, termasuk Arai, akan membiarkanmu hidup." "Aku tidak menyesal," kata Kaede. "Aku tidak melakukan tindakan yang memalukan. Itu bukan hanya untuk melindungi diriku, tapi juga untuk membalaskan kematian Lord Shigeru, Lady Maruyama dan anaknya, serta semua orang yang tidak bersalah tapi disiksa dan dibunuh Iida." "Meskipun begitu, bila hal ini diketahui orang lain, kau akan dihukum. Laki-laki akan menganggap dunia sudah terbalik bila perempuan mulai mengangkat senjata dan membalas dendam." "Duniaku memang sudah terbalik," kata Kaede. "Tetap saja aku akan menemui Lord Arai. Ambilkan... " ucapannya terputus, kemudian dia tertawa, 'Aku hendak mengatakan, 'ambilkan pakaianku,' padahal aku tidak punya. Aku tidak punya apa-apa!" "Kau masih punya seekor kuda," balas Shizuka. "Takeo memmberikan kudanya untukmu." "Dia memberiku Raku?" Kaede tersenyum, senyuman yang membuat wajahnya cerah. Tatapan Kaede menerawang jauh, matanya kelam dan berpikir. "Lady?" Shizuka menyentuh bahu Kaede. "Sisirkan rambutku, dan sampaikan pada Lord Arai kalau aku akan segera menemuinya." Hari hampir gelap gulita saat mereka meninggalkan kamar khusus perempuan, dan berjalan ke ruang tamu utama tempat Arai dan anak buahnya menginap. Lampu-lampu bercahaya dari arah biara, dan jauh di atas bukit orang-orang berdiri mengelilingi makam Lord Shigeru dengan membawa obor. Orang masih berdatangan untuk berziarah, membawa dupa dan sesembahan, meletakkan lampu dan lilin di sekitar batu nisan, meminta pertolongan pada arwah Shigeru yang kian hari kian dianggap sebagai dewa. Dia tidur dalam liputan api, pikir Kaede sambil mendoakan arwah Shigeru, meminta petunjuk. Di saat yang sama ia memikirkan apa yang hendak dikatakan pada Arai. Ia adalah pewaris Klan Shirakawa dan Maruyama; ia sadar Arai ingin bersekutu dan mengikat dirinya melalui pernikahan untuk menambah sekutu. Ia dan Arai beberapa kali bicara di Inuyama dan selama di perjalanan, tapi perhatian Arai lebih tertuju pada pengamanan wilayah dan strateginya di masa depan. Arai tidak membahas hal itu, kecuali saat menunjukkan keinginannya untuk segera menikahkan Kaede dengan Takeo. Sebelumnya-rasanya sudah lama sekali-ia hanyalah bidak di tangan ksatria yang menentukan nasibnya. Kini, dengan kekuatan baru yang ia peroleh setelah tidur es, ia memutuskan untuk mengambil kendali atas hidupnya. Aku perlu waktu, pikirnya. Aku tidak boleh tergesa-gesa. Aku harus pulang dulu sebelum mengambil keputusan. Seorang pengawal Arai-ia ingat laki-laki itu bernama Niwa-menyambutnya di ujung beranda dan membimbingnya hingga ke pintu. Semua jendela terbuka. Arai duduk di ujung ruangan bersama tiga anak buahnya. Niwa menyebut nama Kaede dan bangsawan itu menatap gadis yang pernah ditolongnya itu. Selama beberapa saat mereka saling mengamati. Kaede menangkap tatapan Arai, dan merasakan kekuatan orang itu berdenyut di nadinya. Kaede lalu berlutut dan membungkuk, meskipun membenci sikap tubuhnya, namun ia sadar bahwa kedatangannya untuk memenuhi panggilan. Arai balas membungkuk, dan mereka berdua duduk tegak bersamaan. Kaede merasakan tatapan laki-laki itu pada dirinya. Kaede mengangkat kepala dan memberi pandangan tidak gentar yang sama sehingga Arai mengalihkan pandangan ke tempat lain. Jantung Kaede berdebar kencang karena keberanian dirinya. Kaede melihat perubahan di wajah Arai, berbeda dari orang yang dulu pernah ia kenal. Garis-garis di sekitar mulut dan mata bangsawan itu semakin dalam. Dulu Arai pragmatis dan luwes, tapi kini dia dalam cengkraman nafsu kekuasaan. Ukuran tubuh dan kekuatan Arai membuat Kaede gemetar, mengingatkannya saat-saat ketidakberdayaannya dipelukan Iida, pada kekuatan laki-laki yang memaksa perempuan dengan cara yang mereka inginkan. Jangan berikan mereka kesempatan untuk menggunakan kekuatan itu, muncul pikiran itu, lalu, Selalu memegang senjata. Kaede merasa ada sesuatu di mulutnya, semanis buah persik, sekuat aliran darah, pengetahuan dan kekuatan. Inikah yang mendorong laki-laki saling bertempur tiada henti, untuk saling memperbudak dan menghancurkan? Mengapa perempuan tidak punya itu? Ia memandang tubuh Arai, di bagian tubuh yang sama tempat jarum dan belati menusuk Iida, menyerahkan tubuh Lord Iida ke dunia yang selama ini dia dominasi dan membiarkan darah kehidupannya mengalir keluar. Aku tak boleh lupa itu, ia berkata pada diri sendiri. Laki-laki pun bisa dibunuh perempuan. Aku telah membunuh ksatria paling berkuasa di Tiga Negara. Selama ini Kaede dididik agar patuh pada laki-laki: tunduk pada keinginan dan kecerdasan mereka. Jantung Kaede berdebar begitu kencang sehingga ia merasa hendak pingsan. Ia menghela napas panjang, seperti yang Shizuka ajarkan, dan merasakan darah berdesir di urat nadinya. "Lord Arai, esok aku hendak ke Shirakawa. Aku akan sangat berterima kasih jika kau menyediakan pengawal untuk menemaniku pulang." "Aku lebih senang bila kau tetap di Timur," kata Arai, perlahan. "Tapi, bukan itu yang hendak kubicarakan." Matanya menyipit saat memandang Kaede. "Ini tentang menghilangnya Otori. Bisakah kau memberi secercah cahaya tentang kejadian di luar dugaan ini? Aku yakin aku telah menegaskan hakku untuk berkuasa. Aku telah bersekutu dengan Shigeru. Bagaimana mungkin si Otori muda tidak mengindahkan semua kewajibannya padaku dan juga pada mendiang ayahnya? Bagaimana mungkin dia ingkar dan pergi begitu saja? Dan kemana dia pergi? Seharian orang-orangku mencarinya hingga ke Yamagata. Dia benar-benar menghilang." "Aku tidak tahu di mana dia," jawab Kaede. "Aku dengar kau berbicara dengannya di malam dia pergi." "Ya," jawab Kaede singkat. "Setidaknya dia pasti telah mengatakan.... " "Dia terikat oleh kewajiban lain." Kaede merasa kesedihan merayap dalam dirinya. "Dia tidak bermaksud menghinamu." Meskipun ia tak ingat kalau Takeo menyebut tentang Arai, tapi ia tidak mengatakan hal itu. "Kewajiban pada Tribe?" Kini kemarahan terdengar dalam nada bicaranya, terlihat di matanya. Arai menggerakkan kepala dengan perlahan, dan Kaede menduga dia menatap melewati dirinya ke arah Shizuka yang sedang berlutut di beranda yang gelap. "Apa yang kau tahu tentang mereka?" "Sangat sedikit," balas Kaede. "Berkat bantuan mereka sehingga Lord Takeo berhasil memanjat kastil Inuyama. Kurasa kita semua berhutang budi pada mereka." Menyebut nama Takeo membuat Kaede gemetar. Ia teringat sensasi tubuh pemuda itu saat mereka berdua berharap untuk mati. Mata Kaede kian gelap, wajahnya melembut. Arai menyadari perubahan itu namun tidak tahu alasannya. Ketika Arai bicara, sekali lagi Kaede mendengar sesuatu yang berbeda pada suara Arai, bukan kemarahan. "Pernikahan akan dirancang untukmu. Ada pemuda Otori lain, sepupu Shigeru. Aku akan utus orang ke Hagi." "Aku masih berduka atas kematian Lord Shigeru," balas Kaede. "Aku belum berpikir untuk menikah. Aku ingin dulu pulang untuk menghapus kesedihanku." Adakah orang yang mau menikahiku setelah mereka mengetahui reputasiku? Kaede bertanya dalam hati, dan tidak kuasa menahan pikiran berikutnya, Tapi Takeo tidak mati. Kaede menduga Arai akan berdebat lebih jauh, tapi setelah beberapa saat, dia menyetujui. "Mungkin yang terbaik bila kau mengunjungi orangtuamu. Aku akan memanggilmu saat aku kembali ke Inuyarna, lalu kita bahas tentang pernikahanmu." "Kau hendak menjadikan Inuyama sebagai ibukota?" "Ya, aku bermaksud membangun kembali kastil itu." dalam cahaya yang berkelip-kelip, wajah Arai nampak mengeras dan sedih. Kaede diam. Tiba-tiba Arai berkata lagi. "Tapi kembali ke soal Tribe. Selama ini aku tidak menyadari pengaruh mereka yang begitu kuat. Mereka bisa membuat Takeo mengabaikan pernikahan, persekutuan, dan bahkan menyembunyikannya. Jujur saja, aku tak tahu sedang berurusan dengan apa." Dia kembali memandang ke kejauhan, ke arah Shizuka. Dia akan membunuh Shizuka, pikir Kaede. Dia bukan hanya marah atas ketidakpatuhan Takeo. Harga dirinya pasti juga terluka. Dia pasti mencurigai Shizuka telah memata-matainya selama ini. Kaede bertanya-tanya apa yang terjadi pada cinta dan hasrat yang pernah terjalin di antara mereka. Akankah semua itu hancur dalam sekejap? Apakah pelayanan, kepercayaan, dan kesetiaan selama bertahun-tahun akan berakhir dengan sia-sia? "Aku akan selidiki mereka," Arai melanjutkan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Pasti ada orang yang tahu, pasti ada orang yang akan bicara. Aku tak bisa membiarkan kelompok seperti itu ada. Mereka akan meremehkan kekuasaanku ibarat rayap mengunyah kayu." Kaede berkata, "Aku yakin kau yang mengirim Muto Shizuka untuk melindungiku. Aku berhutang nyawa atas perlindungan itu. Dan aku yakin kalau aku memegang kesetiaanku padamu saat di kastil Noguchi. Ada ikatan kuat di antara kita dan itu tidak boleh dirusak. Siapa pun yang kunikahi kelak akan bersumpah setia kepadamu. Shizuka akan tetap melayaniku, dan akan ikut bersamaku ke rumah orangtuaku." Arai menatapnya, dan sekali lagi Kaede membalas tatapan itu. "Hampir tiga belas bulan sejak aku membunuh seorang penjaga demi keselamatanmu," ucapnya. "Saat itu kau hanyalah gadis cilik. Kau telah berubah.... " "Aku dipaksa menjadi dewasa," balas Kaede, berusaha untuk tidak memikirkan kimono pinjamannya. Aku pewaris daerah kekuasaan besar, kata Kaede dalam hati. Ia terus balas menatap sampai akhirnya Arai memalingkan wajah dengan enggan. "Baiklah. Aku akan menyuruh beberapa pengawal wanita menemanimu ke Shirakawa, dan kau boleh bawa perempuan Muto itu." "Lord Arai." Di saat itulah ia berhenti menatap karena membungkuk. Arai lalu memanggil Niwa untuk menyusun rencana besok, dan Kaede mengucapkan selamat malam, berbicara dengan nada yang patuh. Ia merasa seperti baru keluar dari sumur musuh; ia menyadari bahwa semua kekuatan ada di pihak bangsawan itu. Dia kembali ke kamar perempuan bersama Shizuka, kedanya diam membisu. Seorang pelayan tua, yang telah tnrmbentangkan kasur, datang lagi membawa pakaian Kaede, dan membantu Shizuka melepas pakaian Kaede. Stelah mengucapkan selamat malam, pelayan itu lalu mengundurkan diri, kembali ke kamar sebelah. Shizuka tampak pucat dan tingkahnya lebih lesu dari yang pernah Kaede tahu. Dia menyentuh lengan Kaede dan berbisik, "Terima kasih," lalu dia diam. Saat berbaring dibalik selimut katun, saat nyamuk-nyamuk berdengung mengitari kepala mereka dan laron-laron menubruk-nubruk lampu, Kaede merasakan pelayannya itu diam bak patung di sebelahnya. Kaede sadar kalau Shizuka sedang bertarung melawan kesedihannya, tapi dia tidak menangis. Kaede mengulurkan tangan dan memeluk Shizuka, mendekapnya erat tanpa bicara. Ia berbagi kesedihan yang mendalam tanpa menitikkan air mata. Ia berniat untuk tidak membiarkan apa pun melemahkan kekuatan yang tumbuh dalam dirinya.* DUA KEESOKAN paginya, beberapa tandu dan pengawal telah disiapkan untuk mengiringi Kaede dan Shizuka. Mereka berangkat begitu matahari menampakkan diri. Teringat akan nasihat kerabatnya, Lady Maruyama, Kaede pun melangkah perlahan ke dalam tandu seolah ia rapuh dan tak bertenaga seperti kebanyakan perempuan. Sebelumnya ia telah menyuruh tukang kuda membawa serta kuda Takeo dari istal. Setelah mereka di jalan, Kaede membuka tirai kertas lilin agar dapat memandang keluar. Gerakan tandu yang berayun-ayun membuat Kaede menderita, dan meskipun bisa melihat-lihat pemandangan, tetap saja tidak berhasil mencegah rasa mual yang datang menghampiri dirinya. Di tempat pemberhentian pertama, di Yamagata, Kaede merasa begitu pusing sehingga hampir tidak sanggup berjalan. Ia bahkan tidak sanggup melihat makanan, dan saat meneguk teh, ia langsung muntah. Badan yang lemas membuat ia kesal, dan meruntuhkan kekuatan yang baru ia peroleh. Shizuka lalu menuntunnya ke kamar kecil di penginapan, kemudian membasuh muka Kaede dengan air dingin, dan membantu membaringkannya sejenak. Rasa mual berlalu secepat datangnya, dan Kaede akhirnya bisa makan sedikit sup kacang merah dan mangkuk teh. Ketika melanjutkan perjalanan, tenda yang berwarna hitam kembali membuatnya mual. "Ambilkan kudaku," pintanya. "Aku ingin menunggang kuda." Penjaga kuda membantunya menaiki punggung Raku, sedangkan Shizuka melompat dengan gesit di belakangpyn, dan mereka berkuda tanpa banyak bicara. Masing-masing terbalut dalam pikirannya, tapi keduanya merasa nyaman karena kedekatan satu sama lain. Setelah keluar dari wilayah Yamagata, jalan mulai menanjak. Sepanjang jalan dipenuhi bebatuan datar yang berukuran raksasa. Sudah ada tanda-tanda musim gugur, meskipun langit nampak biru cerah dan udara hangat. Pohon beech, sumac, dan maple mulai berubah keemasan dan merah tua. Kumpulan angsa liar terbang tinggi di atas mereka. Hutan semakin lebat, tenang dan tak berangin. Raku berjalan pelan, kepala hewan itu menunduk saat melewati jalan setapak. Para pengawal waspada dan gelisah. Sejak runtuhnya Tohan, daerah pedalaman penuh orang tak bertuan yang berasal dari berbagai kalangan. Mereka memilih untuk menjadi bandit ketimbang harus bersumpah setia kepada pemimpin baru. Raku adalah kuda yang kuat dan sigap. Panas dan jalan menanjak membuat bulu kuda itu nyaris gelap karena keringat tatkala berhenti lagi di rumah peristirahatan kecil di puncak gunung. Hari beranjak siang. Kuda diberi makan dan minum, para pengawal beristirahat di bawah pepohonan yang rindang di sekitar sumur, dan seorang perempuan tua menggelar kasur tipis di lantai kamar yang dilapisi tikar agar Kaede dapat beristirahat. Kaede lalu berbaring, bersyukur dapat meregangkan badan. Cahaya di kamar remang-remang kehijauan. Pohon cedar raksasa menutupi sebagian besar pemandangan. Di kejauhan ia mendengar percikan dari sumber air, dan suara pengawal yang berbincang perlahan, terkadang tertawa meledak. Shizuka sedang berbincang dengan seseorang di dapur, dan Kaede senang temannya itu telah bersemangat kembali. Tapi kemudian Shizuka berbicara pelan, dan orang yang dia ajak bicara menanggapinya juga dengan pelan sehingga Kaede tak bisa lagi menangkap pembicaraan mereka. Setelah beberapa saat, Shizuka masuk diam-diam ke dalam ruangan, dan berbaring di samping Kaede. "Kau bicara dengan siapa tadi?" Shizuka berbalik sehingga dapat berbisik langsung ke telinga Kaede. "Sepupuku bekerja di tempat ini." "Sepupumu ada di mana-mana." "Itulah Tribe." Setelah diam sejenak, Kaede lalu berkata, "Jangan sampai ada yang mengetahui jati dirimu yang sebenarnya sehingga mereka ingin.... " "Ingin apa?" "Yah, melenyapkanmu." Shizuka tertawa. "Tak ada yang berani. Kami punya lebih banyak cara untuk melenyapkan mereka. Lagi pula, tak ada yang tahu tentang jati diri kami secara pasti. Mereka mungkin saja curiga, tapi mungkin kau sudah tahu, pamanku Kenji dan aku bisa tampil dalam berbagai macam penyamaran. Tribe itu sulit dikenali, apalagi kami memiliki berbagai ketrampilan seni." "Maukah kau menceritakan tentang mereka?" Kaede terkagum-kagum akan dunia yang ada dalam baying-bayang kegelapan dunia yang ia kenal. "Bisa kuceritakan sedikit. Tidak semua. Nanti, bila percakapan kita tidak bisa didengar orang lain." Seekor burung gagak berteriak parau. Shizuka melanjutkan, "Ada dua hal yang kudengar dari sepupuku. Pertama, Takeo masih di Yamagata. Arai telah menelusuri kumpulan orang-orang, dan penjaga ada di jalan-jalan utama. Tribe pasti menyembunyikan Takeo di dalam kota." Burung gagak itu berteriak lagi. Aah! Aah! Mungkin aku telah melewati tempat persembunyiannya, pikir Kaede. Setelah terdiam lama, ia berkata, "Apa yang kedua?" "Kecelakaan mungkin akan terjadi di perjalanan." "Kecelakaan seperti apa?" "Buatku. Tampaknya Arai memang berniat membunuhku, seperti yang kau katakan. Hanya saja rencana itu dirancang agar mirip kecelakaan, serangan perampok, atau semacam itulah. Dia tidak ingin aku hidup, tapi dia juga tidak ingin kau tersinggung." "Kau harus pergi." Suara Kaede mendesak. "Bila kau bersamaku, dia akan tahu ke mana mencarimu." "Sssh." Shizuka memperingatkan. "Aku katakan ini agar kau tidak bertindak ceroboh." "Apanya yang ceroboh?" "Bila kau menggunakan belati demi membelaku." "Aku pasti akan melakukannya," kata Kaede. "Aku tahu. Tapi kau harus sembunyikan keberanian dan semua keahlianmu itu. Ada orang dalam rombongan kita yang akan melindungiku. Mungkin lebih dari satu. Serahkan saja perkelahian itu pada mereka." "Siapa mereka?" "Bila lady bisa menebak, akan kuberikan hadiah!" kata Shizuka ringan. "Lalu bagaimana dengan patah hatimu?" tanya Kaede dengan rasa ingin tahu. "Aku memulihkannya dengan marah," jawab Shizuka. Kemudian dia berkata lebih serius. "Aku tidak melakukan hal yang memalukan. Bukan aku yang tidak menghormatinya. Sebelumnya aku terikat pada Arai, menjadi tawanannya. Bersamaan dengan putusnya hubungan kami, berarti dia telah membebaskan aku." "Kau harus tinggalkan aku," desak Kaede. "Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu sekarang ini? Kau membutuhkanku lebih dari apa pun juga." Kaede masih berbaring. "Kenapa kau berkata begitu?" "Lady, seharusnya kau tahu. Menstruasi yang terlambat, melembutnya wajahmu, menebalnya rambutmu. Rasa mual diikuti rasa lapar... " suara Shizuka halus, iba. Jantung Kaede berpacu cepat. Terlintas suatu pikiran di benaknya, tapi ia tak sanggup hadapi kenyataan itu. "Apa yang harus kulakukan?" "Anak siapa itu? Bukan anak Iida, kan?" "Aku bunuh Iida sebelum dia sempat memperkosaku. Jika memang aku hamil, pastilah dari Takeo." "Kapan?" tanya Shizuka berbisik. "Di malam Iida mati. Takeo datang. Kami berdua tidak menyangka akan hidup." Shizuka menghela napas. "Kadang kupikir pemuda itu sudah gila." "Bukan gila. Tersihir, mungkin," kata Kaede. "Kami seakan dalam pengaruh sihir sejak kami bertemu di Tsuwano." "Yah, peristiwa itu sebagian adalah kesalahanku dan pamanku. Tidak seharusnya kami melatih kalian bersama-sama." "Tidak ada yang mampu mencegahnya," ujar Kaede dengan rasa bahagia yang bergejolak. "Bila ini anaknya Iida, aku tahu apa yang harus lakukan," kata Shizuka. "Aku tak akan ragu bertindak. Ada tamuan yang bisa menggugurkan kandunganmu. Tapi anak Takeo adalah saudaraku, darah dagingku." Kaede terdiam. Anak ini mungkin mewarisi anugrah yang Takeo miliki, pikirnya. Anugrah itulah yang membuat jabang bayi ini berharga. Semua orang ingin memanfaatannya demi tujuan pribadi. Tapi aku menyayangi anak ini. Aku tak akan menggugurkan anak Takeo. Dan tak akan membiarkan Tribe merampasnya. Tapi, apakah Shizuka akan merampasnya kelak? Apakah dia akan mengkhianatiku? Karena Kaede diam cukup lama, Shizuka pun duduk tegak untuk melihat apakah tuannya tertidur. Tapi mata Kaede terbuka, menatap cahaya hijau di luar pintu. "Berapa lama rasa mual ini akan berakhir?" tanya Kaede. "Tidak lama. Dan kau tidak boleh keluar selama tiga atau empat bulan." "Kau mengetahui hal-hal semacam ini. Benarkah kau telah melahirkan dua anak laki- laki?" "Ya. Anaknya Arai." "Di mana mereka?" "Mereka bersama kakekku. Arai tidak tahu keberadaan mereka." "Dia tidak mengakui mereka?" "Dulu dia tertarik, sampai kemudian dia menikah dan memiliki anak laki-laki dari isteri resminya," tutur Shizuka. "Setelah itu, karena anakku lebih tua, dia mulai menganggapnya sebagai ancaman bagi ahli warisnya. Aku sadar apa yang dia pikirkan sehingga aku segera membawa kedua anakku ke desa milik keluarga Muto. Dia pasti tidak tahu di mana mereka berada." Kaede menggigil, meskipun udara panas. "Menurutmu dia akan mencelakai anak-anaknya?" "Bukan pertama kalinya seorang pemimpin, seorang ksatria, melakukan itu," jawab Shizuka pahit. "Aku takut pada ayahku," kata Kaede. "Apa yang akan dia lakukan padaku?" Shizuka berbisik, "Anggaplah Lord Shigeru, karena takut telah berkomplot untuk membunuh Iida, memaksamu menikah secara rahasia di Terayama. Kerabatmu, Lady Maruyama, dan pendampingnya, Sachie, adalah saksinya, tapi sayangnya mereka sudah mati." "Aku tidak bisa berbohong seperti itu," kata Kaede. Shizuka segera menghentikan ucapan gadis itu. "Kau tak perlu mengatakan apa pun. Semua itu dirahasiakan. Kau hanya mengikuti permintaan dari mendiang suamimu. Aku akan membuat kabar ini tersebar, seolah-olah tidak disengaja. Kau akan lihat betapa para laki-laki tidak bisa, menyimpan rahasia di antara mereka." "Bagaimana dengan bukti?" "Semuanya hilang saat kejatuhan Inuyama, bersama semua barang lainnya. Bayi ini akan menjadi anak Shigeru. Jika laki-laki, maka dia akan menjadi pewaris Otori." "Hal itu terlalu jauh untuk dipikirkan," kata Kaede cepat. "Jangan menggoda nasib." Kaede teringat anak Shigeru yang tidak sempat lahir dari Lady Maruyama yang tenggelam secara perlahan-lahan di sungai di Inuyama. Kaede berdoa semoga arwah jabang bayi itu tidak iri, ia pun berdoa agar anak dalam kandungannya akan hidup. Sebelum akhir minggu, rasa mual Kaede mulai berkurang. Ia tiba-tiba merasa sangat lapar di saat yang tak diharapkan, tapi selain itu, perasaannya pun mulai membaik, lebih baik dari yang pernah ia rasakan. Perasaannya meluap-luap seakan sang janin membagi anugrahnya. Kaede memperhatikan dengan takjub bagaimana informasi rahasia Shizuka tersebar di antara pengawal, satu demi satu mulai memanggilnya Lady Otori, dengan nada rendah sambil menunduk. Kebohongan ini membuat Kaede gelisah, tapi ia tetap melakukannya, tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Kaede mengamati para pengawal dengan saksama, berusaha menebak siapa di antara mereka yang merupakan anggota Tribe, orang yang akan melindungi Shizuka bila tiba waktunya. Shizuka telah kembali ceria dan mulai bersenda gurau dengan semua pengawal. Para pengawal pun menanggapi dalam berbagai macam perasaan, dari rasa hormat hingga bergairah, namun tak seorang pun yang nampak tertarik secara khusus. Karena jarang menatap Kaede secara langsung, mereka pasti akan kaget mengetahui betapa baik ia mengenal mereka. Ia bisa membedakan mereka dalam kegelapan, dari langkah kaki atau suara mereka. Kaede memberi mereka nama: Si Muka Parut, Si Mata Juling, Si Pendiam, Si Lengan Panjang. Bau si Lengan Panjang tercium seperti minyak jelantah yang sering digunakan laki-laki untuk membumbui nasi. Suaranya rendah dengan aksen kasar. Laki-laki itu selalu menatap Kaede dengan sinis. Ukuran tubuhnya sedang, dengan kening tinggi dan mata agak menonjol sekaligus hitam kelam sehingga tampak seperti tidak memiliki pupil. Dia mempunyai kebiasaan menggerakkan bola mata ke atas, kemudian menghirup udara seraya menggoyangkan kepala. Lengannya panjang secara tidak wajar dan telapak tangannya besar. Jika ada orang yang bisa membunuh perempuan, pikir Kaede, maka dialah orangnya. Di minggu kedua, badai tiba-tiba datang menghalangi perjalanan mereka di desa kecil. Tertahan oleh hujan di kamar sempit dan tidak nyaman, membuat Kaede gelisah. In memikirkan ibunya. Ketika mengingat-ingat sosok ibunya, yang ia temukan hanyalah kegelapan. Ia mencoba mengingat wajah Ibunya, namun tetap tidak bisa. Ia juga tak dapat membayangkan wajah adik-adiknya. Adiknya yang paling kecil mungkin berusia sembilan tahun. Jika ibunya, seperti yang ia takutkan, meninggal, maka ia terpaksa menggantikan ibunya untuk mengasuh kedua ndiknya, dan mengatur rumah tangga-memasak, bersih-bersih, dan menjahit yang menjadi tugas seumur hidup perempuan, hasil ajaran ibu, bibi, dan nenek. Ia tidak tahu kegiatan semacam itu. Saat menjadi tawanan di Noguchi, ian diabaikan oleh keluarga Noguchi. Ia hanya diajari sedikit hal; ia hanya mempelajari cara bertahan hidup di kristil sambil berlari kesana-kemari seperti pelayan. Anak dalam kandungannya mendatangkan perasaan dan insting yang belum pernah ia rasakan; insting untuk mengurus bawahannya. Ia memikirkan para pengawal Shirakawa, seperti Shoji Kiyoshi dan Amano Tenzo, yang datang bersama ayahnya ke kastil Noguchi untuk menengok dirinya, dan para pelayan, seperti Ayame, orang yang sangat ia rindukan, sebesar kerinduan pada ibunya. Masih hidupkah Ayame? Masih ingatkah dia pada gadis kecil yang dulu dia asuh? Kini, saat Kaede pulang dengan berpura-pura menjanda dan hamil, akankah ia disambut baik di rumah orangtuanya? Tertundanya perjalanan juga membuat para pengawal gelisah. Kaede tahu mereka cemas karena menjalani tugas yang membosankan, mereka tidak sabar ingin kembali ke medan perang yang sudah menjadi hidup mereka. Mereka ingin menjadi bagian dari kemenangan Arai terhadap Tohan di Timur, bukannya mengantar seorang perempuan ke wilayah Barat. Arai mungkin termasuk orang seperti itu, pikir Kaede dengan rasa ingin tahu. Bagaimana orang itu tiba-tiba menjadi sangat berkuasa? Apa yang telah dia lakukan sehingga semua orang mematuhinya? Kaede teringat kekejaman Arai saat menggorok leher penjaga yang mencoba mengganggu dirinya di kastil Noguchi. Arai tak segan membunuh pengawalnya dengan cara yang sama. Tapi bukan rasa takut yang membuat orang patuh. Adakah semacam kepercayaan pada kekejamannya, pada kecepatannya bertindak, tidak peduli tindakan itu salah atau benar? Apakah mereka juga akan mempercayai perempuan seperti itu? Dapatkan Kaede memerintah laki-laki seperti yang Arai lakukan? Apakah ksatria seperti Shoji dan Amano akan patuh pada dirinya? Hujan telah reda dan perjalanan pun dilanjutkan. Badai telah melenyapkan kelembaban dan hari-hari setelah itu tampak cerah, langit luas dan biru terbentang di puncak gunung di mana setiap harinya pohon maple nampak kian merah. Malam semakin dingin, sudah terlihat tanda-tanda salju akan turun. Perjalanan penuh dengan jalan berliku, dan siang hari semakin panjang dan melelahkan. Akhirnya, di suatu pagi, Shizuka berkata, "Ini puncak gunung terakhir. Esok kita akan tiba di Shirakawa." Kini rombongan menuruni jalan setapak yang curam dan dipenuhi daun pinus yang berbentuk jarum sehingga langkah kuda seperti terendam. Shizuka berjalan di sisi Raku, sedangkan Kaede menungganginya. Di bawah pepohonan pinus dan cedar, keadaan menjadi gelap, tapi tak jauh di depan mereka, sinar mentari menembus sela-sela rumpun bambu, menampilkan cahaya kehijauan yang bertaburan butiran debu. "Kau pernah melewati jalan ini?" tanya Kaede. "Berkali-kali. Beberapa tahun lalu aku dikirim ke Kumamoto untuk bekerja pada keluarga Arai. Lord sebelumnya masih hidup. Dia mendidik anaknya dengan keras, tapi anak tertuanya, Daiichi nama lahir Arai, masih tetap menemukan cara untuk membawa pelayan ke tempat tidur. Aku menolaknya selama beberapa lama-memang bukan hal mudah, seperti yang kau tahu, bagi gadis yang tinggal di kastil. Dia tidak cepat melupakan diriku seperti dia melupakan pelayan lainnya. Aku disuruh keluargaku, Muto." "Jadi kau bisa memata-matainya," gumam Kaede. "Ada beberapa orang yang tertarik untuk bersekutu dengan Arai. Terutama sebelum dia dikirim ke Noguchi." "Dan orang itu adalah Iida?" "Tentu saja. Itu bagian dari perjanjian dengan Klan Seishuu setelah perang Yaegahara. Arai enggan mengabdi pada Noguchi. Meskipun dia tidak menyukai lida dan menganggap Noguchi sebagai pengkhianat, namun dia terpaksa patuh." "Kau bekerja pada Iida?" "Kau tahu pada siapa aku bekerja," kata Shizuka pelan. "Kami selalu mendahulukan kepentingan keluarga Muto, kepentingan Tribe. Iida mempekerjakan banyak keluarga Muto waktu itu." "Aku tidak mengerti," kata Kaede. Persekutuan di kalangan klan saja sudah cukup rumit dengan ikatan baru yang dibentuk melalui pernikahan, sementara ikatan lama menjaga persekutuan melalui tawanan, dan kesetiaan antar klan yang hancur hanya lantaran adanya penghinaan atau perseteruan atau perlawanan kecil. Tapi semua intrik antar klan tampak lebih jelas dibandingkan intrik dalam Tribe. Pikiran buruk bahwa Shizuka hanya tinggal bersamanya atas perintah keluarga Muto terlintas kembali. "Kau sedang memata-mataiku?" Shizuka membuat isyarat agar Kaede diam. Pengawal yang berkuda di depan dan di belakangnya tidak mungkin mendengar, pikir Kaede. Shizuka mengendalikan tali kekang kuda saat menuruni jalan curam untuk menjaga keseimbangan kuda itu. Kaede mencondongkan badan ke depan dan berbisik. "Beritahu aku." Di saat itulah kuda kaget dan meloncat. Badan Kaede yang semula condong ke depan, langsung tersentak ke belakang. "Aku akan jatuh," pikirnya terkejut, dan tanah pun menyambut saat ia dan Shizuka jatuh bersamaan. Kudanya melompat ke sisi berlawanan saat mencoba untuk tak melangkahi tubuh mereka. Kaede sadar akan adanya bahaya yang lebih besar. "Shizuka!" jeritnya. "Tetap menunduk," jawab Shizuka. Meskipun dipaksa tiarap, namun Kaede berontak melihat ke atas. Ada beberapa laki-laki menghadang di depan jalan dengan bersenjatakan pedang dan panah, dua di antaranya mirip bandit. Kaede langsung menyentuh belati, mendambakan ada pedang atau setidaknya tongkat. Pikiran itu lenyap ketika anak panah terbang melewati telinga kuda, membuat hewan itu loncat dan kembali meronta-ronta. Terdengar jeritan singkat dan seorang pengawal jatuh di dekat kaki Kaede, darah "Ya, kan?" mengalir dari bagian leher yang terkena anak panah. Laki-laki yang kedua terhuyung-huyung sesaat. Seekor kuda secara bersamaan melompat ke samping, menubruk sehingga orang itu hilang keseimbangan. Saat orang itu mengayunkan pedang ke samping, hendak menebas Shizuka, si Lengan Panjang muncul dengan serangan yang kecepatannya nyaris supranatural, ujung pedangnya berhasil menemukan jalan untuk mencapai tenggorokan bandit itu. Para bandit yang ada di depan segera berbalik dan lari, sedangkan yang ada di belakang rombongan langsung kabur. Shizuka berhasil menangkap tali kekang Raku dan menenangkannya. Si Lengan Panjang membantu Kaede berdiri. "Jangan takut, Lady Otori," berkata dengan aksen kasar, aroma kuat minyak jelantah tercium dari napasnya. "Mereka hanya perampok." Hanya perampok, pikir Kaede. Mereka langsung mati dan begitu banyak darah. Perampok, mungkin saja, tapi siapa yang membayar mereka? Para pengawal memungut senjata para bandit, lalu melempar mayat-mayat itu ke semak belukar. Mustahil rasanya mengatakan kalau para pengawal telah mengantisipasi serangan tadi. Kini mereka menjadi lebih hormat pada si Lengan Panjang karena terkesan pada kesigapan dan juga keahlian bertarungnya. Para pengawal bertindak seakan-akan kejadian tadi tidak istimewa, hanya selingan yang menghiasi perjalanan. Satu atau dua dari mereka melontarkan lelucon bahwa para bandit itu menginginkan Shizuka sebagai isteri, dan Shizuka juga membalasnya dengan gurauan, sambil menambahkan kalau hutan ini penuh dengan orang yang putus asa, tapi para bandit lebih berpeluang mendapatkan dirinya ketimbang mereka. "Tak kusangka dia yang melindungimu," kata Kaede. "Semula, aku justru berpikir sebaliknya. Aku curiga dia yang akan membunuhmu dengan kedua tangannya yang besar itu." Shizuka tertawa. "Dia itu cerdas dan petarung handal. Memang mudah meremehkan atau salah menilainya, dan bukan hanya kau yang kaget karena dia. Tadi kau takut?" Kaede mencoba mengingat-ingat. "Tidak, mungkin karena tidak sempat takut. Seandainya aku bawa pedang." "Kau memang diberkahi keberanian." "Tidak benar. Aku sering merasa takut." "Tak seorang pun bisa menduganya," gumam Shizuka. Ketika mereka akhirnya tiba di penginapan di kota kecil di perbatasan Shirakawa, Kaede berendam air panas, lalu beristirahat sambil menunggu hidangan malam. Ia disambut acuh tak acuh di penginapan ini, dan kota ini membuatnya gelisah. Di sini tampaknya hanya ada sedikit makanan, dan penduduknya pun nampak tidak bersemangat. Kaede terluka di bawah pinggang akibat jatuh dan mencemaskan kandungannya. Ia juga gugup akan pertemuan dengan ayahnya. Percayakah dia bila anaknya telah menikah dengan Lord Otori? Kaede tidak dapat membayangkan kemarahan ayahnya bila mengetahui yang sebenarnya. "Saat ini keberanianku lenyap," Kaede mengakui. Shizuka berkata, "Akan kupijat kepalamu. Kau nampak letih." Ketika bersandar dan menikmati sensasi jari-jemari gadis itu di kulit kepalanya, rasa was-was Kaede kembali memuncak. Ia teringat pembicaraan mereka sebelum diserang para bandit. "Kita akan sampai besok," kata Shizuka, merasakan pegangan Kaede. "Perjalanan kita hampir berakhir." "Shizuka, jawablah dengan jujur. Apa alasanmu menadampingiku? Apakah kau memata-mataiku? Siapa yang mempekerjakan Muto sekarang?" "Tak ada yang mempekerjakan kami saat ini. Keluhan Iida menyebabkan kekacauan di seluruh Tiga Negara. Arai mengatakan hendak menyapu bersih Tribe. Kita masih belum tahu apakah dia serius atau akan sadar dan kembali bekerjasama dengan kami. Sementara itu, pamanku Kenji, yang sangat mengagumi Lady, ingin tetap mengetahui kesejahteraan lady." Dan juga anakku, pikir Kaede. "Kau pewaris salah satu wilayah kekuasaan paling kuat dan kaya di Barat, Maruyama, sekaligus negerimu Shirakawa. Siapa pun yang menikah denganmu akan memiliki peran penting dalam menentukan masa depan Tiga Negara. Sekarang ini semua orang beranggapan kau akan tetap bersekutu dengan Arai sehingga memperkuat posisinya di Barat, sementara dia menyelesaikan masalah dengan Otori: Nasibmu terkait erat dengan Klan Otori dan Wilayah Tengah." "Aku tidak akan menikahi siapa pun," kata Kaede, setengah berkata pada dirinya sendiri. Dan bila begitu keadaannya, ia berpikir, kenapa bukan aku saja yang berperan sebagai pemain kunci?* TIGA SUARA-SUARA di biara Terayama, lonceng tengah malam serta alunan doa para biarawan sayup-sayup menghilang, saat aku mengikuti dua ketua, Kikuta Kotaro dan Muto Kenji, menuruni jalan yang sepi, terjal dan berbukit-bukit di sepanjang tepi sungai. Kami berjalan cepat, sementara deburan air menutupi bunyi langkah kaki kami. Kami tak banyak bicara dan tidak bertemu seorang pun. Hari menjelang fajar dan ayam jantan mulai berkokok saat kami tiba di Yamagata. Jalanan sepi, kendati jam malam tidak lagi berlaku dan pengawal Tohan tidak lagi mengawasi jalan. Kami mendatangi rumah seorang pedagang yang ada di tengah kota, tak jauh dari penginapan tempat aku menginap selama Festival of the Dead* yang lalu. Aku mengenal jalan ini ketika menjelajahi kota di malam hari. Peristiwa yang rasanya sudah lama terjadi. Puteri Kenji, Yuki, langsung membukakan gerbang seakan sedang menunggu kedatangan kami, meskipun kami datang tanpa bersuara sehingga tak ada anjing yang menyalak. Meskipun dia tidak bicara, tapi aku menangkap rasa ingin tahu dalam tatapan matanya. Wajah dan matanya memancarkan semangat hidup, tubuh berototnya yang anggun membuatku teringat pada kenangan mengerikan di Inuyama, di malam kematian Shigeru. Aku setengah berharap dapat berjumpa dengannya di Terayama karena dia telah berjalan siang-malam demi membawa kepala Shigeru ke biara. Begitu banyak yang ingin aku tanyakan: tentang perjalanannya, tentang pemberontakan di Yamagata, tentang kejatuhan Tohan. Selagi ayahnya dan ketua Kikuta yang berjalan di depan hendak masuk ke rumah, aku agak melambatkan langkah agar bisa berjalan berdampingan dengannya ke serambi. Sebuah lampu yang letaknya rendah menyala di pintu. Yuki berkata, "Tidak kusangka akan melihatmu dalam keadaan hidup." "Aku memang tidak berharap untuk hidup." Teringat akan bantuannya, aku menambahkan, "Aku berhutang budi padamu. Tidak mungkin aku dapat membalasnya." Dia tersenyum, "Saat itu aku justru sedang membayar hutangku sendiri. Kau tak berhutang apa pun. Aku hanya ingin berteman denganmu." Kata-kata rasanya kurang kuat untuk menggambarkan perasaan kami saat ini. Dia telah membawakan pedang Shigeru, Jato, padaku dan membantuku menyelamatkan serta membalaskan dendam Shigeru: tindakan paling penting dan paling sulit dalam hidupku. Aku sangat berterima kasih dan juga kagum padanya. Setelah pergi beberapa saat, dia datang lagi sambil membawa air. Aku mencuci kaki, seraya mendengarkan pembicaraan kedua ketua berbicara di dalam rumah. Mereka berencana untuk beristirahat sebentar, sedangkan aku akan melanjutkan perjalanan bersama Kotaro. Aku menggelengkan kepala, letih. Aku terlalu letih untuk mendengarkan. "Kemari," kata Yuki, lalu menuntunku ke ruangan tersembunyi yang sesempit tempat belut, sama seperti tempatku disekap di Inuyama. "Aku menjadi tawanan lagi?" kataku sambil mengamati ruangan tak berjendela ini. "Tidak. Ini demi keselamatanmu, agar kau dapat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan." "Aku tahu; aku sudah dengar." "Tentu saja," katanya. "Aku lupa kalau kau dapat mendengar segalanya." "Terlalu banyak," kataku sambil duduk di lantai yang beralaskan tikar. "Anugrah memang menyulitkan. Tapi itu lebih baik daripada tidak memilikinya. Akan kuambilkan makanan dan teh untukmu." Tidak lama kemudian dia kembali. Aku meneguk teh, namun aku tidak berselera untuk makan. "Tidak ada air panas di kamar mandi," katanya. "Maaf." "Tidak mengapa." Dua kali sudah dia memandikanku. Pertama kali di Yamagata saat aku belum tahu siapa dia sebenarnya. Dan yang kedua saat di Inuyama, saat aku tak mampu berjalan. Semua kenangan itu menghampiriku. Tatapannya bertemu tatapanku, dan aku sadar dia juga memikirkan hal yang sama. Dia lalu memalingkan wajah dan berkata pelan, "Aku akan memberimu kesempatan untuk tidur." Setelah meletakkan belati di dekat kasur, aku lalu menyelinap di balik selimut tanpa peduli bila harus membuka pakaian. Aku merasa tak akan bisa bahagia lagi seperti yang pernah kurasakan saat di desaku, Mino-desa yang kini telah musnah bersama keluargaku. Aku sadar aku tidak boleh tenggelam dalam masa lalu. Aku telah setuju untuk bergabung bersama Tribe. Kemampuanku yang paling mereka inginkan, dan hanya bersama Tribe aku dapat mengembangkan dan mengendalikan anugrah yang kumiliki., Aku teringat pada Kaede yang kubiarkan tertidur di Terayama. Rasa tak berdaya diikuti dengan kepasrahan melandaku. Aku tak akan bertemu dengannya lagi. Aku harus lupakan dia. Sementara itu, tanda-tanda kehidupan di kota mulai terdengar. Akhirnya, seiring cahaya yang semakin terang di balik pintu, aku pun tertidur pulas. Aku terbangun karena mendengar beberapa orang berkuda di balik dinding rumah. Cahaya di ruangan ini berubah, seakan matahari melintas di atas atap, tapi aku tidak mengetahui berapa lama aku tertidur. Seorang laki-laki berteriak lantang dan, balasannya, seorang perempuan mengeluh, naik pitam. Aku tahu maksud kedatangan mereka. Mereka adalah anak buah Arai yang mendatangi rumah ke rumah untuk mencariku. Kudorong selimut lalu meraba-raba belatiku. Saat aku mengambilnya, pintu bergeser terbuka, dan Kenji masuk perlahan. Dinding palsu disangkutkan di bagian ruangan yang ada ada di belakangnya. Setelah menatapku sambil mengggeleng-gelengkan kepala, dia lalu duduk bersila di lantai yang sempit antara kasur dan dinding. Aku mengenali suara itu-pasukan yang datang ke Terayama bersama Arai. Aku dengar Yuki berusaha menenangkan si perempuan yang marah, lalu menawarkan minum kepada para pengawal. "Kita di pihak yang sama," kata Yuki, tertawa. "Apa kalian pikir jika Otori Takeo di sini, kami bisa menyembunyikannya?" Mereka minum dengan cepat lalu pergi. Saat langkah kaki mereka tak terdengar lagi, Kenji mendengus dan menatapku dengan tatapan menghina. "Tak seorang pun bisa berpura-pura tidak mendengar keberadaanmu di Yamagata," katanya, "Kematian Shigeru telah menjadikan dia seperti dewa; dan Iida telah mengubahmu menjadi pahlawan. Itulah cerita yang sedang digemari." Dia mendengus kemudian menambahkan, "Jangan berbesar kepala dulu. Ini justru sangat mengganggu. Kini Arai semakin meningkatkan pencarian. Dia menganggap kepergianmu sebagai penghinaan. Untung saja wajahmu belum terkenal di sini, tapi kau harus tetap menyamar." Dia mengamati sosokku, mengerutkan dahi. "Wajah Otorimu itu... kau harus menyembunyikannya." Ucapannya disela oleh suara di luar, saat dinding diangkat. Kikuta Kotaro datang bersama Akio, salah seorang yang menculikku di Inuyama. Yuki melangkah dari belakang mereka, membawa teh. Ketua Kikuta mengangguk saat aku membungkuk hormat kepadanya. "Akio baru datang dari kota, dia membawa beberapa kabar." Akio berlutut di depan Kenji, dan mengangkat kepala sedikit padaku. Aku menanggapi dengan cara yang sama. Sewaktu dia dan anggota Tribe lainnya menculikku di Inuyama, mereka berusaha menangkapku tanpa melukai. Sedangkan aku berkelahi dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar ingin membunuhnya. Aku bahkan berhasil melukai tangan kirinya yang kini hampir sembuh. Kami jarang bicara sebelumnya-dia telah mencaci-maki diriku karena bersikap kurang sopan dan menuduhku melanggar semua aturan Tribe. Hanya ada sedikit niat baik di antara kami. Saat tatapan kami bertemu, dapat kurasakan kebenciannya yang mendalam. "Sepertinya Arai murka karena orang ini pergi tanpa ijin dan juga karena menolak pernikahan yang dia inginkan. Arai telah memberi perintah untuk menangkap anak ini, dan dia berniat memeriksa semua kelompok yang diketahui sebagai Tribe, yang dia anggap telah melanggar aturan dan menyimpang." Akio lalu membungkuk lagi ke Kotaro dan berkata kaku, "Maafkan aku, tapi aku tak tahu nama yang cocok untuk orang ini." Kotaro mengangguk dan mengusap-usap dagu, tanpa berkata-kata. Kami pernah membicarakan tentang namaku dan dia memutuskan aku tetap menggunakan nama Takeo, meskipun itu bukan nama Tribe. Apakah kini aku harus memakai nama keluarga Kikuta? Dan apa nama pemberianku nantinya? Aku tak ingin melepas nama Takeo, nama pemberian Lord Shigeru, tapi jika aku bukan lagi seorang Otori, apa hakku memakai nama itu? Arai menawarkan hadiah bagi orang yang bisa memberih keterangan," kata Yuki sambil meletakkan mangkuk teh di depan kami. "Tak seorang pun di Yamagata yang bersedia memberi keterangan," kata Akio. "Mereka akan berurusan dengan kita jika melakukannya!" "Itulah yang kutakutkan," ujar Kotaro pada Kenji. "Arai tak pernah berurusan dengan kita, dan kini dia takut pada kekuatan kita." "Perlukah kita membunuhnya?" kata Akio tidak sabar. "Kita...." Kotaro membuat gerakan tangan, dan pemuda itu membungkuk kembali, diam. "Wilayah ini menjadi kacau setelah kematian Iida. Jika Arai juga dibunuh, kekacauan macam apa yang akan jerjadi?" Kenji berkata, "Aku tidak melihat Arai sebagai bahaya besar. Ancaman dan gertakan mungkin, namun lebih dari itu masih perlu waktu lama. Karena sekarang situasi sudah berubah, dialah harapan kita satu-satunya untuk dapat mewujudkan perdamaian." Dia menatapku sekilas. "Itu yang kita inginkan. Kita perlu keteraturan agar pekerjaan kita lancar." "Arai akan ke Inuyama dan menetapkan kota itu sebagai ibukota," kata Yuki. "Akan lebih mudah bertahan di sana ketimbang di Kumamoto. Arai mengklaim seluruh Wilayah kekuasaan Iida menjadi miliknya sesuai aturan penaklukan." "Uhh," Kotaro menggerutu. Dia berpaling padaku. "Aku punya rencana, kau akan kembali ke Inuyama bersamaku. Aku ada urusan di sana dalam beberapa minggu lagi, dan kau akan memulai latihanmu di sana. Namun untuk sementara waktu kau di sini. Setelah itu kami akan membawamu ke selatan, jauh dari Wilayah Tengah, ke salah satu rumah Kikuta, di mana tak seorang pun pernah mendengar nama Otori Takeo. Di situlah kau akan memulai hidup baru. Kau bisa juggle*?" Aku menggeleng. "Masih ada waktu seminggu untuk mempelajarinya. Akio yang akan mengajarimu. Yuki dan beberapa pemain juggle akan menemanimu. Kita akan bertemu di Matsue." Aku mengangguk tanpa bicara. Aku melihat dari bawah bulu mata ke arah Akio. Dia sedang menatap ke bawah, merengut, garis wajah semakin dalam di antara kedua matanya. Usianya hanya berbeda tiga atau empat tahun dariku, tapi saat ini sulit melihat seperti apa dia kelak ketika tua. Jadi, dia pemain juggle. Aku menyesal telah melukai tangan pemain juggle yang trampil, tapi kurasa tindakanku beralasan. Kotaro lalu berkata, "Kenji, hubunganmu dengan Lord Shigeru telah melibatkan dirimu dalam urusan ini. Terlalu banyak orang yang tahu bahwa ini adalah rumahmu. Arai pasti akan menangkapmu bila kau tetap di sini." "Aku akan menyepi di gunung untuk sementara," balas Kenji. "Mengunjungi para tetua, dan menghabiskan waktu bersama anak-anakku." Dia tersenyum, terlihat seperti guru tua yang tidak berbahaya. "Maaf, tapi orang ini akan dipanggil apa?" "Dia boleh meminjam nama pemain juggle untuk sementara," kata Kotaro. "Sedangkan nama Tribenya tergantung pada.... " Ada suatu maksud di balik ucapannya yang tak aku mengerti, namun Akio nampak sangat mengerti. "Ayahnya telah mengundurkan diri dari Tribe!" Dia meledak. "Dia berpaling dari kita." "Tapi anaknya telah kembali dengan membawa semua bakat Kikuta," balas sang Ketua. "Tapi karena kau lebih senior darinya, maka Takeo harus patuh dan belajar darimu." Akio tersenyum. Kurasa dia tahu betapa beratnya hal itu bagiku. Wajah Kenji menunjukkan kesedihan, seakan-akan dia meramalkan akan datangnya masalah. "Akio memiliki banyak keahlian," Kotaro melanjutkan. "Kau harus menguasai semua keahlian itu." Dia menunggu persetujuanku, kemudian menyuruh Akio dan Yuki pergi. Tapi sebelum pergi Yuki mengisi kembali mangkuk teh, dan dua laki-laki tua meneguknya dengan gaduh. Dapat kucium bau masakan. Rasanya seperti sudah berhari-hari aku tidak makan. Sungguh menyesal aku menolak tawaran makan dari Yuki semalam; saat ini aku hampir pingsan karena kelaparan. Kotaro berkata, "Aku sepupu ayahmu. Ayahmu lebih tua dariku, dan seharusnya dialah yang menjadi ketua saat kakek kami meninggal. Akio adalah keponakan dan pewarisku. Tapi, kepulanganmu menimbulkan pertanyaan tentang pewaris dan kedudukan yang tertinggi. Bagaimana kami menangani masalah itu sangat tergantung pada perilakumu dalam beberapa bulan ke depan." Agak lama aku mencerna maksud ucapannya. "Akio besar bersama Tribe," kataku lambat. "Dia tahu semua yang aku belum tahu. Pasti banyak orang semacam Akio di sini. Aku tak ingin mengambil posisinya atau posisi siapa pun juga." "Memang ada banyak," jawab Kotaro, "dan semuanya patuh, terlatih dengan lebih baik dan lebih layak ketimbang dirimu. Tapi tak seorang pun memiliki pendengaran Kikuta seperti yang kau miliki, dan tak seorang pun mampu menyusup seorang diri ke dalam kastil Yamagata selain dirimu." Peristiwa di Yamagata rasanya seperti dongeng. Aku hampir tidak ingat dorongan hati yang mendesakku untuk memanjat kastil dan, melalui kematian, membebaskan tiga orang Hidden yang terkurung dalam keranjang yang digantung di dinding kastil; itulah pertama kalinya aku membunuh. Aku berharap tidak melakukan itu jika aku tidak menarik perhatian Tribe dengan memanjat kastil, mungkin mereka tak akan mengambilku sebelum... sebelum... aku menggelengkan kepala. Tak ada gunanya lagi terus mencoba mengurai benang yang menjalin kematian Shigeru. "Kini aku telah mengatakannya," Kotaro meneruskan ucapannya. "Kau harus tahu, aku tak bisa memperlakukan dirimu berbeda dari pemuda lain. Aku tak boleh punya murid kesayangan. Semua kemampuanmu akan sia-sia bagi kami kecuali bila kau patuh. Tak perlu rasanya mengingatkan lagi bahwa kau telah berjanji untuk patuh. Kau harus tetap di sini selama seminggu. Kau tak boleh keluar atau membiarkan orang lain tahu keberadaanmu di sini. Dalam seminggu kau harus berhasil menjadi pemain juggle. Aku akan menjumpaimu di Matsue sebelum musim dingin. Sekarang tergantung padamu." "Entah kapan kita bisa bertemu lagi," kata Kenji sambil menatapku dengan wajah antara sayang dan gusar seperti yang biasa dia lakukan. "Tugasku padamu telah selesai." dia melanjutkan. "Aku telah menemukan, mengajari, dan menjagamu agar tetap hidup dengan segala cara dan membawamu ke Tribe. Akio akan mengajar jauh lebih keras dariku." Dia menyeringai, menunjukkan celah-celah di antara giginya. "Tapi, Yuki akan menjagamu." Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat pipiku merona. Aku dan Yuki tak ada hubungan apa-apa, bersentuhan pun tidak pernah. Namun ada sesuatu di antara kami, dan Kenji tahu itu. Kedua tetua menyeringai saat mereka berdiri, lalu memelukku. Kenji menepuk-nepuk kepalaku. "Lakukan sesuai perintah," katanya. "Dan belajarlah juggle." Aku berharap dapat berbicara berdua dengan Kenji, masih banyak urusan yang belum terselesaikan di antara kami. Meskipun, mungkin lebih baik dia mengucapkan selamat tinggal seolah-olah dia seorang guru baik hati yang pernah aku kenal. Setelah mereka pergi, kamar terasa lebih suram, lebih pengap dan lebih sesak. Aku mendengar suara-suara kepergian mereka. Mereka tidak terbiasa melakukan persiapan yang teliti, atau mengucapan selamat jalan seperti yang dilakukan sebagian besar pengelana. Kenji dan Kotaro keluar, menenteng keperluan selama perjalanan-sebungkus kain, sepasang sandal, dan sedikit kue mochi* bercitarasa buah plum asin. Aku membayangkan perjalanan yang mereka lalui, setapak demi setapak hingga melewati Tiga Negara. Mereka akan mengikuti jaringan luas Tribe yang melingkar dari satu desa ke desa lain, dari satu kota ke kota lain. Kemana pun mereka pergi, selalu ada kerabat tempat menginap atau tempat berlindung. Aku dengar Yuki berkata hendak mengantar mereka hingga jembatan, dan mendengar perempuan yang tadi marah pada para pengawal, membalas. "Jaga diri kalian," perempuan itu berteriak. Langkah kaki mereka sayup-sayup menghilang. Ruangan kini bahkan terasa lebih menekan dan lebih sunyi. Tak dapat kubayangkan aku akan terkurung di ruangan ini selama seminggu. Nyaris tidak sadar apa yang sedang kulakukan, aku pun merencanakan untuk keluar. Bukan melarikan diri. Aku hanya ingin keluar sebentar. Selain karena ingin melihat-lihat lagi Yamagata di malam hari, aku juga ingin tahu apakah aku bisa keluar dari tempat ini. Tak lama kemudian aku mendengar ada yang mendekat. Pintu bergeser terbuka dan seorang perempuan melangkah masuk. Dia membawa nampan berisi makanan: nasi, acar, sepotong ikan kering, semangkuk sup. Dia duduk berlutut, meletakkan nampan di lantai. "Makanlah, kau pasti lapar." Aku memang kelaparan, dan aku menyantap hidangan layaknya Serigala. Dia duduk dan memandangi aku makan. "Jadi, kaulah orang yang membuat suamiku yang malang itu terjebak banyak masalah," dia berkata saat aku menjilati mangkuk. Isteri Kenji. Aku menatapnya, dan tatapan kami pun bertemu. Wajahnya halus dan sepucat Kenji. Rambutnya tebal dan hitam, dengan beberapa uban menghiasi ubun-ubunnya. Tubuhnya padat berisi, tipikal perempuan kota dengan tangan yang tangkas, dan jari-jari yang pendek. Satu hal yang kuingat dari cerita Kenji tentang isterinya yaitu dia seorang ahli masak, dan ternyata masakannya memang sungguh lezat. Aku memuji masakannya, dan saat senyum bergerak dari bibir ke matanya, segera aku tahu kalau dia adalah ibunya Yuki. Mata mereka mirip dan di saat tersenyum, raut wajah mereka pun serupa. "Siapa menyangka kau akan muncul setelah sekian lama," dia melanjutkan, terdengar ceriwis dan keibuan. "Aku mengenal Isamu, ayahmu, dengan baik. Dan tak seorang pun tahu keberadaanmu sampai terbunuhnya Shintaro. Bayangkan, kau telah membodohi pembunuh paling berbahaya di Tiga Negara! Keluarga Kikuta senang sekali mengetahui Isamu mempunyai anak. Kami semua senang. Apalagi dengan bakat yang serupa pula!" Aku tidak menjawab. Sepertinya dia perempuan tua yang tidak berbahaya-namun Kenji pun seperti laki-laki tua tidak berbahaya. Samar-samar diriku menggemakan rasa tidak percaya seperti yang pernah kurasakan saat pertama kali berjumpa dengan Kenji di Hagi. Aku mencoba mengamatinya tanpa mencolok, dan dia menatapku terbuka. Dia seperti menantangku, tapi aku tidak berniat untuk menanggapi hingga aku tahu lebih banyak tentang dia dan juga kemampuannya. "Siapa yang membunuh ayahku?" aku bertanya. "Tidak ada yang tahu. Kejadian itu terjadi bertahun-tahun sebelum kami tahu secara pasti bahwa dia sudah mati. Dia ditemukan di desa terpencil, desa tempat dia mengasingkan diri." "Apakah pembunuhnya berasal dari Tribe?" Dia tertawa mendengar itu, sedangkan aku langsung marah. "Kenji mengatakan bahwa kau tidak mempercayai seorang pun. Sikapmu memang benar, tapi kau bisa mempercayaiku." "Ya, seperti aku mempercayai suamimu," kataku menyindir. "Rencana Shigeru bisa membuatmu terbunuh," dia berkata lembut. "Penting bagi Kikuta, bagi seluruh Tribe, agar kau tetap hidup. Akhir-akhir ini jarang sekali ada orang yang memiliki bakat sepertimu." Aku menggerutu, mencoba mencari-cari maksud tersembunyi di balik pujiannya. Dia menuangkan teh, dan aku meminumnya hanya dalam sekali teguk. Kepalaku terasa nyeri karena ruangan yang sesak ini. "Kau tegang," dia berkata seraya mengambil mangkuk dari tanganku, meletakkannya di nampan. Dia menggeser nampan ke samping, dan menghampiriku. Sambil berlutut di belakangku, dia mulai memijat leher dan bahuku. Jarinya begitu kuat, liat dan sensitif. Saat memijat punggungku, dia berkata, "Tutup matamu", lalu dia memijat kepalaku. Sensasi pijatannya sungguh luar biasa. Aku hampir mengerang keras. Tangannya seperti memiliki kehidupan sendiri. Kupasrahkan kepalaku pada jari perempuan itu, merasakan seakan kepalaku lepas dari leherku. Lalu aku mendengar pintu bergeser. Mataku tersentak membuka. Aku masih dapat merasakan jemarinya di ubun-ubunku, tapi ternyata aku kini sendirian di ruangan. Isteri Kenji mungkin nampak tidak berbahaya, tapi kekuatannya mungkin sama hebatnya seperti suami atau anaknya. Dia juga juga telah membawa pergi belatiku. Aku diberi nama Minoru, tapi jarang sekali aku dipanggil dengan nama itu. Ketika kami berdua, terkadang Yuki memanggilku Takeo, membiarkan kata itu keluar dari bibirnya seolah-olah dia memberi dirinya sebuah hadiah. Akio hanya memanggilku 'kau' dengan nada memanggil seorang bawahan. Dia berhak melakukan itu. Kedudukannya di atasku dalam usia, latihan, dan pengetahuan, dan aku diperintahkan untuk patuh padanya. Tapi, situasi ini membuatku kesal; mungkin aku sudah terbiasa diperlakukan dengan penuh hormat sebagai bangsawan Otori dan pewaris Shigeru. Latihanku dimulai sore itu juga. Di saat itulah kusadari kalau otot-otot tanganku sangat nyeri. Pergelangan tangan kananku masih lemah akibat bertarung dengan Akio dulu. Di penghujung hari, denyut-denyut kesakitan kembali menghampiri. Kami mengawali latihan untuk membuat jariku tangkas dan luwes. Bahkan dengan tangan yang luka Akio masih jauh lebih gesit dariku. Kami duduk berhadapan dan berkali-kali dia memukul tanganku sebelum aku sempat gerakkan. Gerakannya begitu cepat; sungguh tak bisa dipercaya kalau aku tidak mampu melihat gerakannya. Pukulan pertama tidak lebih dari tepukan ringan, namun saat sore berganti malam dan dia kian letih dan putus asa karena kelambananku, dia mulai bersungguh-sungguh memukul. Yuki, yang datang bergabung, berkata pelan, "Bila kau lukai tangannya, maka latihan akan semakin lama." "Mungkin aku harus melukai kepalanya," gerutu Akio, dan berikutnya, sebelum aku sempat mengelak, dia sudah menangkap kedua tanganku dengan tangan kanannya, lalu dia gunakan tangan kiri untuk memukul pipiku. Pukulannya cukup kuat untuk membuat mataku berair. "Kau tidak begitu berani tanpa belati," dia melepaskan tanganku dan bersiap-siap lagi. Yuki hanya diam. Kemarahanku membara. Aku, yang masih menganggap diriku bangsawan Otori, merasa terhina karena dipukul olehnya. Pengapnya ruangan, ejekan, ketidakacuhan Yuki, semuanya membuatku hilang kendali. Sekali lagi Akio melakukan gerakan yang sama dengan tangan yang berbeda. Pukulannya bahkan lebih keras, membuat kepalaku tersentak ke belakang, penglihatanku gelap, kemudian merah. Saat itulah kemarahanku meluap, seperti kemarahanku pada Kenji, lalu aku terjang dia. Rasanya sudah bertahun-tahun sejak umurku tujuh belas tahun, sejak kemarahan menguasai dan membuatku hilang kendali diri. Tapi aku masih ingat perasaanku itu keluar dari dalam diriku, seolah-olah sisi hewanku keluar, dan kemudian aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu, yang ada hanyalah perasaan membabi-buta tanpa memperdulikan akan hidup atau mati, hanya penolakan atas paksaan atau hinaan itu. Aku tiba-tiba sadar kalau telah mencekik tenggorokan Akio, mereka berdua akhirnya dapat menahanku dengan mudah. Yuki melakukan tipuan menekan leherku, dan saat aku limbung, dia pukul perutku begitu kuatnya sehingga aku terjungkal, muntah-muntah. Akio menyelip dari samping dan memelintir lenganku ke punggung. "Itu yang harus kau kendalikan," kata Yuki tenang. Akio lalu melepas tanganku dan duduk berlutut dalam siaga. "Mari kita mulai lagi." "Jangan pukul wajahku," kataku. "Yuki benar, lebih baik tidak melukai tanganmu," dia menjawab. "Kalau begitu, lebih cepatlah." Aku berjanji dalam hati untuk tidak membiarkan Akio memukuliku lagi. Berikutnya, meskipun belum berhasil memukulnya, tapi aku bisa mengelak sebelum dia sempat menyentuhku. Dengan mengamatinya, aku mulai mengenali gerakannya. Akhirnya aku bisa menyentuh permukaan jarinya. Dia tak berkata apa-apa, dia hanya menggangguk-angguk seakan-akan puas, lalu kami lanjutkan latihan dengan permainan juggle. Waktu pun berjalan: melempar bola dari satu telapak tangan ke telapak tangan lainnya. Di akhir hari kedua, aku sudah bisa memainkan tiga bola. Di akhir hari ketiga aku sudah dapat memainkan empat bola. Akio kadang-kadang berusaha menangkap dan menampar saat aku lengah, tapi umumnya aku berhasil menghindar, dalam kelitan tarian apik di antara bola-bola dan tanganku. Di akhir hari keempat, saat sedang menatap bola-bola dari balik bulu mataku, aku merasa bosan dan gelisah yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa orang, kurasa Akio salah satunya, berlatih dengan keras karena mereka terobsesi untuk menguasai semua keahlian itu. Aku segera sadar kalau aku bukan bagian dari mereka. Aku tidak melihat pentingnya bermain juggle. Aku tidak tertarik. Aku pelajari itu karena alasan yang buruk-karena aku akan dipukul bila tidak melakukannya. Aku mengikuti cara mengajar Akio yang kejam karena keharusan, tapi aku membenci latihan ini dan aku juga membenci dia. Lebih dari dua kali dorongannya membuat aku marah, tapi ketika hendak kubalas, dia dan Yuki yang telah waspada dapat menahanku sebelum ada yang terluka. Di malam keempat, saat semua orang telah tidur, aku memutuskan untuk keluar. Aku jenuh, aku tidak bisa tidur, aku ingin menghirup udara segar dan untuk melihat apakah aku bisa keluar tanpa diketahui. Agar kepatuhanku pada Tribe masuk akal, aku harus mencari tahu apakah aku dapat bersikap tidak patuh. Kepatuhan yang dipaksakan sama tidak pentingnya seperti permainan juggle. Mereka mengikatku siang dan malam seperti anjing, dan memaksaku menggeram dan menggigit sesuai perintah. Aku tahu denah rumah ini. Aku telah memetakannya saat tidak ada pekerjaan lain selain mendengar. Aku tahu di mana orang-orang tidur. Yuki dan ibunya tidur di kamar belakang bersama dua perempuan yang belum pernah kulihat, meskipun aku sering mendengar suara mereka. Seorang bekerja di toko dan sering bersendau-gurau dengan pelanggan. Yuki memanggilnya 'bibi'. Sedangkan yang seorang lagi tak lebih dari pelayan. Dia membersihkan rumah dan memasak, selalu bangun paling awal di pagi hari dan tidur paling terakhir di malam hari. Dia tidak banyak bicara, nada bicaranya rendah dengan aksen utara. Dia bernama Sadako. Semua orang senang mengolok-olok dan memanfaatkannya; balasannya selalu dengan suara lembut dan penuh hormat. Aku merasa akrab dengan kedua perempuan ini, meskipun aku belum pernah bertatap muka dengan mereka. Akio dan tiga orang laki-laki tidur di loteng yang terletak di atas toko. Setiap malam mereka bergantian bergabung dengan penjaga di belakang rumah. Akio telah berjaga di malam sebelumnya dan itu membuatku menderita, seakan kesulitan tidurku menambah kepedihan dari ejekan orang itu. Sebelum si pelayan pergi tidur, saat lampu masih menyala, aku mendengar seorang laki-laki membantunya menutup pintu dan jendela, serta bunyi gedebuk keras panel kayu saat digeser yang selalu diiringi gonggongan anjing. Ada tiga ekor anjing di rumah ini, masing-masing memiliki gonggongan yang berbeda. Orang yang sama selalu memberi makan anjing-anjing itu setiap malam, bersiul dengan cara tertentu yang sering aku tiru saat sedang sendiri, merasa bersyukur bahwa tak seorang pun memiliki pendengaran Kikuta. Pintu depan rumah selalu dipalang di malam hari, dan pintu belakang selalu dijaga, hanya satu pintu kecil yang dibiarkan tanpa dipalang. Pintu itu mengarah ke lahan sempit antara rumah dan dinding luar, dan di ujungnya ada kamar kecil. Aku pernah ditemani ke situ tiga atau empat kali sehari. Aku pun pernah berada di halaman luar beberapa kali setelah hari gelap, untuk mandi di pancuran kecil yang ada di halaman belakang. Meskipun begitu, keberadaanku tetap disembunyikan, tindakan itu, seperti yang Yuki dikatakan, demi keselamatan diriku. Sejauh yang dapat kukatakan, tak seorang pun menganggap aku akan berusaha melarikan diri: Aku tidak dijaga. Aku berbaring, sambil mendengarkan suara-suara di rumah ini. Aku mendengar napas perempuan di ruangan bawah, laki-laki di loteng. Di balik dinding luar, kota perlahan-lahan mulai sepi. Aku telah berada dalam satu keadaan yang kukenal. Aku tidak bisa menjelaskannya, namun keadaan ini sudah menyatu dengan diriku. Aku tidak merasa takut atau pun senang. Otakku mati. Aku hanya dipenuhi insting, insting, dan telinga. Waktu berjalan lambat. Tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuka pintu di kamar yang tersembunyi ini. Aku tahu kalau aku akan melakukannya, dan aku akan melakukannya tanpa bersuara. Aku akan mencapai gerbang tanpa diketahui. Saat berdiri di pintu luar dengan waspada pada setiap bunyi yang ada di sekitarku, aku mendengar langkah kaki. Isteri Kenji bangun, lalu menyeberangi kamar tidurnya dan berjalan ke ruangan tersembunyi. Pintu terbuka, beberapa saat berlalu. Dia keluar ruangan membawa lampu, berjalan cepat ke arahku tanpa bersikap cemas. Segera saja aku berpikir untuk menghilangkan diri, namun aku tahu itu tak berguna. Dia hampir pasti bisa melihatku, dan jika dia tak bisa melihatku, dia akan membangunkan seluruh penghuni rumah begitu melihat aku tidak ada. Tanpa bicara aku memiringkan kepala ke pintu yang mengarah ke kamar kecil dan berjalan kembali ke kamar tersembunyiku. Saat melewatinya, aku sadar kalau dia sedang memandangku. Dia tidak bicara, hanya mengangguk, namun kurasa dia tahu aku hendak keluar. Ruangan kamarku terasa lebih sesak dari sebelumnya. Tidur pun tampaknya mustahil saat ini. Aku masih dirasuki insting gelapku. Aku berusaha mencari-cari deru napas perempuan itu, namun tetap tak terdengar. Akhirnya aku yakinkan diri bahwa dia sudah tidur. Aku bangun, dan dengan perlahan aku membuka pintu, lalu melangkah keluar. Lampu masih menyala. Isteri Kenji duduk di dekat lampu itu. Matanya terpejam, tapi kemudian dia membuka mata dan menatapku yang sedang berdiri di depannya. "Kau ingin ke kamar kecil lagi?" dia bertanya dengan santai. "Aku tidak bisa tidur." "Duduklah. Akan kubuatkan teh." Dia langsung berdiri tegak dalam satu gerakan-terlepas dari usia dan ukuran tubuhnya, gerakannya seluwes seorang gadis. Dia menyentuh bahuku dan mendorongku lembut agar duduk di tikar. "Jangan berusaha kabur!" Dia memperingatkan, nada mengolok-olok terdengar dalam suaranya. Aku lalu duduk dengan pikiran yang masih dipenuhi keinginan untuk keluar. Aku mendengar desis ketel saat dia meniup bara api, lalu terdengar dentingan besi dan tembikar. Dia datang lagi membawa teh, dan memberiku semangkuk, sedangkan aku mencondongkan badan untuk menerimanya. Cahaya lampu bersinar di antara kami. Saat mengambil mangkuk, kutatap dia, melihat rasa senang dan ejekan di matanya. Kurasa dia tidak bersungguh-sungguh memujiku sebelumnya: dia tidak mempercayai kemampuanku. Sesaat kemudian kelopak matanya terpejam. Aku menjatuhkan mangkuk untuk menangkap tubuhnya yang terhuyung-huyung. Aku letakkan dia di atas tikar. Dia tertidur pulas. Dalam cahaya lampu, tumpahan teh menguap. Seharusnya aku takut, tapi ternyata tidak. Aku hanya merasa kepuasan dingin yang dibawa oleh kemampuan Tribe itu. Tak pernah terlintas bila aku dapat melakukan itu pada isteri ketua Muto. Aku lega karena kini tak ada lagi yang dapat menghentikanku untuk pergi. Ketika menyelinap melalui pintu samping menuju halaman, aku mendengar anjing-anjing bergerak. Aku bersiul dalam nada tinggi dan pelan sehingga hanya anjing dan aku yang bisa mendengarnya. Seekor anjing muncul untuk memeriksaku, ekornya berkibas-kibas. Seperti anjing lainnya, anjing ini juga suka kepadaku. Aku menjulurkan tangan. Anjing itu menyandarkan kepala ke tanganku. Meskipun bukan bulan purnama, tapi cukup memberiku cahaya untuk menatap mata anjing itu yang berwarna kuning. Kami saling menatap selama beberapa saat sebelum anjing itu menguap, menunjukkan gigi putihnya yang besar, berbaring di kakiku dan terlelap. Terlintas pikiran di benakku, anjing hanyalah hewan, isteri ketua Muto adalah makhluk yang berbeda, namun aku memilih untuk mengabaikan pikiran itu. Aku berjongkok dan mengelus-elus kepala anjing itu beberapa kali, selagi aku menatap dinding. Aku tidak memiliki senjata maupun peralatan lainnya. Atap dinding berukuran luas dan sangat tinggi sehingga tanpa bantuan pengait besi rasanya mustahil menambatkan tanganku. Akhirnya aku memanjat ke atap rumah mandi lalu meloncat melintasinya. Aku menghilangkan tubuh'Wili, merayap sepanjang bagian atas dinding menjauhi pintu belakang dan para penjaga, lalu menjatuhkan diri di jalantidak jauh dari persimpangan. Aku berdiri bersandar di dinding beberapa saat sambil mendengarkan. Aku hanya mendengar penjaga bergumam. Anjing tidak menggonggong dan seluruh kota tampaknya telah tidur. Seperti yang pernah kulakukan saat memanjat kastil Yamagata, aku berjalan dari satu jalan ke jalan lain dengan gerakan yang zig-zag ke arah sungai. Pepohonan willow berdiri dengan latar belakang bulan. Rantingnya bergerak lembut dalam belaia angin musim gugur, daunnya telah menguning, satu atau dua jatuh mengapung di sungai. Aku meringkuk di bawah naungan pepohonan ini. Aku tidak tahu siapa yang mengendalikan kota ini sekarang: Pemimpin kastil ini yang pernah dikunjungi Shigeru, yang juga sekutu Iida, telah digulingkan bersama Tohan waktu penduduk kota bangkit ketika mendengar berita kematian Shigeru. Tapi mungkin Arai telah menempatkan gubernur pengganti di wilayah ini. Aku tak mendengar suara-suara penjaga berpatroli. Aku menatap bangunan kastil, tidak mampu melihat apakah kepala orang Hidden yang telah aku bebaskan dari siksaan, melalui kematian, sudah dipindah atau belum. Aku hampir-hampir tak mempercayai ingatanku: Peristiwa itu terasa seperti mimpi atau seakan aku mendengar cerita bahwa orang lain yang melakukannya. Saat mendengar langkah kaki yang mendekat ke tepi sungai, aku terkenang peristiwa di malam itu dan bagaimana aku berenang di sungai: tanah ini lembut juga lembab sehingga langkah kaki akan teredam, tapi siapa pun orang itu, pasti jaraknya cukup dekat. Aku seharusnya segera pergi, tapi aku ingin tahu siapa yang datang ke sungai di malam seperti ini. Orang itu ternyata laki-laki bertubuh pendek dan sangat kurus: di malam yang gelap ini aku tidak bisa melihat lebih jelas lagi. Dia melihat ke sekelilingnya secara sembunyi-sembunyi, lalu berlutut di tepi sungai, seperti sedang berdoa. Angin menerpa sungai, membawa aroma tajam air dan lumpur, dan juga bau orang itu. Baunya tercium akrab. Aku menghirup udara seperti anjing, mencoba menerka siapa orang itu. Setelah beberapa waktu, aku mengenali aroma itu: bau penyamak. Orang ini pasti pekerja kulit, seorang gelandangan. Aku lalu menyadari siapa orang itu: dialah orang yang pernah berbicara padaku setelah aku memanjat ke dalam kastil. Saudara laki-lakinya adalah salah satu orang Hidden yang disiksa, yang kubebaskan melalui kematian. Saat itu aku meninggalkan sosok keduaku di tepi sungai, dan orang ini mengira telah melihat malaikat sehingga menyebarkan rumor tentang malaikat Yamagata. Aku dapat menduga alasan dia berdoa di sana. Dia pasti berharap bisa bertemu malaikat itu lagi. Aku merasakan sesuatu yang lain, rasa pedih dan menyesal karena hilangnya kehidupanku di masa kecil, atas kata-kata dan ritual yang dulu pernah membuatku merasa tentram, yang tampak seabadi pergantian musim dan lintasan bulan serta bintang di langit. Aku telah direnggut dari hidupku di antara kaum Hidden saat Lord Shigeru menyelamatkanku di Mino. Sejak itu aku menyembunyikan asal-usulku, tak pernah membicarakannya pada orang lain, tidak pernah berdoa secara terang-terangan. Tapi terkadang di malam hari aku berdoa menurut keyakinan dari tempatku tumbuh besar, pada Tuhan rahasia yang disembah ibuku, dan saat ini aku rindu untuk mendekati laki-laki ini dan berbicara padanya. Sebagai bangsawan Otori, bahkan sebagai anggota Tribe, aku seharusnya menghindari pekerja kulit karena membantai hewan dianggap tidak bersih, tapi kaum Hidden yakin manusia diciptakan sama, dan begitu pula yang ibuku ajarkan. Tetap saja, sisa-sisa kewaspadaan menahanku keluar dari bawah pepohonan willow, meskipun saat mendengar bisikan doanya, tanpa sadar aku mengulangi kata-katanya. Aku tidak ingin mengganggunya seandainya aku tidak mendengar beberapa orang mendekati jembatan. Patroli. Mungkin mereka pengawal Arai, meskipun aku tak tahu secara pasti. Mereka berhenti di atas jembatan dan memandang ke bawah, ke sungai. "Itu si sinting," seseorang berkata. "Sungguh memuakkan harus melihatnya di sana setiap malam." Aksen orang itu terdengar seperti penduduk setempat, tapi laki-laki yang di sebelahnya memiliki aksen Wilayah Barat. "Pukul saja, nanti juga dia tidak akan datang lagi." "Kita pernah pukul, tapi dia masih saja datang." "Mungkin dia minta dipukul lagi." "Kita kurung saja dia beberapa malam." "Kita ceburkan saja dia ke sungai." Mereka kemudian tertawa. Aku mendengar langkah kaki mereka berlari, dan kemudian tak terdengar saat mereka melewati belakang rumah-rumah. Mereka masih berlari tanpa bersuara: laki-laki di tepi sungai itu tidak mendengar apa-apa. Aku tak ingin berdiam diri mengawasi para penjaga melemparkan orangku ke sungai. Orangku: dia sudah menjadi milikku kini. Aku menyelinap keluar dari pepohonan willow dan berlari ke arahnya. Kutepuk bahunya dan, ketika dia menoleh, aku berbisik, "Kemari, cepat bersembunyi!" Dia langsung mengenaliku dan diiringi desah takjub, dia menyembah di kakiku, sambil berdoa tak beraturan. Di kejauhan aku mendengar patroli itu mendekati jalan di sepanjang tepi sungai. Aku menggoyang-goyang tubuh laki-laki itu, mengangkat kepalanya, meletakkan jariku ke bibir dan, seraya berusaha mengingatkan diriku untuk tidak menatap mata orang itu, aku dorong dia ke bawah popohonan willow. Aku harus tinggalkan orang ini, pikirku. Aku bisa menghilang dan menghindari patroli, tapi kemudian aku dengar langkah kaki di persimpangan dan menyadari kalau aku sudah terlambat. Angin sepoi-sepoi menyibakkan air dan membuat daun pohon willow bergetar. Di kejauhan terdengar seekor ayam jantan berkokok, lonceng biara berdentang. "Hilang!" ada yang berteriak, tidak lebih dari sepuluh langkah dari kami. Laki-laki lainnya melontarkan sumpah serapah, "Dasar gelandangan menjijikkan." "Menurutmu mana yang lebih buruk: gelandangan atau orang Hidden?" "Keduanya! Itulah yang paling buruk." Aku dengar desis pedang yang dicabut dari sarung. Scorang petugas patroli menebas alang-alang dan pepohonan willow. Laki-laki di sebelahku tegang. Dia gemetar, tapi tidak bersuara. Bau kulit hewan tercium kuat di hidungku. Aku yakin para penjaga itu juga akan mencium bau orang ini, hanya saja bau busuk air sungai pasti telah menyamarkannya. Aku memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian mereka dari penyamak ini. Aku pun memecah diriku menjadi dua sosok dan, di saat yang sama, sepasang bebek yang tidur di sela alang-alang tiba-tiba terbang sambil menjerit, lalu meluncur di permukaan air dan memecah keheningan malam. Para petugas patroli berteriak kaget, kemudian mereka saling menatap. Mereka bergurau dan menggerutu beberapa lama, melempar batu ke bebek itu, kemudian pergi ke arah yang berlawanan dari arah mereka datang. Aku mendengar langkah kaki mereka bergema menyusuri kota, sayup-sayup menghilang hingga aku pun tak bisa mendengarnya lagi. Aku mulai memarahi laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini? Mereka pasti melemparmu ke sungai jika tertangkap." Dia menyembah lagi. "Duduklah," aku mendesak. "Bicaralah." Dia lalu duduk, memandang sekilas ke atas, ke wajahku, lalu menunduk. "Aku kemari setiap malam," dia berkata perlahan. "Aku selalu berdoa pada Tuhan untuk melihatmu sekali lagi. Aku tak bisa melupakan apa yang telah kau lakukan pada saudaraku, pada mereka semua." Dia terdiam sejenak, lalu berbisik, "Kupikir kau malaikat, tapi orang bilang kau anak Lord Otori. Kau bunuh Lord Iida demi membalaskan dendam ayahmu. Pemimpin baru, Arai Daiichi dari Kumamoto, mengerahkan anak buahnya meniyisiri kota untuk mencarimu. Mereka yakin kau masih di sini jadi aku kemari untuk menemuimu. Apa pun wujud yang kau pilih, kau pastilah malaikat." Sungguh mengejutkan mendengar ceritaku diungkap kembali oleh laki-laki ini. Cerita ini mengingatkanku pada bahaya yang sedang kujalani. "Pergilah. Jangan katakana kalau kau bertemu denganku." Aku bersiap-siap pergi. Dia seperti tidak mendengar. Dia nyaris berada dalam keadaan agung: matanya berkilauan, bintik-bintik air liur bercahaya di bibirnya. "Jangan pergi dulu, tuan," dia memohon. "Setiap malam aku bawakan makanan dan sake untukmu. Kita harus makan dan minum bersama, kemudian kau harus memberkatiku dan aku akan mati bahagia." Dia mengambil dan membuka bungkusan kecil berisi makanan. Setelah mengeluarkan makanan dan meletakkannya di antara kami berdua, dia lalu melafalkan doa pertama kaum Hidden. Kata-kata yang sudah biasa aku dengar itu membuatku merinding dan ketika dia selesai, aku lanjutkan dengan doa kedua. Kemudian aku mulai makan. Hidangan ini agak mengenaskan, kue mochi dengan isi kulit ikan yang diasapi, namun mengandung semua unsur ritual di masa kecilku. Gelandangan ini lalu mengeluarkan botol kecil dan menuanginya ke mangkuk yang terbuat dari kayu. Minuman ini adalah arak buatan rumah, jauh lebih keras dari sake, dan tak ada hidangan lebih selain yang ada di mulut kami, tapi aroma makanan membuatku teringat rumahku. AKu merasakan kehadiran ibuku begitu kuat sehingga air mata menusuk kelopak mataku. "Kau rahib?" aku berbisik, bertanya-tanya bagaimana dia bisa lolos dari hukuman orang Tohan. "Saudaraku itulah rahib kami. Dialah orang yang telah kau bebaskan dalam pengampunan. Sejak kematiannya, aku melakukan apa yang mampu kulakukan untuk orang-orang kami-mereka yang masih tersisa." "Banyakkah orang-orangmu yang dibunuh Iida?" "Di Timur jumlahnya ratusan. Orangtuaku melarikan diri ke sini bertahun-tahun lalu, dan di bawah kekuasaan Otori, tak ada lagi penyiksaan. Tapi dalam waktu sepuluh tahun sejak peristiwa Yaegahara tak seorang pun selamat di daerah sini. Kini kita punya pemimpin baru, Arai: tak ada yang tahu apa sikapnya pada kami. Orang-orang bilang dia punya masalah lain yang harus diselesaikan. Kami tak akan diganggu saat dia berurusan dengan Tribe." Suaranya berubah berbisik di akhir kalimat, seakan-akan untuk menyebutnya saja bisa mendatangkan beban pajak. "Dan hanya ada keadilan," dia melanjutkan, "bagi mereka yang menjadi pembunuh dan pembantai. Kami bukan orang yang berbahaya. Kami dilarang membunuh." Dia menyorotkan pandangan meminta maaf. "Tentu saja, tuan, kasusmu berbeda." Dia tidak tahu seberapa jauh aku telah menyimpang dari ajaran ibuku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar gonggongan anjing di kejauhan, dan ayam jago mengumumkan datangnya pagi. Aku harus pergi, kendati aku enggan beranjak. "Kau tidak takut?" Aku bertanya padanya. Aku sering merasa ngeri. Aku tidak memiliki keberanian. "Tapi hidupku ada di tangan Tuhan. Dia mempunyai rencana padaku. Dia mengirimmu kepadaku." "Aku bukan malaikat," kataku. "Bagaimana mungkin seorang bangsawan Otori tahu doa-doa kami?" balasnya. "Siapa lagi kalau bukan malaikat yang mau berbagi makanan dengan orang sepertiku?" Aku tahu resiko yang kuambil, namun tetap saja aku mengatakannya. "Lord Shigeru telah menyelamatkanku dari pembantaian Iida di Mino." Aku merasa tidak seharusnya mengatakan itu. Dia diam sejenak, terkesima. Kemudian dia berbisik, "Mino? Kami pikir tak ada orang yang selamat dari sana. Betapa anehnya cara Tuhan. Kau diciptakan demi tujuan yang brsar. Meskipun bukan malaikat, kau pasti ditunjuk oleh Sang Rahasia." Aku menggelengkan kepala. "Aku hanyalah manusia biasa. Hidupku bukanlah milikku. Takdir yang membawaku pergi jauh dari kampung halamanku, dan takdir jugalah yang membawaku pergi dari Otori." Aku tak ingin memberitahukan kalau aku anggota Tribe. "Kau butuh bantuan?" dia bertanya. "Kami akan selalu membantumu. Datanglah ke jembatan gelandangan." "Di mana itu?" "Antara Yamagata dan Tsuwano. Namaku Jo-An." Dia lalu mengucapkan doa ketiga, mensyukuri hidangan. "Aku harus pergi," kataku. "Sebelum itu, maukah kau memberkatiku, tuan?" Aku menaruh tangan kananku di kepalanya dan mulai berdoa seperti yang ibuku selalu lakukan kepadaku. Aku merasa tidak nyaman, mengetahui diriku tidak pantas mengucapkan kata-kata ini, tapi semua kata-kata keluar dari lidahku dengan lancar. Jo-An meraih tanganku dan menyentuhkan kening dan bibirnya ke jari-jariku. Aku menyadari betapa dalam kepercayaannya kepadaku. Dia melepas tanganku dan bersujud. Ketika dia mengangkat kepala, aku sudah jauh di sisi jalan. Langit memucat, embun terasa dingin. Aku menyelinap dari pintu ke pintu. Lonceng biara berdentang. Kota mulai hiruk-pikuk, daun jendela pertama diturunkan dan bau asap dari tungku berembus ke jalan. Aku terlalu lama bersama Jo-An. Aku tidak menggunakan sosok keduaku malam ini, tapi aku merasa diriku terbelah, seakan-akan aku tinggalkan diriku di bawah pohon willow bersama gelandangan itu. Sedangkan diriku yang kembali ke Tribe hanyalah bayangan. Saat kembali ke rumah Muto, rasa gelisah yang semula terpendam kini muncul lagi. Bagaimana aku akan melintasi bagian atas dinding dari jalan ini? Lantai putih dan atap abu-abu yang kini berkilauan diterangi fajar seakan mengejekku. Aku menunduk di seberang rumah, menyesali kebodohanku. Aku telah kehilangan konsentrasi: pendengaranku masih tajam seperti biasa, tapi keyakinan diriku, instingku, telah lenyap. Aku tak boleh berdiam di tempat ini. Di kejauhan aku mendengar derap sekelompok penunggang kuda mendekat. Suara mereka menerpaku. Aku mengenali aksen itu, aksen yang menunjukkan mereka adalah anak buah Arai. Seandainya mereka menemukanku, hidupku bersama Tribe rui berakhir-hidupku mungkin juga akan berakhir bila Arai merasa terhina seperti kabar yang menyebar. Kini tak ada pilihan lain kecuali berlari ke gerbang dan iicriak pada penjaga untuk membukanya. Saat menyeberangi jalan, terdengar suara dari balik gerbang. Suara Akio memanggil penjaga rumah dengan pelan. Aku lalu mendengar bunyi gedebuk ketika palang gerbang dibuka. Patroli berbelok ke ujung jalan. Segera saja aku menghilangkan diri, berlari ke pintu, dan menyelinap masuk ke dalam rumah. Para penjaga tidak melihatku, tapi Akio melihatku. Dia menghampiri dan menarik kedua lenganku dengan kasar. Aku memeluk diriku untuk menghindari pukulan. Aku pasti akan mengikutinya, tapi dia tidak membuang-buang waktu. Dia langsung menyeretku ke dalam rumah. Kuda yang ditunggangi pasukan patroli berlari kian cepat, berderap menuruni jalan. Aku tersandung seekor anji ng. Hewan itu merengek dalam tidurnya. Para penunggang kuda berteriak kepada penjaga gerbang, "Selamat pagi!" "Apa yang kalian dapat?" seorang penjaga membalas. "Bukan urusan kalian!" Selagi diseret, aku menoleh ke belakang. Melalui lahan sempit antara rumah tempat mandi dan dinding, aku dapat melihat jalan di sisi luar melalui gerbang yang terbuka. Di belakang rombongan berkuda, dua orang sedang berjalan kaki sambil menyeret seorang tawanan. Meskipun tidak bisa melihat tawanan itu dengan jelas, namun dapat kudengar suaranya. Dapat kudengar doa-doanya. Dia adalah si gelandangan, Jo-An. Aku pasti telah menerjang ke arah gerbang karena Akio saat ini menarikku dengan paksa sehingga nyaris membuat bahuku terkilir. Kemudian dia memukul, perlahan dan efesien, ke samping leherku. Ruangan terasa berputar-putar. Masih tanpa bicara, dia menyeretku ke ruangan utama di mana seorang pelayan sedang menyapu. Tanpa mempedulikan kami. Akio berteriak ke arah dapur selagi membuka dinding palsu di ruangan tersembunyi, lalu mendorongku masuk. Isteri Kenji datang ke dalam ruangan dan Akio menutup pintu. Wajah istri Kenji pucat dan matanya sembab, dia tampaknya masih melawan rasa kantuk. Dapat kurasakan kemurkaannya bahkan sebelum dia mulai bicara. Dia menamparku dua kali. "Dasar anak kurang ajar! Dasar idiot! Berani benar kau lakukan itu padaku." Akio mendorongku ke lantai, masih memegang kedua lenganku di belakang punggungku. Aku menunduk dengan patuh. Tak ada gunanya bicara. "Kenji pernah memperingatkan kalau kau akan keluar. Semula aku tidak percaya. Kenapa kau lakukan ini?" Ketika aku tidak menjawab, dia lalu duduk berlutut dan mengangkat kepalaku hingga dapat melihat wajahku. Aku bersikeras untuk tidak menatap matanya. "Jawab! Apa kau sudah sinting?" "Hanya untuk melihat apa aku bisa." Dia menghela napas jengkel, persis seperti suaminya. "Aku tidak suka dikurung," aku merengut. "Itu gila," kata Akio marah, "Dia ini berbahaya bagi kita semua. Kita harus.... " Perempuan itu langsung menyela. "Itu hanya bisa diputuskan oleh ketua Kikuta. Sebelum itu, tugas kita yaitu menjaga agar dia tetap hidup dan jauh dari jangkaun Arai," dia kembali menepuk-nepuk kepalaku, tapi kai ini ini tidak keras. "Siapa yang melihatmu?" "Tidak ada. Hanya seorang gelandangan." "Gelandangan apa?" "Penyamak. Jo-An." "Jo-An? Si sinting? Orang yang mengatakan telah bertemu malaikat?" Dia menghela napas panjang. "Jangan katakan dia telah melihatmu." "Kami sempat berbincang-bincang," aku mengaku. "Anak buah Arai berhasil menangkap gelandangan itu," kata Akio. "Kuharap kau menyadari betapa tololnya dirimu," kata istri Kenji. Aku menunduk lagi. Aku memikirkan Jo-An, berharap aku melihatnya pulang ke rumah-jika dia punya rumah di Yamagata-bertanya-tanya apakah aku dapat menyelamatkannya, bertanya apa tujuan Tuhannya pada orang itu sekarang. Aku sering merasa takut, ujar Jo-An. Merasa ngeri. Iba dan penyesalan berpilin-pilin dalam hatiku. "Cari tahu apa yang diocehkan gelandangan itu," kata isteri Kenji pada Akio. "Dia tak akan mengkhianatiku," kataku. "Bila disiksa, semua orang akan berkhianat," jawab Akio singkat. "Keberangkatanmu harus dipercepat," perempuan itu melanjutkan. "Mungkin hari ini." Akio masih berlutut di belakangku sambil memegang pergelangan tanganku. Aku merasakan gerakannya saat dia mengangguk. "Apakah dia akan dihukum?" tanya Akio. "Tidak. Dia harus sanggup melakukan perjalanan. Selain itu, seperti yang kau tahu, hukuman fisik tidak berguna baginya. Jadi pastikan dia tahu secara pasti apa yang gelandangan itu derita. Kepalanya mungkin sekeras batu, tapi hati anak ini sangat lembut." "Ketua mengatakan kalau itu yang menjadi kelemahan utamanya," kata Akio. "Ya, jika bukan karena itu, mungkin kita telah memiliki Shintaro lain." "Kelembutan hatinya bisa mengeras," gerutu Akio. "Ya, kalian orang Kikuta tahu cara terbaik untuk melakukannya." Aku masih berlutut di lantai selagi mereka membahas diriku seakan aku hanya barang dagangan, tong sake yang bisa berubah menjadi minuman terbaik, atau justru akan membusuk dan tak berharga. "Bagaimana sekarang?" kata Akio, "Apakah dia akan diikat hingga kami pergi?" "Kenji bilang kaulah yang memilih datang pada kami," dia berkata padaku. "Lalu kenapa kau mencoba kabur?" "Aku telah kembali." "Apa kau akan mencobanya lagi?" "Tidak." "Kau akan ke Matsue ditemani beberapa seniman dan kau harus berjanji tidak akan melakukan apa pun yang membahayakan mereka maupun dirimu sendiri?" Perempuan itu berpikir sejenak, tapi tetap saja dia menyuruh Akio mengikatku. Setelah mengikatku, mereka pergi menyiapkan keberangkatan kami. Seorang pelayan dating membawa nampan berisi makanan dan teh, lalu membantuku makan dan minum tanpa bicara. Setelah dia membawa kembali makanan, tidak seorang pun datang menemuiku. Aku mendengarkan nyanyian rumah dari berpikir bahwa aku melihat semua kekasaran dan kekejaman yang terhampar di balik alunan keseharian rumah ini. Keletihan melandaku. Aku merangkak ke kasur, berusaha mencari posisi senyaman mungkin, memikirkan ketidakberdayaan Jo-An dan kebodohanku hingga aku tertidur. Aku terjaga dengan jantung berdebar hebat, tenggorokanku kering. Aku bermimpi tentang si gelandangan, mimpi buruk yang mana, dari kejauhan, aku mendengar suara-suara selirih dengung nyamuk yang membisikkan sesuatu dan hanya aku yang bisa mendengarnya. Akio pasti berkata dengan menekan mulutnya ke dinding luar ruangan. Dia membisikkan secara detail tentang penyiksaan yang dialami Jo-An. Ceritanya terus dan terus dalam nada lambat dan datar, membuat bulu kudukku merinding dan perutku jungkir balik. Terkadang dia diam dan aku lega karena ceritanya telah berakhir, tapi kemudian dia melanjutkan lagi. Aku bahkan tak bisa menyumbat telinga dengan jari. Tak ada jalan untuk lolos darinya. "Baiklah." Isteri Kenji benar. Itulah hukuman paling buruk bagiku. Aku berharap telah membunuh Jo-An saat pertama kali melihatnya di tepi sungai. Rasa iba telah menahan tanganku, tapi rasa iba jugalah yang mendatangkan akibat buruk. Aku mungkin bisa memberi kematian yang cepat pada gelandangan itu. Akulah yang menyebabkan dia disiksa. Ketika suara Akio menghilang, aku mendengar langkah Yuki di luar. Dia masuk sambil membawa baskom berisi gunting dan pisau cukur. Seorang pelayan, Sadako, mengikutinya dengan tangan penuh pakaian. Setelah meletakkan pakaian di lantai, dia lalu keluar dengan perlahan. Aku mendengar Sadako berkata bahwa hidangan siang sudah siap, lalu Akio berdiri dan mengikutinya ke dapur. Aroma makanan menyebar, namun tetap saja aku tidak berselera makan. "Akan kupotong rambutmu," kata Yuki. Potongan rambutku masih bergaya ksatria, masih seperti keinginan Ichiro, mantan guruku di kediaman Shigeru. Ichiro memaksa untuk mencukur dahiku, dan rambut belakangku diangkat dalam bentuk kepang ke atas kepala. Sudah berminggu-minggu aku belum memotong rambut maupun mencukur janggut, meskipun janggutku masih sangat sedikit. Yuki melepas ikatan tangan dan kakiku, kemudian menyuruhku duduk di depannya. "Kau sungguh tolol," katanya, saat mulai memangkas rambutku. Aku tidak menjawab. Aku sadari itu, tapi aku juga sadar akan melakukan lagi hal serupa. "Ibuku sangat marah. Aku tidak tahu mana yang lebih membuatnya kaget, kau berhasil membuatnya tertidur ataukah keberanianmu melakukannya." Helaian rambut berjatuhan di sekelilingku. "Di saat yang sama dia juga gembira," Yuki melanjutkan. "Dia mengatakan bahwa kau mengingatkannya pada Shintaro saat seusiamu." "Ibumu mengenalnya?" "Kuberitahu satu rahasia: ibuku tergila-gila padanya. Ibuku hampir menikah dengannya, tapi karena tidak sesuai dengan aturan Tribe, sehingga dia akhirnya menikah dengan ayahku. Lagipula, kupikir dia tak sanggup menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang melebihi dirinya. Shintaro adalah ahlinya tatapan tidur Kikuta: tak seorang pun lolos dari tatapannya." Yuki bersemangat, lebih ceriwis dari yang pernah kukenal. Aku dapat merasakan tangannya yang gemetar menyentuh leherku saat memangkas. Aku teringat kata-kata Kenji yang meremehkan isterinya. Pernikahan mereka, seperti yang terjadi pada kebanyakan orang, adalah bagian dari rencana persekutuan antara dua keluarga. "Seandainya dia menikahi Shintaro, mungkin aku akan menjadi orang lain," kata Yuki merenung. "Kurasa ibuku tak pernah berhenti mencintainya." "Meskipun Shintaro seorang pembunuh?" "Dia bukan pembunuh! Dia seperti dirimu." Nada bicaranya memberitahukan kalau percakapan ini bergerak ke area yang berbahaya. Sosok Yuki memang sangat menarik. Aku tahu dia memiliki perasaan yang sangat kuat padaku. Tapi aku tidak punya perasaan padanya seperti yang kumiliki pada Kaede, dan aku tak ingin berbicara tentang cinta. Aku berusaha mengubah arah pembicaraan. "Kukira keahlian menidurkan hanya dimiliki Kikuta. Bukankah Shintaro berasal dari keluarga Kurado?" "Itu dari pihak ayahnya. Ibunya seorang Kikuta. Shintaro dan ayahmu sepupu." Perkataannya membuat aku pedih. Orang yang mati karena diriku adalah kerabatku. "Apa yang terjadi di malam Shintaro mati?" tanya Yuki, ingin tahu. "Aku dengar ada yang memanjat dinding. Jendela di lantai pertama terbuka karena cuaca saat itu panas. Lord Shigeru ingin menangkapnya hidup-hidup tapi waktu dia tertangkap, kami bertiga terjatuh ke taman. Kepala Shintaro membentur batu, tapi kami menduga dia mati karena menelan racun. Dia mati tanpa pernah sadar. Ayahmu yang memastikan orang itu bernama Kuroda Shintaro. Akhirnya kami tahu kalau kedua paman Shigeru yang membayarnya untuk membunuh Shigeru." "Sungguh menakjubkan," kata Yuki, "karena kau ada di sana dan tak seorang pun tahu siapa dirimu." Aku menjawabnya dengan jujur karena mungkin aku sedang hanyut dalam kenangan di malam itu. "Kurang begitu menakjubkan. Shigeru memang sedang mencariku saat dia menyelamatkanku di Mino. Dia mengetahui keberadaanku dan dia juga tahu kalau ayahku seorang pembunuh. Lord Shigeru bilang itu saat di Tsuwano. Aku Tanya apakah itu alasannya mencariku dan dia mengatakan itu hanya salah satu alasan. Aku tak tahu alasan yang lainnya, dan kini aku tidak akan pernah tahu." Yuki berhenti memangkas. "Ayahku tidak tahu itu?" "Tidak, dia dibiarkan percaya bahwa Shigeru bertindak atas dorongan hati, bahwa aku bertemu Shigeru hanyalah suatu kebetulan." "Kau serius?" Terlambat sudah, keingintahuannya membuat aku menjadi curiga. "Pentingkah itu?" "Bagaimana Lord Otori bisa tahu sesuatu yang bahkan Tribe tidak tahu? Apa lagi yang dia katakan?" "Dia mengatakan banyak hal," kataku dengan tidak sabar. "Dia dan Ichiro mengajariku hampir semua yang aku tahu." "Maksudku tentang Tribe!" Aku menggelengkan kepala seolah-olah tak mengerti. "Tidak ada. Aku tidak tahu apa-apa tentang Tribe, kecuali apa yang ayahmu ajarkan, dan apa yang kupelajari di sini." Dia menatapku. Aku mengelak untuk menatapnya bicara langsung. "Masih banyak yang harus dipelajari," akhirnya dia berkata. "Aku akan mengajarimu selama di perjalanan." Dia menyisiri rambutku yang pendek lalu berdiri dalam satu gerakan seperti ibunya. "Kenakan ini. Akan kuambilkan sesuatu untuk kau makan." "Aku tidak lapar," ucapku, menjulurkan tangan untuk mengambil pakaian. Pakaian ini sebenarnya berwarna cerah, tapi kini warnanya telah pudar. Aku bertanya-tanya, siapa saja yang pernah memakai pakaian ini dan apa yang terjadi pada pemiliknya. "Ada banyak waktu selama di perjalanan nanti," kata Yuki. "Kita mungkin tidak akan makan lagi hari ini. Apa pun yang Akio dan aku perintahkan, kau harus patuh. Jika aku menyuruhmu menghisap kotoran di bawah kuku kami, kau harus melakukannya. Jika aku menyuruhmu makan, kau harus makan. Kami mempelajari kepatuhan seperti ini sejak kecil. Kau harus pelajari itu sekarang." Aku ingin bertanya apakah dia patuh ketika membawakan pedang Shigeru, Jato, kepadaku saat di Inuyama, tapi tampaknya lebih bijaksana bila diam. Aku berpakaian seniman, dan saat Yuki datang membawa makanan, aku makan tanpa banyak tanya. Dia menatapku tanpa bicara, dan ketika aku selesai makan, dia berkata, "Gelandangan itu sudah mati." Tribe memang ingin agar hatiku mengeras. Aku tidak menatap atau pun membalas ucapannya. "Jo-An tidak mengatakan apa pun tentang dirimu," dia melanjutkan. "Tidak kusangka seorang gelandangan mempunyai keberanian seperti itu. Meskipun tidak memiliki racun yang bisa membebaskannya dari penderitaan, dia tidak bicara sepatah kata pun." Aku berterima kasih kepada Jo-An, bersyukur kepada kaum Hidden yang membawa rahasia mereka... ke mana? Ke surga? Ke kehidupan lain? Ke neraka, ke kuburan yang sepi? Aku ingin berdoa untuknya, mengikuti cara orang-orangku. Atau menyalakan lilin dan membakar dupa seperti yang Ichiro dan Chiyo ajarkan. Aku berpikir Jo-An akan pergi seorang diri menuju kegelapan. Apa yang akan dilakukan kelompoknya tanpa Jo-An? "Kau selalu mendoakan seseorang?" tanyaku. "Tentu saja," balas Yuki, kaget. "Kepada siapa?" "Sang Pencerah, dalam segala wujudnya. Dewa gunung, hutan, dan sungai. Pagi ini aku meletakkan beras dan bunga di kuil yang ada di dekat jembatan untuk meminta berkat atas perjalanan kita. Aku senang kita berangkat hari ini. Hari ini adalah hari baik untuk melakukan perjalanan, semuanya memberi pertanda baik." Dia memandangku, seolah sedang memikirkan itu semua, tapi kemudian dia menggelengkan kepala. "Jangan bertanya hal-hal seperti tadi. Itu membuatmu terdengar terlihat berbeda. Tak seorang pun bertanya seperti itu." "Tak seorang pun yang hidupnya seperti hidupku." "Kau kini anggota Tribe. Bertingkahlah seperti Tribe." Dia lalu mengambil kantong kecil dari balik lengan bnju dan menyerahkannya kepadaku. "Ini. Akio menyuruhku memberikan kepadamu benda ini." Kubuka ikatan kantong itu lalu merogoh ke dalamnya, ternyata isinya adalah lima bola juggle yang licin dan keras, dikemas dengan butiran beras yang berjatuhan ke lantai. Sebenci-bencinya aku pada juggle, tetap saja aku pungut dan memegangnya. Dengan tiga bola di tangan kanan dan dua lagi di tangan kiri, aku berdiri. Bola dan pakaian seniman ini seperti mengubahku menjadi orang lain. "Sekarang namamu Minoru," kata Yuki. "Bola-bola ini pemberian ayahmu. Akio adalah kakakmu, sedangkan aku adikmu." "Kita tidak mirip," kataku seraya melontarkan bola ke atas. "Kita akan terlihat mirip," balas Yuki. "Ayahku bilang kau bisa merubah penampilanmu dalam berbagai bentuk." "Apa yang terjadi pada ayah kita?" Begitu bola satu jatuh dan kutangkap, bola satu lagi aku lontarkan ke atas dan.... "Dia mati." "Cocok." Yuki mengacuhkan ucapanku. "Kita ke Matsue untuk menghadiri perayaan musim gugur. Perlu waktu lima atau enam hari, tergantung cuaca. Arai masih memerintahkan anak buahnya untuk mencarimu, tapi pencarian besar-besaran telah berakhir. Dia sudah pergi ke Inuyama. Kita akan berjalan ke arah yang berlawanan. Di malam hari ada rumah yang aman untuk menginap. Hanya saja, bila kita bertemu patroli, kau harus membuktikan siapa dirimu." Salah satu bola tidak sempat tertangkap hingga jatuh ke tanah. "Jangan sampai jatuh," kata Yuki. "Tak seorang pun seusiamu yang pernah menjatuhkannya. Ayahku mengatakan kalau kau bisa meniru orang dengan baik. Jangan menjerumuskan kami ke dalam bahaya." Kami pergi melalui pintu belakang. Isteri Kenji muncul dan mengucapkan selamat jalan. Dia memeriksa rambut dan pakaianku. "Kuharap kita bertemu lagi," ucapnya. "Tapi melihat kenekatanmu, sulit mengharapkan itu." Aku membungkuk ke arahnya tanpa bicara. Akio telah menunggu di halaman dengan gerobak seperti yang mereka gunakan untuk mengurungku saat di Inuyama. Dia mcnyuruhku masuk ke dalam gerobak yang penuh perlengkapan dan hiasan. Yuki memberikan belatiku, dan dengan gembira aku menyimpannya di balik pakaian. Akio mengangkat ganjalan gerobak dan mulai mendorongnya. Aku tergoncang-goncang menyusuri kota yang remang-remang, mendengarkan bunyi gerobak dan percakapan para seniman. Aku mengenali suara gadis asing saat di Inuyama dulu, Keiko. Di luar ada laki-laki lain yang juga turut bersama kami: aku pernah dengar suaranya di rumah Kenji tapi belum pernah bertemu dengannya. Saat kami sudah jauh dari perumahan terakhir, Akio menghentikan rombongan, membuka bagian samping gerobak dan menyuruhku keluar. Hari menunjukkan sekitar paruh kedua Waktu Kambing*, dan udara agak panas, meskipun sudah memasuki musim gugur. Akio bersinar oleh keringat. Dia melepas sebagian pakaiannya karena harus mendorong kereta. Dapat kulihat kalau dia lebih berotot dan lebih tinggi dariku. Dia berjalan ke sungai kecil di pinggir jalan, dan memercikkan air ke kepala dan wajahnya. Yuki, Keiko, dan bapak tua itu duduk berjongkok di pinggir jalan. Aku hampir tidak mengenali mereka. Mereka berubah menjadi rombongan seniman, berpura-pura hidup susah dengan melakukan perjalanan dari kota ke kota, dengan mengandalkan ketrampilan dan kejenakaan. Orang tua itu menyeringai padaku, menunjukkan giginya yang ompong. Wajahnya kurus, ekspresif dan agak sinis. Keiko mengacuhkanku. Seperti Akio, di tangannya juga ada luka yang hampir sembuh, luka akibat tebasan belatiku. Aku menghela napas panjang. Panasnya udara di sini jauh lebih baik dibandingkan panasnya ruangan tempat aku dikurung dan di gerobak yang bergoncang-goncang. Di belakang kami terbentang kota Yamagata, kastilnya yang berwarna putih begitu mencolok di antara hijaunya pebukitan. Sawah nampak berwarna keemasan. Tak lama lagi waktu panen tiba. Di barat daya terlihat lembah Terayama yang curam, tapi atap biara tidak terlihat di balik pepohonan cedar. Nun jauh di atasnya terbentang lipatan demi lipatan gunung, berubah biru bila dilihat dari jauh, memancarkan kabut sore. Tanpa bersuara kuucapkan selamat tinggal pada Lord Shigeru, aku merasa enggan untuk berpaling dan melepaskan ikatan terakhirku dengannya dan dengan hidupku sebagai bangsawan Otori. Akio memukul bahuku. "Berhenti bermimpi seperti orang bodoh," ucapnya dengan menggunakan aksen dan dialek yang kasar. "Kini giliranmu mendorong." Saat malam tiba, aku benar-benar membenci gerobak yang berat dan menyusahkan ini, yang melepuhkan tangan dan menegangkan punggungku. Mendorongnya di jalan mendaki sudah cukup buruk, apalagi bila rodanya terperosok di jalan yang berlubang sehingga kami perlu mengangkatnya, tapi menahannya saat menuruni bukit bahkan jauh lebih sulit lagi. Aku akan sangat senang membiarkan gerobak ini berjalan cepat ke jurang. Aku mendambakan kudaku, Raku. Laki-laki tua itu, Kazuo, berjalan di sampingku untuk membantu menyesuaikan aksen dan mengajari bahasa pribadi di antara seniman yang perlu aku tahu. Ada bebetnpa kata yang pernah Kenji ajarkan, kata-kata gaul Tribe. Aku menirunya sambil membayangkan diriku menjadi Minoru. Menjelang sore, saat cahaya matahati mulai menghilang, kami menuruni bukit menuju ke perkampungan. Jalannya datar dan licin. Seorang laki-laki yang berpapasan jalan dan menyapa kami. Dapat kucium bau asap dan masakan. Di sekelilingku terdengar bunyi-bunyian perkampungan saat menjelang gelap: percikan air saat petani mandi, anak-anak bermain dan bertengkar, perempuan yang bergunjing sambil memasak, percikan bara api, kapak membelah kayu, lonceng kuil, seluruh siklus kehidupan yang pernah mengiringiku tumbuh besar. Dan aku mendengar sesuatu yang berbeda: dentingan tali kekang, bunyi halus kaki kuda. "Ada patroli di depan," kataku pada Kazuo. Dia mengangkat tangan agar rombongan berhenti, lalu berkata pelan pada Akio. "Minoru bilang ada patroli." Akio menyipitkan mata ke arahku yang sedang membelakangi matahari terbenam. "Kau mendengarnya?" "Aku mendengar ringkikan kuda. Siapa lagi kalau bukan patroli?" Dia mengangguk dan mengangkat bahu seolah-olah ingin berkata, itu tidak masalah. "Ambil alih gerobak!" Saat aku menggantikan tempat Akio, Kazuo mulai menyanyikan lagu-lagu indah. Suaranya bagus. Yuki masuk ke dalam kereta dan mengeluarkan gendang kecil lalu dia lemparkan pada Akio. Sambil menangkap, Akio mendendangkan lagu yang sama. Yuki juga mengeluarkan instrumen bersenar satu yang dia mainkan selagi berjalan di samping kami. Keiko memainkan spinning top, persis seperti yang pernah menarik perhatianku saat di Inuyama. Sambil bernyanyi dan bermain, kami berjalan mendekati penjaga yang telah memasang palang bambu tak jauh dari rumah pertama di perkampungan. Ada sekitar sembilan atau sepuluh orang, dan sebagian besar sedang duduk di tanah sambil makan. Di pakaian mereka ada simbol beruang, lambang klan Arai, sedangkan umbul-umbul matahari terbenam Seishuu di pasang di pinggir. Empat ekor kuda sedang mengunyah rumput. Sekelompok anak-anak yang sedang berkerumun langsung mendekati kami sambil bersorak-sorai dan tertawa geli. Kazuo berhenti menyanyi pada bagian syair teka-teki yang dilontarkan ke anak-anak, lalu berteriak lantang pada para penjaga. "Ada apa, kawan?" Saat pemimpin patroli berdiri mendekat, kami langsung berlutut. "Bangunlah," katanya. "Kalian dari mana?" Laki-laki itu memiliki wajah persegi dengan alis tebal, bibir tipis, dan rahang keras. Dia menyeka sisa nasi di bibirnya dengan punggung tangan. "Yamagata," Akio menyerahkan gendang ke Yuki dan mengeluarkan sebuah papan. Nama kami tertulis di papan itu, nama panggung dan izin kerja dari pemerintah kota. Pemimpin penjaga menatap papan itu beberapa saat, lalu beralih mengamati wajah kami secara bergantian. Para penjaga menatap Keiko yang sedang memainkan spinning top lebih dari sekadar rasa tertarik biasa. Bagi mereka, para pemain tidak berbeda dengan pelacur. Seseorang melontarkan lelucon. Keiko membalasnya dengan tertawa. Aku bersandar ke gerobak dan menyeka keringat di wajahku. "Apa keahlian Minoru?" tanya si pemimpin sambil menyerahkan kembali papan nama ke Akio. "Adikku? Dia pemain juggle. Itulah panggilan jiwa keluarga kami." "Mari kita lihat," kata si pemimpin, bibir tipisnya mrnyungging senyuman. Akio tak ragu sedikit pun. "Hai, adik kecil. Tunjukkan keahlianmu pada tuan ini." Aku menyeka tanganku ke kain pengikat kepala dan mengikatnya kembali. Kuambil bola-bola dari tas, meraNrrkan berat dan licinnya, dan segera saja aku berubah menjadi Minoru. Inilah hidupku. Aku tak pernah tahu hidup yang lain: hanya jalan, perkampungan baru, kecurigaan, dan pandangan benci. Aku melupakan badanku yang letih, kepalaku yang nyeri dan tanganku yang melepuh. Aku adalah Minoru yang sedang melakukan apa yang harus kulakukan karena aku telah dewasa. Bola-bola ini melayang di udara. Pertama-tama aku menggunakan empat bola, kemudian lima bola. Aku baru menyelesaikan putaran kedua gaya air mancur ketika Akio menjulurkan kepalanya ke arahku. Kubiarkan bola-bola itu melayang ke arahnya. Dia menangkap kelima bola dengan santai, melempar ke atas papan lalu dia lemparkan lagi kepadaku. Bagian papan yang tajam menyentuh telapak tanganku yang melepuh. Aku marah, aku ingin tahu maksudnya: Untuk membongkar penyamaranku? Untuk mengkhianatiku? Aku kehilangan irama permainan. Papan dan bola-bola itu pun jatuh semua. Senyuman pemimpin itu langsung lenyap dari wajahnya. Dia melangkah maju. Pada saat itulah terbetik ide nekat di benakku untuk menyerahkan diri, meminta pengampunan Arai, lari dari Tribe sebelum terlambat. Akio mendekatiku. "Dasar idiot!" dia berteriak, lalu menjewer keras telingaku. "Ayah pasti akan menjerit dari kuburan!" Pukulan Akio menyadarkanku untuk menjadi Minoru lagi karena tak ada yang dapat dilakukan. "Maaf, kak," kataku sambil memungut bola; berusaha memainkan bola-bola itu hingga pemimpin itu tertawa dan mempersilakan kami lewat. "Datanglah pada pertunjukan kami malam ini!" Keiko berteriak kepada para penjaga. "Baiklah, nanti malam!" balas mereka. Kazuo mulai bernyanyi lagi, Yuki memukul gendang. Aku melemparkan papan itu ke Akio dan menyingkirkan semua bola. Bola-bola menghitam karena darah. Aku lalu memegang kendali gerobak. Palang telah diangkat dan kami berjalan ke perkampungan.* EMPAT DI HARI terakhir perjalanan, rombongan Kaede berangkat pagi-pagi pada musim gugur yang sempurna, langit biru cerah, dan udara dingin. Kabut yang bergulung-gulung di bukit dan di permukaan sungai terlihat seperti jaring laba-laba, dan tanaman merambat terlihat keperakan. Menjelang siang, cuaca mulai berubah. Sekumpulan awan dengan perlahan muncul dari barat laut dan angin pun mulai berhembus. Sinar mentari nampak memudar lebih cepat dan, sebelum datangnya malam, hari mulai hujan. Sawah, ladang sayuran dan buah-buahan rusak parah akibat badai. Desa-desa seperti kosong, beberapa orang menatap lusuh pada Kaede, membungkuk hormat dengan sungkan hanya setelah diancam para pengawal. Kaede tidak tahu apakah mereka mengenali dirinya atau tidak; ia tak ingin berlama-lama berada di antara orang-orang ini. Namun ia tak kuasa menahan rasa ingin tahu mengapa kerusakan ini tidak segera diperbaiki, mengapa petani tidak menyelamatkan apa yang dapat diselamatkan. Jantung Kaede tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Terkadang debar jantungnya begitu lambat kala mendapat firasat buruk sehingga ia merasa seperti hendak pingsan. Dan terkadang debar jantungnya begitu cepat, berdegup kalut antara senang dan takut. Jarak yang tersisa harus ditempuh rasanya seperti tak berakhir. Kaede takut atas apa yang akan ia jumpai di rumahnya nanti. Ia terus menatap lama pemandangan yang pernah akrab di hatinya, jantungnya seakan melompat ke tenggorokan. Ketika sampai di taman yang dikelilingi dinding dan gerbang, ia tidak mengenali satu pun juga. Inikah tempat tinggalnya dulu? Rumahnya kini nampak begitu kecil; tidak dibentengi dan tidak dijaga. Gerbang terbuka lebar. Saat melewati gerbang, Kaede tak mampu menahan rasa kagetnya. Shizuka turun dari kuda. Dia mendongak. "Inikah tempatnya, lady?" "Taman ini!" teriak Kaede. "Apa yang terjadi pada taman ini?" Di segenap penjuru taman terdapat tanda-tanda keganasan badai. Pohon pinus yang tercabut akarnya terbentang memalangi aliran sungai. Pohon itu menindih dan merusak lentera batu. Kaede teringat: hampir setiap malam lentera itu menyala, dan pada setiap Festival of the Dead*, sebuah lentera dibiarkan terapung hingga ke hilir sungai dan tatapan ibunya selalu mengiringi kepergian lentera itu sambil mengelus rambut Kaede. Kaede menatap, tidak mengerti, ke arah taman yang berantakan. Ini pasti bukan hanya karena badai. Pasti sudah lama tak ada yang membersihkan kolam atau memangkas tanaman. Inikah rumahnya, salah satu wilayah penting di Barat? Apa yang menimpa Klan Shirakawa yang dulu begitu megah? Kuda yang Kaede tunggangi merendahkan kepala lalu menggosok-gosokkan kepalanya ke tungkai kaki. Kuda itu meringkik dengan tidak sabar dan lelah, berharap pelana dapat segera dilepaskan dan diberi makan karena kini mereka telah berhenti. "Di mana para pengawal?" tanya Kaede bingung, "Ke mana semua orang?" Si Muka Parut, kepala pengawal, membawa kudanya menaiki beranda, memajukan tubuhnya ke depan dan berteriak, "Halo! Ada orang di dalam?" "Jangan masuk," teriak Kaede. "Aku yang akan masuk lebih dulu." Si Lengan Panjang yang berdiri di dekat Kaede memegang tali kekang Raku. Kaede turun dari punggung Raku dengan dibantu Shizuka. Hujan berganti gerimis, rintik hujan menetesi rambut dan pakaian Kaede. Taman menyebarkan aroma lembab dan busuk, bau busuk tanah dan daun-daun yang berjatuhan. Kaede terkenang rumah ini saat ia kecil, kenangan yang tetap utuh dan bersinar di hatinya selama delapan tahun, begitu kuat tak tertahankan, lalu bayangan itu lenyap untuk selama-lamanya. Si Lengan Panjang menyerahkan tali kekang pada seorang pengawal yang berjalan kaki, seraya menarik pedang, lalu berjalan di depan Kaede. Shizuka mengikuti dari belakang. Saat melepas sandal hendak naik ke beranda, Kaede merasakan sentuhan kayu yang masih terasa akrab di kakinya. Tapi ia tak lagi mengenali aroma rumah ini. Rumah ini seperti rumah orang lain. Tiba-tiba ada gerakan dari dalam rumah dan si Lengan Panjang segera melompat ke bayangan itu. Seorang perempuan menjerit kaget. Laki-laki itu menyeretnya ke beranda. "Lepaskan," kata Kaede marah. "Berani benar kau menyentuhnya?" "Dia hanya ingin melindungimu," protes Shizuka, tapi Kaede tidak menghiraukan. Ia mendekat ke gadis itu, meraih tangannya dan memandang wajahnya. Gadis itu hampir setinggi Kaede, dengan wajah lembut dan mata coklat terang seperti ayahnya. "Ai? Aku kakakmu, Kaede. Ingatkah kau padaku?" Gadis itu balik menatapnya. Matanya penuh air mata. "Kakak? Benarkah ini kau? Tadi... kupikir kau ibuku." Kaede memeluk erat adiknya, merasakan air mata adiknya berlinang. "Ibu sudah meninggal?" "Hampir dua bulan lalu. Kata-kata terakhirnya selalu menyebut namamu. Ibu ingin sekali melihatmu, tapi kabar tentang pernikahanmu telah membuat ibu tenang." Suara Ai terdengar bimbang, lalu dia menarik diri dari pelukan Kaede. "Kenapa kau datang? Mana suamimu?" "Kau tidak mendengar kabar dari Inuyama?" "Tahun ini kami dihantam badai. Banyak penduduk yang mati dan hasil pertanian pun rusak. Kami hanya mendengar sedikit sekali berita-hanya rumor tentang perang. Setelah badai berakhir, ada sepasukan bersenjata melewati daerah ini, dan saat itu kami tidak tahu dengan siapa mereka akan berperang maupun alasannya." "Pasukan Arai?" "Kemudian baru kami tahu kalau mereka adalah orang-orang Seishuu yang datang dari Maruyama dan wilayah selatan. Mereka hendak bergabung dengan Lord Arai untuk melawan Tohan. Ayah sangat murka karena masih menganggap dirinya sekutu Lord Iida. Dia mencegah orang-orang itu melewati wilayah kita. Dia mencegat mereka di dekat Gua Suci. Ketika mereka hendak menjelaskan alasannya, ayah malah menyerang." "Ayah menyerang mereka? Apakah ayah gugur dalam perang itu?" "Tidak, dia kalah, tentu saja, dan sebagian besar pengawalnya tewas, tapi ayah tetap hidup. Dia menganggap Arai sebagai pengkhianat dan sok bergaya bangsawan. Mungkin karena ayah telah bersumpah setia pada Noguchi saat kau dijadikan tawanan." "Noguchi telah digulingkan, dan aku bukan lagi tawanan. Kini aku bersekutu dengan Arai," ujar Kaede. Mata adiknya melebar. "Aku tidak mengerti. Aku tak mengerti semua itu." Untuk pertama kalinya Ai menyadari kehadiran Shizuka dan pengawal di luar. Dia menjadi salah tingkah. "Maaf, kalian pasti letih. Kalian telah menempuh perjalanan jauh. Kalian semua pasti lapar." Dia lalu cemberut, dan seketika dia terlihat seperti gadis kecil. "Apa yang harus kulakukan?" bisiknya. "Kami hanya ada sedikit makanan." "Mana para pelayan?" "Kusuruh mereka bersembunyi di hutan ketika kami mendengar ada kuda mendekat. Mereka akan datang sebelum malam." "Shizuka," kata Kaede, "Pergi ke dapur dan lihat ada apa saja di sana. Siapkan makan dan minum untuk para pengawal. Mereka akan beristirahat di sini malam ini. Aku memerlukan sepuluh orang untuk tetap di sini bersamaku." Kaede lalu menunjuk si Lengan Panjang. "Biarlah dia yang memilih kesepuluh orang itu. Sisanya harus segera kembali ke Inuyama. Jika ada yang mengganggu penduduk dalam perjalanan pulang, mereka akan menggantinya dengan nyawa." Shizuka membungkuk. "Lady." "Akan kutunjukkan jalannya," kata Ai sambil membimbing Shizuka ke bagian belakang rumah. "Siapa namamu?" tanya Kaede pada si Lengan Panjang. Dia berlutut di depan Kaede. "Kondo, lady." "Kau anak buah Lord Arai?" "Ibuku berasal dari Seishuu. Ayahku, bila aku dapat mempercayakan rahasiaku padamu, berasal dari Tribe. Aku bertempur bersama Arai di Kushimoto, dan diminta untuk bergabung dengan pasukannya." Kaede mengamati Kondo. Orang ini tidak muda lagi. Rambutnya telah beruban, kulit lehernya telah keriput. Kaede bertanya-tanya bagaimana masa lalu orang ini, tugas apa yang telah dia kerjakan untuk Tribe, seberapa jauh orang ini bisa dipercaya. Tapi ia memerlukan orang untuk menangani pengawal, kuda, dan juga untuk menjaga kediaman ini. Kondo telah menyelamatkan Shizuka, ditakuti dan dihormati anak buah Arai lainnya, serta memiliki keahlian bertarung yang ia butuhkan. "Aku memerlukan bantuan selama beberapa minggu," katanya. "Bisakah aku mengandalkanmu?" Dia mendongak ke arah Kaede. Di kepekatan malam, Kaede tidak dapat melihat raut wajah orang itu. Gigi Kondo bersinar putih saat tersenyum, dan saat bicara, suaranya terdengar tulus, bahkan penuh pengabdian. "Lady Otori dapat mengandalkanku selama diperlukan." "Kalau begitu, bersumpahlah," kata Kaede, merasa jengah saat berpura-pura seperti orang yang memiliki kekuasaan meskipun ia tidak yakin apakah ia memang memiliki kekuasaan. Garis-garis keriput di sekitar mata Kondo berkerut sejenak. Dia menyembah dan bersumpah setia pada Kaede dan keluarganya. Kaede merasakan nada sinis dalam suara Kondo. Tribe selalu berpura-pura, pikir Kaede, menggigil. Selain itu, mereka juga hanya bersumpah pada diri mereka sendiri. "Pergi dan pilihlah orang yang dapat kau percaya," kata Kaede. "Periksa seberapa banyak rumput yang ada untuk makanan kuda, dan periksa juga apakah gudang bisa menjadi tempat beristirahat yang layak." "Lady Otori," balasnya, dan kembali Kaede merasa seperti mendengar nada sinis. Kaede ingin tahu seberapa banyak yang orang itu tahu, seberapa banyak yang sudah Shizuka ceritakan padanya. Setelah beberapa saat, Ai kembali. Dia meraih tangan Kaede dan berkata pelan, "Haruskah kuberitahu ayah?" "Di mana Ayah? Bagaimana kondisinya? Apakah dia terluka?" "Ayah hanya terluka ringan. Tapi bukan soal lukanya... Setclah kematian Ibu, dan kehilangan banyak pengawal... Ayah selalu melamun, dan dia sering berbicara pada hantu dan jin." "Kenapa dia tidak bunuh diri?" "Ketika ditandu ke rumah, Ayah memang ingin bunuh diri." Suara Ai terdengar pecah dan dia pun menangis. "Aku yang mencegahnya. Aku sangat lemah. Hana dan aku bergantung padanya dan memohon padanya untuk tidak meninggalkan kami. Aku merebut senjatanya." Ai memalingkan wajahnya yang berlinang air mata. "Ini salahku. Aku seharusnya berani. Seharusnya aku membantu Ayah bunuh diri, lalu aku bunuh Hana, kemudian aku bunuh diriku, seperti yang seharusnya dilakukan anak seorang ksatria. Tapi aku tak mampu. Aku tak sanggup membunuh Hana, dan aku juga tak sanggup meninggalkannya sendiri. Jadilah kami hidup dengan rasa malu, dan inilah yang membuat Ayah gila." Kaede berpikir, Aku juga seharusnya bunuh diri begitu mendengar Lord Shigeru dikhianati. Tapi nyatanya aku tidak melakukannya. Sebaliknya aku malah bunuh Iida. Kaede menyentuh pipi Ai, mengusap air mata yang berlinang. "Maafkan aku," bisik Ai. "Aku bersikap lemah." "Tidak," jawab Kaede. "Kenapa harus mati?" Adiknya baru berumur tiga belas tahun, dan tidak melakukan kejahatan apa pun. "Mengapa kita harus memilih mati?" ucapnya. "Kita justru harus hidup. Di mana Hana?" "Aku menyuruhnya pergi ke hutan bersama pelayan." Kaede jarang merasa iba, tapi kini perasaan itu muncul. Ia teringat bagaimana Dewi Putih datang kepadanya. Sang Maha Pengasih telah menghiburnya dengan memberi janji bahwa Takeo akan kembali kepadanya. Bersamaan dengan janji Dewi Putih, datang pula tuntutan sifat pengasih yang meminta Kaede harus tetap hidup untuk merawat kedua adiknya, penduduk, dan anaknya yang belum lahir. Dari luar ia mendengar suara Kondo memberi perintah, para pengawal berteriak membalas. Seekor kuda meringkik dan yang lainnya menjawab. Hujan kian deras, menciptakan pola bunyi-bunyian yang terdengar akrab di hati Kaede. "Aku harus menemui Ayah," ujar Kaede. "Setelah itu kita harus memberi makan pengawal. Adakah orang desa yang dapat membantu?" "Beberapa hari sebelum Ibu meninggal, para petani mengirim utusan. Mereka mengeluhkan pajak beras, keadaan tanggul dan sawah, serta kegagalan panen. Ayah murka. Dia bahkan menolak berbicara kepada mereka. Ayame membujuk utusan petani untuk tidak mengganggu karena ibu sedang sakit. Sejak itu semuanya menjadi kacau. Penduduk desa takut pada ayah-mereka bilang Ayah telah dikutuk." "Bagaimana dengan tetangga kita?" "Ada Lord Fujiwara. Dia pernah datang." "Aku tidak ingat padanya. Siapa dia?" "Dia itu aneh. Agak anggun dan dingin. Kata orang dia keturunan ningrat dan pernah tinggal di ibukota." "Inuyama?" "Bukan. Tapi ibukota yang sebenarnya, tempat tinggal Kaisar." "Dia kerabat Kaisar?' "Kurasa begitu. Cara bicaranya berbeda dengan orang-orang di sekitar sini. Aku hampir tak mengerti ucapannya. Dia nampak sangat terpelajar. Ayah senang berbicara dengannya tentang sejarah dan hal-hal klasik." "Jika dia datang lagi, mungkin aku bisa meminta nasihatnya." Kaede terdiam sejenak. Ia sedang melawan rasa letih. Tungkainya nyeri dan perutnya terasa berat. Ia ingin berbaring dan tidur. Dan ia merasa bersalah karena tidak lagi berduka. Bukannya ia tidak sedih atas kematian ibunya dan rasa malu ayahnya, tapi tak ada lagi tempat di hatinya untuk bersedih dan tak ada juga energi yang dapat ia berikan. Kaede mengamati sekeliling ruangan. Bahkan di keremangan ia dapat melihat dengan jelas alas lantai yang lapuk, dinding yang bernoda air, jendela kertas yang tercabik-cabik. Ai mengikuti pandangan Kaede. "Aku malu," dia berbisik. "Banyak yang harus dilakukan, tapi aku tak tahu harus bagaimana." "Aku mulai teringat keadaan rumah ini dulu," kata Kaede. "Ada sesuatu yang bercahaya di rumah ini." "Ibu yang membuatnya seperti itu," kata Ai, menangis tersedu-sedu. "Kita akan membuat rumah ini seperti dulu lagi," Kaede berjanji. Terdengar suara orang bernyanyi di dapur. Kaede mengenalinya sebagai suara Shizuka, dan lagu itu adalah lagu yang pernah ia dengar waktu pertama kali berjumpa Shizuka, sebuah balada cinta tentang desa dan pohon pinus. Bagaimana bisa dia bernyanyi di saat-saat seperti ini? pikir Kaede, lalu Shizuka berjalan cepat masuk ke dalam ruangan sambil membawa lampu di kedua tangannya. "Aku temukan barang-barang ini di dapur," ucapnya, "dan untung saja apinya masih menyala. Beras dan gandum sedang dimasak. Kondo telah menyuruh pengawal ke desa untuk membeli beberapa kebutuhan. Para pelayan telah kembali dari hutan." "Adikku pasti datang bersama mereka," kata Ai dengan nada lega. "Ya, dia juga membawa sebakul bunga dan jamur. Dia bersikeras ingin memasaknya." Pipi Ai merona. "Dia memang agak liar," dia menjelaskan. "Aku ingin melihatnya," kata Kaede. "Setelah itu kau harus mengantarku menemui Ayah." Ai berjalan keluar, Kaede mendengar kata-kata bantahan dari dapur, dan beberapa saat kemudian Ai datang bersama seorang gadis cilik berumur sembilan tahun. "Ini kakak kita, Kaede. Dia pergi saat kau masih bayi," Ai memberitahukan Hana, lalu menyuruhnya, "Salami kakakmu." "Selamat Datang," Hana berbisik, lalu berlutut dan membungkuk. Kaede pun berlutut di depannya, mengangkat wajah Hana dan menatapnya. "Aku lebih muda darimu waktu aku pergi dulu," ujar Kaede, seraya mempelajari wajah halus itu, struktur tulang yang sempurna di balik wajah bulat kekanak-kanakan. "Dia mirip denganmu, lady," kata Shizuka. "Kuharap dia akan lebih bahagia," jawab Kaede, dan menarik Hana ke dalam pelukannya. Ia merasakan tubuh ringan itu mulai bergetar, dan menyadari gadis cilik ini sedang menangis. "Ibu! Aku ingin Ibu!" Air mata Kaede berlinang. "Hush, Hana, jangan menangis." Ai berusaha menenangkan. "Maaf," kata Ai. "Dia masih berduka. Dia belum diajari bagaimana harus berperilaku." Tidak apa-apa, dia akan diajari, pikir Kaede, seperti yang harus kulakukan dulu. Dia akan belajar agar tidak memperlihatkan perasaannya, agar sadar bahwa hidup ini adalah derita dan duka, agar dia hanya menangis dalam kcsendtrian. "Kemari," kata Shizuka, sambil memeluk Hana. "Ajari aku cara memasak jamur. Aku tidak tahu jenis jamur di sini." Sambil tersenyum hangat Shizuka mantap Kaede. "Pelayanmu sangat baik," kata Ai setelah Hana dan Shizuka keluar ruangan. "Berapa lama dia bersamamu?" "Dia datang kepadaku beberapa bulan lalu, tak lama sebelum aku pergi dari kastil Noguchi," jawab Kaede. Kedua kakak beradik itu masih duduk di lantai, tidak tahu harus berkata apa. Hujan semakin deras, air mengalir dari tepi atap bagaikan anak panah yang membentuk tirai. Hari menjelang malam. Kaede berpikir, Aku tidak boleh memberitahukan Ai bahwa Lord Arai yang mengirim Shizuka padaku sebagai bagian rencana penggulingan lida, atau bahwa Shizuka berasal dari Tribe. Aku tidak boleh mengatakan apa-apa padanya. Dia masih sangat muda, dia belum pernah keluar dari Shirakawa, dia tidak tahu apa pun tentang dunia luar. "Kurasa kita harus menemui Ayah," kata Kaede. Namun di saat bersamaan Kaede mendengar suara orang memanggil dari bagian rumah yang letaknya jauh. "Ai! Ayame!" Terdengar langkah kaki mendekat. Orang itu mengeluh pelan, "Ah, mereka pasti telah pergi meninggalkan aku. Dasar perempuan tak berguna!" Dia masuk ke ruangan dan langsung berhenti begitu melihat Kaede. "Siapa di sana? Apakah kita kedatangan tamu? Siapa yang datang malam-malam begini dan di saat hujan?" Ai berdiri menghampiri. "Ini Kaede, putri sulung ayah. Dia telah kembali. Dia selamat." "Kaede?" Dia melangkah maju. Kaede tidak berdiri tapi tetap membungkuk dalam-dalam, menyentuhkan keningnya ke lantai. Ai membantu ayahnya duduk. Laki-laki itu duduk berlutut di depan Kaede. "Tegaklah, tegaklah," dia berkata dengan tidak sabar. "Mari kita lihat, siapa yang paling buruk di antara kita berdua." "Ayah?" ujar Kaede saat mengangkat kepala. "Aku laki-laki yang menanggung malu," ucapnya. "Aku seharusnya sudah bunuh diri. Tapi aku tidak melakukannya. Aku mayat hidup, hanya separuh diriku yang hidup. Lihatlah aku, nak." Memang benar bahwa perubahan yang mengenaskan telah menggerogoti ayahnya. Dia dulu sangat terkendali dan bermartabat. Kini dia kelihatan seperti telah mengelupaskan dirinya yang dulu. Irisan luka yang hampir sembuh melintang dari pelipis hingga telinga kirinya; rambutnya dicukur habis karena penuh luka. Dia tidak memakai alas kaki dan kimononya pun penuh noda, rahangnya gelap karena dihiasi janggut. "Apa yang terjadi?" tanya Kaede sambil berusaha menahan marah. Dia kemari untuk mencari perlindungan, mencari rumah masa kecilnya yang hilang karena telah menghabiskan delapan tahun yang penuh duka, tapi ia justru menemukan rumahnya di ambang kehancuran. Ayahnya membuat gerakan lunglai. "Pentingkah itu? Semuanya telah lenyap, hancur. Kepulanganmu adalah pukulan terakhir. Apa yang terjadi pada perkawinanmu dengan Lord Otori? Jangan katakan kalau dia juga mati." "Itu bukan salahku," ujarnya pahit. "Iida yang membunuhnya." Bibir ayahnya merapat dan wajahnya memucat. "Kami tidak mendengar apa-apa di sini." "Iida juga sudah mati," Kaede melanjutkan. "Arai telah mengambil alih Inuyama. Tohan sudah kalah." Mendengar nama Arai jelas mengganggu Lord Shirakawa. "Pengkhianat itu," dia berkata gusar, sambil memandang ke kegelapan seolah-olah dia melihat hantu-hantu sedang berkumpul di situ. "Dia mengalahkan Iida?" Setelah membisu sejenak, dia. melanjutkan, "Sekali lagi aku di pihak yang kalah. Keluargaku pasti dikutuk. Untuk pertama kalinya aku senang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai pewaris. Shirakawa akan lenyap tanpa perlu disesali seorang pun." "Kau punya tiga anak perempuan!" Kaede menanggapi, terluka oleh rasa marah. "Putri sulungku juga dikutuk, membawa kematian bagi laki-laki yang akan dia nikahi!" "Iida yang menyebabkan Lord Otori mati! Semua itu hanyalah jebakan Iida. Pernikahanku dirancang agar Lord Otori datang ke Inuyama dan masuk dalam genggaman Iida." Rintik hujan memukul keras atap, mengaliri tepian genteng. Shizuka membawa lampu tambahan, meletakkannya di lantai lalu duduk berlutut di belakang Kaede. Aku harus mengendalikan diri, pikir Kaede. Aku tidak boleh mengatakan semua hal padanya. Wajah ayah Kaede pucat. "Kau jadi menikah atau tidak?" Jantung Kaede berdebar kencang. Ia tidak pernah berbohong pada ayahnya. Kini ia tidak mampu bersuara. Ia menunduk, seakan-akan sedih. Shizuka lalu berbisik. "Boleh saya bicara, Lord Shirakawa?" "Siapa dia?" tanya Ayahnya pada Kaede. "Dia pelayanku. Dialah yang menemaniku sejak di kastil Noguchi." Ayah Kaede mengangguk ke arah Shizuka. "Apa yang hendak kau katakan?" "Lady Shirakawa dan Lord Otori telah menikah secara diam-diam di Terayama," kata Shizuka dengan nada rendah. "Kerabat perempuanmu adalah saksinya, hanya saja dia juga mati di Inuyama bersama anak gadisnya." "Maruyama Naomi mati? Kini keadaan semakin buruk. Kekuasaannya akan berpindah ke keluarga anak tirinya. Kiia mungkin terpaksa menyerahkan Shirakawa kepada mereka juga." "Akulah pewaris Lady Maruyama. Dia mempercayakan segalanya kepadaku." kata Kaede. Lord Shirakawa tertawa mengejek. "Mereka selalu mrmpersengketakan wilayah itu selama bertahun-tahun. Suaminya adalah sepupu Iida dan didukung oleh Tohan dan Seishuu. Kau pasti sudah sinting jika berpikir mereka akan membiarkanmu menguasai wilayah itu." Kaede dapat merasakan Shizuka bergerak pelan di belakangnya. Ayahnya hanyalah orang pertama dari sekian banyak laki-laki, seluruh klan, bahkan mungkin seluruh Tiga Negara yang akan berusaha menggagalkannya. "Bagaimana pun juga, aku berniat mewarisinya." "Kau harus berjuang untuk mendapatkannya," kata ayahnya dengan sinis. "Kalau begitu aku akan berjuang." Mereka duduk dalam keheningan di ruangan yang gelap dengan diiringi rintik hujan yang membasahi taman. "Kita hanya memiliki beberapa orang pengawal," kata ayahnya, suaranya terdengar pahit. "Apakah Otori akan membantumu? Kurasa kau harus menikah lagi. Apakah mereka mengusulkan seseorang?" "Terlalu cepat untuk memikirkan hal itu," ujar Kaede. "Aku masih berduka." Ia menghela napas begitu dalam sehingga ia yakin ayahnya bisa mendengar. "Aku sedang hamil." Lord Shirakawa kembali menatap Kaede, menatap tajam melalui keremangan malam. "Shigeru memberimu anak?" Kaede membungkuk untuk menegaskan ucapannya tanpa berani bicara. "Baiklah," kata ayahnya, tiba-tiba bertingkah riang yang tak semestinya. "Kita harus merayakannya! Seorang laki-laki mungkin sudah mati, namun benihnya tetap hidup. Ini sangat luar biasa!" Semula mereka bicara pelan, tapi kini Lord Shirakawa berteriak kencang secara mengejutkan. "Ayame!" Kaede terlonjak tanpa sengaja. Ia melihat bagaimana ayahnya kehilangan akal, berayun-ayun antara senang dan sedih. Hal ini membuat Kaede takut, namun ia berusaha menyingkirkan ketakutannya itu. Selama ayahnya percaya, ia akan hadapi apa pun yang mungkin terjadi kelak. Seorang perempuan, Ayame, datang dan berlutut di depan Kaede. "Lady, selamat datang. Maaf atas penyambutan yang buruk." Kaede berdiri, meraih lengan perempuan itu dan menariknya berdiri. Mereka berpelukan. Sosok gigih dan padat yang Kaede ingat berkurang dalam diri perempuan yang beranjak baya itu. Wewangian orang ini mengingatkan Kaede pada masa kecilnya. "Ambilkan sake," perintah Ayah Kaede. "Aku ingin bersulang untuk cucuku." Kaede ketakutan, seakan-akan telah memberi identitas vang salah pada anak ini. "Masih terlalu dini," katanya pdan. "Jangan dulu dirayakan." "Kaede!" seru Ayame, menyebut nama Kaede seperti yang dulu biasa dia panggil. "Jangan bicara seperti itu, jangan mempermainkan takdir." "Ayo ambilkan sake," ayahnya dengan lantang. "Dan tutup semua jendela. Kenapa di sini dingin?" Saat Ayame berjalan ke beranda, terdengar langkah kaki, dan suara Kondo memanggil, "Lady Otori!" Shizuka mendekat ke pintu dan berbincang dengan Kondo. "Suruh dia masuk," perintah Kaede. Kondo melangkah ke beranda dan duduk berlutut di pintu. Kaede menyadari pandangan sekilas laki-laki itu ke sekeliling ruangan seraya mempelajari tata letak rumah, dan menilai orang-orang di dalamnya. Kondo berbicara pada Kaede, bukan pada Lord Shirakawa, "Aku berhasil mendapatkan sedikit makanan dari desa. Aku pun telah memilih beberapa orang yang kau minta. Pemuda yang tadi datang, Amano Tenzo, aku beri dia tanggung jawab mengurusi kuda. Aku hendak melihat apakah mereka mendapatkan makanan dan juga untuk menyiapkan penjagaan malam ini." "Terima kasih. Kita akan bicara lagi besok pagi." Kondo membungkuk, lalu pergi tanpa bicara. "Siapa orang itu?" tanya ayahnya. "Kenapa dia tidak meminta pendapat atau ijin dariku?" "Dia bekerja padaku," balas Kaede. "Bila dia anak buah Arai, tidak kuijinkan dia tinggal di rumah ini." "Sudah kukatakan, dia bekerja padaku." Kesabaran Kaede mulai menipis. "Kini kita bersekutu dengan Lord Arai. Dia telah menguasai sebagian besar Tiga Negara. Dialah pemimpin kita. Kau harus terima kenyataan itu, Ayah. Iida sudah mati dan kini segalanya telah berubah." "Apakah itu juga berarti anak perempuan boleh bicara seperti itu pada ayahnya?" "Ayame," kata Kaede, "tuntun Ayah ke kamar. "Dia akan makan di sana malam ini." Ketika ayahnya membantah, Kaede meninggikan suara di depan ayahnya untuk yang pertama kali dalam hidupnya. "Ayah, aku lelah. Kita bicara lagi besok." Ayame memberi satu tatapan yang Kaede memilih untuk mengabaikannya. "Lakukan seperti yang kukatakan," Kaede berkata dingin, dan setelah beberapa saat, pelayan itu menuruti dan menuntun Lord Shirakawa pergi. "Kau harus makan, lady," kata Shizuka. "Duduklah, akan kuambilkan sesuatu." "Tolong periksa apakah semua orang sudah diberi makan," ujar Kaede. "Dan tutup semua jendela." Kaede lalu berbaring sambil mendengarkan rintik hujan. Semua penghuni rumah dan pengawal telah diberi tempat menginap, disajikan makanan. Malam ini akan aman, bila Kondo memang bisa dipercaya. Ia membiarkan berbagai kejadian hari ini berlari-lari di benaknya untuk memikirkan masalah yang harus ia urusi: ayahnya, Hana, kepemimpinan Shirakawa yang terabaikan, wilayah sengketa Maruyama. Bagaimana ia akan mengklaim dan mempertahankan apa yang menjadi miliknya? Seandainya aku laki-laki, pikir Kaede. Semuanya akan mudah. Seandainya aku anak laki-laki, apa yang tidak akan ayah lakukan padaku? Kaede menyadari dirinya memiliki kekejaman seorang laki-laki. Saat masih di kastil Noguchi, ia pernah menusuk scorang penjaga tanpa sadar, sedangkan ia membunuh Iida dengan sadar. Ia pasti akan membunuh lagi daripada membiarkan laki-laki menyerangnya. Pikirannya melayang ke Lady Maruyama. Andaikan aku bisa lebih mengenalnya, pikirnya. Kuharap aku bisa lebih banyak belajar darimu. Aku menyesal atas penderitaan yang aku timbulkan. Bila saja kita bisa bicara bebas. Kaede seperti melihat seraut wajah cantik Lady Maruyama di depannya, dan mendengar suaranya lagi. Aku percayakan wilayah dan pendudukku kepadamu. Jagalah mereka. Akan kulakukan, janji Kaede. Akan kupelajari caranya. Kurangnya pendidikan membuat Kaede putus asa, namun ia memutuskan akan mencari tahu cara menjalankan roda pemerintahan, cara berbicara dengan petani, cara melatih para laki-laki untuk berperang, semua hal yang biasa diajarkan pada anak-anak laki sejak lahir. Ayah harus mengajariku, pikirnya. Pekerjaan ini akan memberi dia sesuatu untuk dipikirkan selain memikirkan dirinya sendiri., Kaede merasakan denyut emosi, takut atau malu atau, mungkin, gabungan dari keduanya. Ia sedang berubah menjadi apa? Apakah ia tidak wajar? Apakah ia diberkahi atau justru dikutuk? Ia yakin tidak ada perempuan yang pernah berpikir seperti apa yang ia pikirkan saat ini. Kecuali Lady Maruyama. Dengan berpegang atas apa yang telah ia janjikan pada kerabatnya itu, Kaede pun akhirnya tertidur. Keesokan paginya Kaede mengucapkan salam perpisahan pada anak buah Arai, ia mendesak mereka pergi secepat mungkin. Mereka pun senang bisa segera pergi, tidak sabar turut serta dalam kampanye Arai ke wilayah Timur sebelum musim dingin. Kaede juga senang dapat menyingkirkan mereka, khawatir ia tak mampu memberi mereka makan bila tinggal semalam lagi. Kemudian ia memerintahkan pelayan membersihkan rumah dan menata taman. Dengan tersipu malu Ayame memberitahukan bahwa tak ada yang dapat digunakan untuk membayar pekerja. Harta Shirakawa telah habis. "Kalau begitu, kita yang melakukannya sendiri," kata Kaede dan ketika pekerjaan dimulai, ia pergi ke istal bersama Kondo. Seorang pemuda menyambutnya dengan hormat dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia adalah Amano Tenzo, pemuda yang pernah menemani ayahnya ke kastil Noguchi. Pemuda itu telah Kaede kenal sejak kanak-kanak. Usianya kini sekitar dua puluh tahun. "Kuda ini sangat bagus," katanya saat membawa Raku dan memasangkan pelana. "Kuda ini pemberian anak Lord Otori," kata Kaede, sambil menepuk-nepuk leher Raku. Wajah Amano berseri-seri. "Kuda dari wilayah Otori terkenal karena stamina dan indera yang bagus. Kuda-kuda mereka biasa mengarungi rawa-rawa dengan dipandu roh air. Bila kau ijinkan, kita akan mengawinkan kuda ini agar mendapatkan keturunannya tahun depan." Kaede menyukai cara Amano menyapa dan berbicara padanya tentang hal-hal seperti itu. Istal dalam kondisi lebih baik ketimbang bagian rumah lainnya, bersih dan tcrawat. Selain Raku, di istal itu hanya ada kuda jantan milik Amano, empat ekor kuda milik Kondo dan anak huahnya, serta tiga ekor kuda yang sudah tua dan pincang. Tengkorak-tengkorak kuda terpancang di tepi atap istal dan angin merintih saat menembus ke rongga mata mereka yang kosong. Dia tahu tengkorak-tengkorak itu dipajang untuk melindungi dan menenangkan kuda-kuda di bawahnya, tapi saat ini jumlah tengkoraknya lebih banyak dibandingkan kuda yang masih hidup. "Kau benar, kita harus menambah jumlah kuda," ujar Kaede. "Berapa banyak kuda betina yang kita miliki?" "Hanya dua atau tiga ekor saat ini." "Bisakah kita dapat lebih banyak lagi kuda sebelum musim dingin?" Amano nampak murung. "Peperangan, badai... tahun ini penuh bencana bagi Shirakawa." "Tunjukkan tempat yang paling parah," kata Kaede. "Temani aku berkuda." Kepala Raku menegak tinggi dan kedua telinganya terjulur ke depan. Kuda itu seperti sedang menatap dan mendengarkan. Raku meringkik lembut saat Kaede mendekatinya. "Kurasa kuda ini merindukan seseorang-tuannya, mungkin," ujar Amano. "Jangan mencemaskan hewan ini. Dia akan terbiasa dengan kita dan melupakan tuannya." Kaede menepuk-nepuk leher abu-abu pucat Raku. Aku juga merindukan tuanmu, ia berbisik pelan. Bisakah kita berdua melupakannya? Ia merasakan ikatan yang semakin kuat dengan kuda kecil ini. Setiap pagi Kaede berkuda menjelajahi wilayahnya bersama Kondo dan Amano. Setelah beberapa hari berlalu, seorang laki-laki tua muncul di pintu, dan para pelayan menyambutnya dengan tangis kegembiraan. Orang itu bernama Shoji Kiyoshi, orang kepercayaan ayahnya yang sudah tua, terluka dan dikhawatirkan sudah tewas. Dia memiliki pengetahuan yang luas tentang pemerintahan, desa, dan para petani. Kaede sadar kalau orang itu bisa mengatakan banyak hal yang perlu ia ketahui. Awalnya Shoji menertawakan keinginan Kaede, merasa aneh dan lucu bila ada gadis tertarik akan hal seperti itu, namun ingatan dan kecepatan Kaede menangkap apa yang diajarkan membuat dia kaget. Orang tua itu mulai membahas berbagai masalah dengan Kaede, dan meskipun Kaede merasakan ketidaksepakatan Shoji pada dirinya, namun ia merasa dapat mempercayai laki-laki itu. Ayahnya kurang menaruh perhatian soal pemerintahan sehari-hari, dan Kaede menduga kalau ayahnya telah bertindak ceroboh, bahkan berlaku tidak adil. Ayahnya terlalu menyibukkan diri dengan membaca dan menulis di kamarnya. Kaede menemui ayahnya setiap sore. Tanpa bicara, Lord Shirakawa menghabiskan waktu dengan menatap taman, melihat Ayame dan pelayan lain bekerja tak mengenal lelah di taman, sambil menggerutu, mengeluhkan nasibnya. Kaede memohon agar ayahnya mau mengajari berbagai hal, "Perlakukan aku seakan-akan aku anak laki-laki," namun ayahnya tidak menanggapi dengan serius. "Seorang isteri seharusnya patuh dan, jika mungkin, mempercantik diri. Laki-laki tidak ingin perempuan yang berpikir seperti mereka." "Laki-laki selalu membutuhkan teman untuk diajak bicara," Kaede mendebatnya. "Laki-laki tidak bicara pada isterinya, mereka hanya bicara dengan sesamanya," jawab ayahnya sinis. "Lagipula, kau kan tidak bersuami. Sebaiknya kau menikah lagi." "Aku tak akan menikah," kata Kaede. "Itu alasannya aku harus belajar. Apa yang seorang suami akan lakukan untukku, aku akan melakukannya sendiri." "Kau harus menikah," balas ayahnya singkat. "Kita akan rencanakan pernikahanmu." Kaede lega karena ayahnya tidak membicarakan hal itu lagi. Hampir setiap hari Kaede duduk di dekat ayahnya, duduk berlutut di samping selagi ayahnya menyiapkan batu tinta dan kuas, mengamati setiap goresan. Kaede bisa membaca dan menulis berlembar-lembar naskah yang digunakan para perempuan, tapi ayahnya menulis dalam bahasa laki-laki, bentuk karakternya serapat dan sekokoh jeruji penjara. Kaede mengamati dengan sabar, sampai suatu hari ayahnya memintanya menulis karakter-karakter laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Karena kidal, Kaede mengambil kuas dengan tangan kiri, namun ketika melihat ayahnya mengerenyitkan dahi, Kaede lalu memindahkan kuas ke tangan kanan. Dengan menggunakan tangan kanan berarti, seperti biasanya, ia perlu usaha keras untuk menulis. Ia menulis secara tegas, menirukan gerakan ayahnya. Lord Shirakawa menatap lama hasil tulisan Kaede. Akhirnya dia berkata, "Kau menulis seperti laki-laki." "Anggap saja aku laki-laki." Merasa sedang diperhatikan, Kaede balas menatap. Ayahnya menatap seakan-akan dia tak mengenali putrinya sendiri, seakan-akan Kaede membuat dia bingung dan terpesona, seperti seekor hewan eksotis. "Sangat menarik," ujarnya, "melihat seorang gadis dapat mengikuti tulisan laki-laki. Apalagi aku tidak mempunyai anak laki-laki, dan aku tak akan pernah punya." Suaranya kian lemah dan tatapannya yang hampa menerawang jauh. Ini satu-satunya saat dia menyinggung, meskipun hanya samar-samar, tentang kematian istrinya. Sejak itu, Lord Shirakawa mengajari segala hal yang seharusnya sudah Kaede pelajari bila ia terlahir sebagai laki-laki. Ayame menentang itu; begitu pula dengan sebagian besar penghuni rumah ini, khususnya Shoji, tapi Kaede mengacuhkan mereka semua. Ia belajar dengan cepat, meski banyak hal yang ia pelajari justru membuat ia putus asa. "Semua yang Ayah katakan hanyalah tentang alasan laki-laki menguasai dunia," Kaede mengeluh pada Shizuka. "Setiap naskah, setiap hukum menjelaskan dan membenarkan dominasi laki-laki." "Itulah dunia," balas Shizuka. Waktu itu hari telah malam dan mereka sedang berbaring berdampingan, seraya berbisik-bisik. Ai, Hana, dan para pelayan perempuan lainnya tidur di kamar sebelah. Malam terasa hening, udara dingin. "Tidak semua orang mempercayai itu. Mungkin ada wilayah lain di mana mereka berpikir secara berbeda. Bahkan di sini ada beberapa orang yang berani berpikir sebaliknya. Lady Maruyama, misalnya..." Suara Kaede terdengar lebih pelan lagi. "Kaum Hidden..." "Apa yang kau tahu tentang mereka?" tanya Shizuka sambil tertawa lembut. "Kau pernah mengatakannya, saat pertama kita bertemu di kastil Noguchi. Kau mengatakan kalau mereka percaya semua orang diciptakan sejajar oleh tuhan mereka. Saat itu kupikir kau, dan mereka, pasti sudah gila. Tapi kini, ketika aku belajar bahwa Sang Pencerah pun berbicara buruk tentang perempuan-atau setidaknya para rahib dan biarawan yang melakukannya-timbul pertanyaan dalam diriku, kenapa harus begitu?" "Apa yang kau harapkan?" kata Shizuka. "Laki-lakilah yang menulis sejarah dan naskah suci. Bahkan puisi. Kau tidak bisa mengubah dunia. Kau justru harus melakukan yang terbaik dari semua itu." "Ada beberapa penulis perempuan," ujar Kaede. "Aku pernah mendengar dongeng mereka sewaktu di kastil Noguchi. Namun Ayah melarangku membaca karya mereka karena menurutnya itu dapat merusak pikiranku." Kadang-kadang Kaede berpikir ayahnya menyuruh ia membaca hanya karena para penulis itu mengatakan hal-hal yang buruk tentang perempuan, namun kemudian dia berpikir mungkin memang tidak ada naskah yang lain. Kaede tidak menyukai Kung Fu Tzu yang dikagumi ayahnya. Suatu sore, saat sedang menyalin pemikiran bijak yang ayahnya diktekan, ada tamu datang. Hari telah berganti malam. Udara terasa lembab dan dingin. Di taman, pucuk bunga seruni terkulai karena tertindih embun. Para pelayan menghabiskan minggu-minggu terakhir untuk menyiapkan pakaian musim dingin dan Kaede bersyukur atas kain berlapis kapas yang ia kenakan di balik kimononya. Duduk sambil menulis dan membaca membuat tangan dan kakinya kedinginan. Tak lama lagi ia harus menyiapkan tungku... ia mencemaskan awal musim dingin ini karena mereka masih belum siap. Ayame terburu-buru mendekati pintu dan berkata dengan gelisah, "Lord Fujiwara datang, tuan." Kaede berkata, "Aku pergi dulu," lalu dia meletakkan kuas dan berdiri. "Jangan, kau tunggu di sini. Akan kubuat dia menemuimu. Tentu saja dia datang karena ingin mendengar kabar yang kau bawa dari Timur." Ayahnya melangkah keluar untuk menyambut tamu. Setelah berbalik untuk memberi isyarat pada Kaede, dia lalu berlutut. Halaman rumah dipenuhi penunggang kuda dan pelayan sang bangsawan. Lord Fujiwara keluar dari tandu yang diturunkan di samping batu datar raksasa, batu yang dibawa ke taman dengan cepat karena tujuan tersebut. Kaede heran ada yang mau datang ke tempat ini. Ia berharap, dengan rasa bersalah, semoga rombongan ini membawa makanan sendiri. Kaede berlutut ketika seorang pelayan melepaskan alas kaki bangsawan itu, lalu masuk ke dalam rumah. Sebelum menunduk, Kaede berusaha melihat sosok laki-laki itu. Orang itu bertubuh ramping dan tinggi, Wajahnya putih seperti topeng, keningnya tinggi secara tak wajar. Pakaiannya berwarna lembut terbuat dari kain yang sangat elok. Dia memakai wewangian yang memabukkan, aroma yang menunjukkan ketegasan dan orisinalitas. Dia balas bungkukan Lord Shirakawa dengan anggun, dan menanggapi sambutan dengan penuh sopan santun, diiringi bahasa yang berbunga-bunga. Kaede tetap tidak bergerak saat orang itu melewati dirinya, aroma wangi tubuh bangsawan itu sangat menusuk hidung. "Ini putri sulungku," kata Lord Shirakawa dengan santai, saat dia mengikuti tamunya masuk. "Otori Kaede." "Lady Otori," Kaede mendengar Lord Fujiwara mengatakan itu, kemudian, "Aku ingin bertemu dengannya." "Kemari, anakku," ayahnya berkata tidak sabar dan Kaede masuk dengan tetap berlutut. "Lord Fujiwara," gumamnya. "Dia tentu sangat cantik," bangsawan itu berkata. "Coba kulihat wajahnya." Kaede mengangkat mata dan menjumpai tatapan laki-laki itu. "Menakjubkan." Di kedalaman matanya yang menyipit dan menyorotkan penghargaan, Kaede melihat adanya rasa kagum, bukan hasrat. Sikap laki-laki itu membuatnya kaget dan Kaede tersenyum samar, tapi senyum lepas. Lord Fujiwara nampak sama kagetnya dan garis bibirnya yang semula mengatup keras berubah lembut. "Aku pasti telah mengganggumu," dia meminta maaf, pandangannya tertuju ke kuas dan lembaran kertas milik Kaede. Keingintahuan orang ini muncul. Satu alis matanya naik. "Sedang belajar?" "Bukan apa-apa," balas Lord Shirakawa malu-malu. "Ini hanyalah kebodohan seorang gadis. Kau pasti menganggapku seorang ayah yang dungu." "Justrunya sebaliknya, aku terkesan." Dia mengambil lembaran yang Kaede tulis. "Bolehkah?" "Silakan, silakan," Lord Shirakawa berkata. "Tulisan tangan yang cukup bagus. Orang tak akan percaya ini tulisan seorang gadis." Kaede merasa pipinya merona. Ia diingatkan kembali akan kenekatannya mempelajari urusan laki-laki. "Kau menyukai Kung Fu Tzu?" Lord Fujiwara bertanya langsung, dan ini membuat Kaede makin bingung. "Perasaanku bercampur-aduk," balas Kaede. "Bagiku, Penulis ini hanya memiliki sedikit kepedulian." "Anakku," ayahnya membantah, namun bibir Lord Fujiwara bergerak sehingga nampak seperti tersenyum. "Sang penulis tidak mengantisipasi akan dinilai seperti itu," jawabnya ringan. "Aku yakin kau baru tiba dari Imiyama. Harus kuakui kalau salah satu alasanku kemari yaitu untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di sana." "Aku tiba sebulan lalu," jawab Kaede. "Tidak langsung dari Inuyama. Aku datang dari Terayama, tempat Lord Otori dimakamkan." "Suamimu? Aku belum dengar itu. Aku turut berbelasungkawa." Pandangannya menyapu sosok Kaede. Tak satu pun bisa lolos darinya, pikir Kaede. Matanya seperti mata elang. "Iida yang menyebabkan dia mati," kata Kaede pelan. "Dan Iida dibunuh sebagai pembalasan dari Otori." Fujiwara menunjukkan rasa simpatinya, dan Kaede berbicara singkat mengenai Arai dan situasi di Inuyama. Di balik kesantunan ucapan bangsawan itu, Kaede melihat kalau orang itu ingin tahu lebih banyak lagi. Hal itu membuat Kaede gelisah, namun ia juga merasa tergoda. Ia merasa dapat menceritakan segala hal pada Lord Fujiwara dan tak ada yang membuat orang ini kaget, dan Kaede pun merasa tersanjung akan ketertarikan Lord Fujiwara pada dirinya yang ditunjukkan dengan jelas. "Semua ini gara-gara si Arai yang pernah bersumpah setia pada Noguchi," kata Lord Shirakawa, kembali marah pada musuh utamanya. "Karena pengkhianatan dialah sehingga aku berperang melawan orang-orang Seishuu di wilayahku sendiri-beberapa di antara mereka bahkan saudaraku sendiri. Aku merasa dikhianati dan dilangkahi." "Ayah!" Kaede coba menenangkan. Masalah ayahnya bukanlah urusan Lord Fujiwara, dan makin sedikit dia membicarakan tentang aibnya, semakin baik. Bangsawan itu menanggapi pengungkapan ayahnya dengan agak membungkuk. "Sepertinya Lord Shirakawa terluka." "Hanya terluka ringan," balasnya. "Lebih baik seandainya aku mati dibunuh. Aku seharusnya bunuh diri namun kedua putriku membuatku lemah." Kaede tak ingin mendengar apa-apa lagi. Untung saja mereka disela oleh Ayame yang datang membawakan teh dan beberapa manisan. Setelah melayani kedua laki-laki itu, Kaede lalu pamit, meninggalkan ruangan agar mereka dapat berbicara lebih jauh. Mata Fujiwara menatap kepergian Kaede yang sedang berharap untuk dapat berbicara lagi dengan bangsawan itu tanpa kehadiran ayahnya. Kaede tidak ingin langsung menyarankan suatu pertemuan, tapi ia memikirkan cara untuk dapat mewujudkannya. Beberapa hari kemudian, ayahnya mengabarkan bahwa Lord Fujiwara mengundang Kaede datang ke istananya untuk melihat-lihat koleksi lukisan dan harta benda lainnya. "Kau berhasil membuat dia tertarik," kata ayahnya, agak kaget. Dengan sukacita, meskipun agak cemas, Kaede meminta Shizuka ke istal untuk menyuruh Amano menyiapkan Raku, dan meminta dia menemani ke kediaman Lord Fujiwara yang tidak begitu jauh. "Kau harus menggunakan tandu," kata Shizuka tegas. "Mengapa?" "Lord Fujiwara berasal dari istana. Dia kerabat kaisar. Kau tidak boleh mengunjunginya dengan berkuda seperti seorang ksatria." Shizuka terlihat kaku, namun kemudian merusak kesan itu dengan tertawa terkekeh-kekeh, lalu menambahkan, "Jika kau laki-laki dan menunggang Raku, ayahmu mungkin akan mengijinkan! Tapi kau harus memberi kesan sebagai perempuan; kau harus tampil dengan sempurna." Shizuka menatap Kaede dengan pandangan kritis. "Tidak diragukan lagi, dia pasti akan berpikir kalau kau terlalu tinggi." "Dia pernah mengatakan aku cantik," kata Kaede, tersinggung. "Dia harus melihatmu mulus tanpa cacat. Seperti porselen, atau lukisan karya Sesshu. Setelah itu, dia pasti ingin menambahmu sebagai koleksinya." "Aku tak ingin menjadi koleksinya," jerit Kaede. "Apa sebenarnya yang kau inginkan?" suara Shizuka berubah serius. Kaede menjawab dalam nada yang serupa. "Aku ingin memperbaiki wilayahku dan menuntut apa yang menjadi milikku. Aku ingin memiliki kekuasaan seperti yang orang laki-laki miliki." "Bila itu keinginanmu, maka kau perlu sekutu," jawab Shizuka. "Jika hendak menjadikan Lord Fujiwara sebagai sekutu, maka kau harus tampil sempurna di depannya. Kirim pesan yang mengatakan kau sedang kurang sehat. Katakan kalau kau akan mengunjunginya dua hari lagi sehingga ada waktu untuk bersiap-siap." Pesan dikirim dan Kaede pun pasrah di tangan Shizuka. Rambutnya dicuci, alis matanya dicabut agar rapi, kulitnya digosok dengan gandum, badannya dipijat memakai pelembab lalu digosok lagi. Shizuka mengumpulkan semua pakaian dan memilih beberapa kimono milik mendiang ibu Kaede. Semua pakaian itu tak lagi baru, namun terbuat dari bahan yang bermutu dan warnanya-abu-abu seperti warna sayap burung dara, dan ungu seperti warna semak semanggi-membuat kulit Kaede terlihat putih dan rambutnya bercahaya biru kehitaman. "Kau begitu cantik sehingga akan mencuri perhatiannya," ucap Shizuka. "Tapi kau juga harus menggugah minatnya. Jangan terlalu banyak bicara. Aku yakin dia menyukai rahasia. Bila kau membagi rahasiamu, yakinlah kalau dia akan membayar harga yang pantas untuk rahasia yang kau berikan." Malam semakin dingin dengan butiran salju yang mulai berjatuhan, sedangkan di siang hari langit cerah. Pegunungan tampak cemerlang dengan pohon maple dan sumac yang berwarna semerah lidah api dengan latar belakang pepohonan cedar yang hijau gelap dan langit yang biru. Perasaan Kaede bersemangat karena kandungannya, dan saat melangkah keluar dari tandu dan menginjak taman di kediaman Lord Fujiwara, keindahan yang ada di hadapannya membuat hatinya tergetar. Inilah suasana musim gugur yang sempurna, yang tak lama lagi akan hilang akibat badai yang datang menderu-deru dari pegunungan. Kediaman Lord Fujiwara lebih besar dan lebih terawat dibanding rumah Kaede. Air yang mengalir melalui taman bergemericik saat terhalang bebatuan saat melalui taman dan melewati kolam di mana ikan berwarna emas dan merah berenang dengan malas. Bukit tampak seperti berdiri di atas taman, geinuruh air terjun bergema di kejauhan. Dua ekor elang memanggil-manggil dari langit yang tak berawan. Seorang pemuda datang menyambut di anak tangga lalu membimbing Kaede menyeberangi beranda luas ke ruangan utama di mana Lord Fujiwara telah duduk menunggu. Di pintu, Kaede berlutut, lalu menunduk hingga dahinya menyentuh lantai. Alas lantai ruangan ini segar dan baru, warnanya hijau pucat, keharumannya tercium tajam. Shizuka tetap di luar, duduk bersimpuh di lantai kayu. Ruangan hening. Merasa sedang diperhatikan oleh Lord Fujiwara, Kaede berusaha memperhatikan ruangan itu sebanyak yang ia bisa, tanpa menggerakkan kepala atau mata. Alangkah leganya Kaede ketika Lord Fujiwara akhirnya menyapa dan memintanya agar duduk tegak. "Aku senang atas kunjunganmu," katanya, dan mereka pun berbasa-basi. Kaede tetap menjaga suaranya agar lembut dan rendah, sedangkan lawan bicaranya berbicara dengan bahasa berbunga-bunga yang terkadang sulit diduga maksud kata-kata itu. Kaede hanya berharap bila ia tidak bicara banyak, maka orang itu akan menganggapnya orang yang misterius, dan bukan orang yang dungu. Pemuda yang tadi mengantarnya datang membawa perlengkapan minum teh, dan Fujiwara yang membuatkan teh, mengaduk-aduknya sehingga berbuih. Mangkuknya terasa berat, berwarna merah jambu kecoklatan, sungguh menyenangkan saat dilihat dan disentuh. Kaede memutar-mutar mangkuk yang ia pegang sambil mengaguminya. "Mangkuk teh ini berasal dari Hagi," katanya. "Dari daerah asal Lord Otori. Dan ini merupakan mangkuk teh kesukaanku." Setelah beberapa saat, dia melanjutkan, "Kau hendak ke sana?" Tentu saja aku akan ke sana, pikir Kaede. Bila dia memang suamiku dan aku mengandung anaknya, aku pasti akan pergi ke rumahnya, ke keluarganya. "Aku tidak bisa," kata Kaede singkat, seraya menaikkan mata. Seperti biasa, ingatan tentang kematian Shigeru, peran yang ia mainkan di dalamnya, dan tindakan balas dendam saat itu, hampir membuat ia menitikkan air mata, menggelapkan matanya, membuat matanya berkaca-kaca. "Selalu ada alasannya," dia berkata secara tidak langsung. "Lihat aku sekarang ini. Makam anak laki-lakiku dan isteriku ada di Ibukota. Kau pasti belum mendengar beritanya: aku diusir. Beberapa tulisanku membuat para penguasa tidak senang. Setelah aku diasingkan, kota tertimpa dua kali bencana gempa yang dahsyat dan juga terjadi serangkaian kebakaran. Umumnya mereka yakin itu adalah ungkapan rasa tidak senang Tuhan karena telah memperlakukan seorang pelajar yang tak berdaya secara tidak adil. Mereka lalu memintaku kembali ke ibukota, tapi hidup di sini membuatku bahagia. Aku juga punya alasan untuk tidak segera mematuhi perintah itu, meskipun kelak aku harus meninggalkan tempat ini." "Lord Shigeru kini telah menjadi dewa," kata Kaede. "Setiap hari orang datang berduyun-duyun untuk berdoa di makamnya, di Terayama." "Kematian Lord Shigeru merupakan kepedihan bagi kita semua, sedangkan aku masih hidup. Aku terlalu dini untuk menjadi dewa." Lord Fujiwara telah mengungkapkan tentang dirinya dan kini Kaede merasa harus melakukan yang sama. "Kedua paman Lord Shigeru menginginkan kematiannya," kata Kaede. "Itulah mengapa aku tidak mengunjungi mereka." "Aku hanya mengetahui sedikit tentang Klan Otori," kata Lord Fujiwara, "terlepas dari kerajinan tembikar mereka yang indah, orang Otori memiliki sifat tertutup. Agak sulit menjangkau mereka. Dan mereka masih kerabat kaisar." Suaranya ringan, hampir seperti mengejek, tapi ketika melanjutkan, nada suaranya agak berubah. Nada rasa ingin tahu dalam suara Lord Fujiwara yang telah Kaede tahu kini muncul lagi. "Maaf jika memaksa, tapi bagaimana sampai Shigeru mati?" Selama ini hampir tidak pernah Kaede membicarakan tentang peristiwa yang menyakitkan di Inuyama hingga ia tidak kuasa ingin mencurahkannya, tapi saat sang bangsawan mencondongkan badan, Kaede dapat merasakan rasa penasaran Lord Fujiwara, bukan pada dirinya, tapi untuk mengetahui apa yang telah Kaede derita. "Aku tak dapat menceritakannya," kata Kaede dengan nada rendah. Ia akan membuat laki-laki itu membayar demi rahasianya. "Terlalu menyakitkan." "Ah," Fujiwara pun menunduk sambil menatapi mangkuk di tangannya. Kaede mengamati bibir yang menarik dan jari yang lentik. Laki-laki itu meletakkan mangkuk di lantai dan menatap Kaede, dan dengan sengaja Kaede balas menatap, membiarkan air mata merebak di matanya, kemudian membuang muka. "Mungkin suatu saat nanti... " kata Lord Fujiwara dengan lembut. Mereka duduk tanpa bergerak maupun berbicara selama beberapa saat. "Kau menggugah rasa ingin tahuku," Lord Fujiwara berkata akhirnya. "Sangat sedikit perempuan yang seperti itu. Mari kutunjukkan kediamanku yang sederhana, dan koleksiku yang hanya sedikit." Kaede meletakkan mangkuk kemudian berdiri dengan anggun. Sementara sang bangsawan mengawasi setiap gerakan Kaede tanpa bergairah seperti laki-laki lainnya. Kaede menyadari maksud Shizuka. Jika orang itu mengaguminya, maka dia akan menambahkan Kaede sebagai salah satu koleksinya. Berapa harga yang harus orang itu bayar demi dirinya dan apa saja yang bisa ia dapatkan? Shizuka membungkuk saat Kaede dan Lord Fujiwara berjalan melewatinya, dan pemuda yang tadi menyambut muncul dari kegelapan. Struktur tulang pipi pemuda itu sehalus seorang gadis. "Mamoru," kata Fujiwara, "Lady Otori sangat baik mau melihat-lihat koleksiku yang buruk. Ikutlah bersama kami." Waktu pemuda itu membungkuk hormat pada Kaede, Fujiwara berkata, "Kau harus belajar darinya. Pelajari dia. Lady ini sangat sempurna." Kaede mengikuti mereka ke pusat rumah di mana ada halaman dan panggung. "Mamoru adalah pemain drama," ujar Fujiwara. "Dia memainkan peran perempuan. Aku ingin mementaskan pagelaran drama di lahan kecil ini." Halamannya tidak luas, namun sangat indah. Pilar-pilar kayu polos yang menopang atap berukir ornamen, dan di latar belakang panggung ada lukisan pohon pinus. "Kau harus menyaksikan pertunjukkan di sini," ujar Fujiwara. "Tak lama lagi kami akan memulai gladiresik drama Atsumori*. Kami sedang menunggu kedatangan pemain seruling. Tapi sebelum itu, akan ada pertunjukkan drama The Fulling Block**. Mamoru bisa belajar darimu dan aku ingin tahu pendapatmu tentang penampilannya." Ketika Kaede tidak menanggapi, dia melanjutkan, "Kau tahu tentang drama?" "Aku pernah menyaksikan beberapa pertunjukan saat di Noguchi," balasnya. "Hanya saja aku tak tahu banyak." "Menurut Ayahmu, kau pernah menjadi tawanan di Noguchi." "Sejak usia tujuh tahun." "Alangkah aneh hidup yang perempuan jalani," dia berkata. Mereka berjalan dari panggung ke ruangan tempat menerima tamu dengan pemandangan taman kecil di luarnya. Sinar matahari masuk hingga ke dalam ruangan dan Kaede bersyukur atas kehangatannya. Tapi, matahari telah mendekati gunung. Tak lama lagi gunung akan menyembunyikan matahari, dan bayang-bayang pegunungan akan menutupi lembah. Kaede menggigil kedinginan. "Ambilkan tungku," perintah Fujiwara. "Lady Otori kedinginan." Mamoru menghilang sejenak, kemudian datang lagi diikuti seorang laki-laki tua yang membawa tungku kecil berisi bara. "Duduklah di dekat tungku itu," kata Fujiwara, "Mudah sekali terserang dingin sekarang ini." Mamoru meninggalkan ruangan tanpa pernah bicara, gerakan pemuda itu anggun, terhormat, dan tak bersuara. Sewaktu kembali, dia membawa peti kayu paulownia yang dia letakkan di lantai dengan hati-hati. Dia pergi dan kembali sebanyak tiga kali sambil membawa peti atau kotak yang terbuat dari kayu yang berbeda: kayu zelkova, reniara, danceri yang dipelitur sehingga warna dan urat kayu memperlihatkan usia pohon-pohon itu, memperlihatkim bekas ranting yang tumbuh kembang, cuaca panas ihn dingin, hujan dan angin yang dialaminya. Lord Fujiwara membuka kotak-kotak itu satu demi satu dengan gerakan yang pelan dan sangat berhati-hati. Di dalamnya terhampar beberapa bungkusan, ada beberapa yang dibungkus berlapis-lapis kain yang indah, meskipun sudah sangat tua: bahan sutra dari proses anyaman terbaik dan sebagian besar berwarna lembut, tapi apa yang ada di balik kain-kain itu jauh mengungguli semua yang pernah Kaede lihat. Sang bangsawan membuka sctiap lapisan kain pembungkus lalu menaruh dengan hati-hati di depan Kaede. Dia mengajak Kaede mengangkat, mengelus, dan menyentuhkan ke bibir atau ke alis mata untuk merasakan keindahan benda itu, seperti keindahan pada saat dipandang. Lord Fujiwara kemudian membungkus dan meletakkan koleksinya itu ke tempat semula sebelum menunjukkan isi peti berikutnya. "Jarang sekali aku melihat benda-benda ini," dia berkata dengan nada cinta dalam suaranya. "Setiap pandangan tidak layak yang ditujukan pada benda-benda ini akan mengurangi nilainya. Hanya membukanya saja sudah menjadi kegiatan erotis bagiku. Dan berbagi dengan orang yang memiliki tatapan yang menghargai membuat aku senang, meskipun itu sangat jarang terjadi." Kaede hanya diam, ia tidak tahu banyak tentang nilai atau tradisi benda-benda di depannya: mangkuk teh yang terbuat dari tembikar coklat-merah jambu, yang rapuh tapi juga kuat, batu permata berbentuk Sang Pencerah yang duduk di tengah bunga teratai, kotak bersepuh emas yang sederhana sekaligus juga rumit. Kaede menatapnya lurus, dan benda-benda indah itu seakan memiliki mata dan balas memandangnya. Mamoru tidak ikut melihat isi peti, namun setelah beberapa waktu yang terasa berjalan lambat-bagi Kaede waktu seakan-akan berhenti-pemuda itu kembali membawa kotak datar, besar. Fujiwara mengeluarkan lukisan dari dalam kotak itu: gambar pemandangan musim dingin dengan dua burung gagak hitam yang dilatarbelakangi salju di permukaan tanah. "Ah, Sesshu," bisik Kaede, berkata untuk pertama kalinya. "Bukan Sesshu, tapi gurunya," bangsawan itu membetulkan. "Ada pepatah mengatakan bahwa seorang anak tidak bisa mengajari orangtuanya, namun dalam kasus Sesshu, kita harus mengakui bahwa seorang murid dapat mengungguli gurunya." "Bukankah ada pepatah: birunya celupan lebih gelap dibandingkan birunya bunga?" balas Kaede. "Kau menyetujui pepatah itu, kurasa." "Jika tidak ada anak atau murid yang lebih bijak, berarti tidak akan ada perubahan." "Dan semua orang akan sangat puas!" "Hanya mereka yang memiliki kekuasaan," kata Kaede. "Mereka berusaha mempertahankan kekuasaan dan posisi, sementara yang lain melihat kekuasaan itu dan menginginkannya. Dalam diri laki-laki, yang ada hanyalah kekuasaan, dan mereka berusaha mewujudkan perubahan. Yang muda menggulingkan yang tua." "Dan perempuan juga memiliki ambisi?" "Tidak ada yang bertanya pada mereka," mata Kaede beralih ke lukisan. "Gagak jantan dan gagak betina, bebek jantan dan bebek betina, rusa jantan dan rusa betina mereka selalu dilukis bersama, selalu berdampingan." "Begitulah cara alam menunjukkannya," ujar Lord Fiijiwara. "Lagipula, itulah salah satu dari lima ajaran Kung Fu Tzu." "Dan hanya satu dari kelima ajaran itu yang terbuka untuk perempuan. Dan itu pun hanya dipandang sebagai isteri." "Begitulah seharusnya perempuan." "Bisakah perempuan menjadi pemimpin atau teman?" tatapan mata Kaede dan Fujiwara bertemu. "Untuk ukuran seorang gadis, kau sangat berani," balasnya, di ujung kalimat, Kaede melihat dia tertawa. Pipi Kaede merona dan menatap kembali lukisan itu. "Terayama terkenal karena memiliki karya Sesshu," kata Fujiwara. "Kau pernah melihat lukisan-lukisannya?" "Ya, Lord Otori ingin Lord Takeo melihat dan menirunya." "Adik Lord Otori?" "Anak angkatnya." Hal terakhir yang Kaede inginkan yaitu menceritakan tentang Takeo pada Lord Fujiwara. Kaede memikirkan hal lain untuk dikatakan, namun semua pikirannya lenyap, kecuali ingatan pada lukisan yang Takeo berikan, sketsa burung kecil di pegunungan. "Aku menduga pemuda itu yang balas dendam? Dia pasti sangat berani. Aku ragu putraku akan bertindak seperti itu demi diriku." "Dia tidak banyak bicara," kata Kaede ingin terus menceritakan tentang Takeo, tapi takut melakukannya. "Kau tak akan menduga kalau dia seorang pemberani. Dia senang melukis. Dia kemudian berubah menjadi orang yang tidak mengenal takut." Kaede mendengar suaranya sendiri dan berhenti mendadak, merasa kalau dirinya terlalu terbuka pada Lord Fujiwara. "Ah," kata Fujiwara, dan kembali memandang lukisan dalam waktu lama. "Aku tidak boleh ikut campur dalam urusanmu," akhirnya Lord Fujiwara berkata sambil menatap Kaede. "Tapi kau pasti akan menikah dengan anak Lord Shigeru itu." "Ada beberapa pertimbangan lain," kata Kaede, mencoba bicara tanpa beban. "Aku memiliki Shirakawa dan wilayah Maruyama yang harus kutuntut haknya. Jika aku pergi dan menutup diri di Hagi, aku akan kehilangan semua itu." "Untuk ukuran seorang gadis belia, kurasa kau terlalu banyak menyimpan rahasia," gumamnya. "Kuharap kelak aku bisa mendengarnya." Kini Matahari memancarkan sinarnya dari balik pegunungan. Bayang-bayang pohon cedar raksasa mulai membentang di kediaman ini. "Hari telah beranjak malam," kata Lord Fujiwara. "Aku menyesal harus melepaskanmu, tapi aku harus mengirimmu pulang. Kau akan segera datang lagi." Dia lalu menggulung dan meletakkan lukisan itu ke dalam kotak. Kaede dapat mencium harum kayu dan daun rue yang ada dalam kotak untuk menangkal serangga. "Kuucapkan terima kasih dari lubuk hatiku," kata Kaede saat mereka bangkit. Mamoru telah datang tanpa bersuara, dan membungkuk dalam-dalam waktu Kaede melewatinya. "Lihat dia, Mamoru," kata Fujiwara. "Amati cara dia berjalan, cara dia membalas bungkukanmu. Jika kau berhasil mempelajarinya, maka kau bisa menganggap dirimu aktor." Lord Fujiwara dan Kaede bertukar salam perpisahan, Lord Fujiwara keluar ke beranda untuk melihat Kaede masuk ke tandu dan mengirim beberapa orang untuk mengawal. "Kau melakukannya dengan sangat baik," kata Shizuka ketika mereka sampai di rumah. "Kau berhasil membuat dia penasaran." "Dia membenciku," ujar Kaede. Ia merasa sangat letih karena pertemuan tadi. "Walaupun dia membenci perempuan, tapi dia melihat dirimu secara berbeda." "Sesuatu yang tidak wajar." "Mungkin," kata Shizuka, tertawa. "Atau sesuatu yang unik dan jarang dimiliki orang lain."* LIMA KEESOKAN harinya Lord Fujiwara mengirimkan hadiah untuk Kaede, disertai undangan untuk menghadiri pertunjukan drama di bawah cahaya bulan purnama. Kaede membuka hadiahnya yang berisi dua kimono, satu kimono lama tapi masih terlihat bagus dan dibordir dengan indah yang menggarnbarkan para petani dan semak musim gugur yang berwarna emas dan hijau di atas kain sutera berwarna gading. Sedangkan yang satunya masih baru dan lebih mewah dengan gambar semak-semak biru dan ungu gelap di atas kain merah jambu pucat. Hana dan Ai mengagumi kedua kimono itu. Lord Fujiwara juga mengirimkan sejumlah makanan, burung puyuh dan ikan, buah persimmon dan kue kacang. Hana-karena selalu mengalami kelaparan-sangat terkesan. "Jangan sentuh," Kaede memarahi. "Tanganmu kotor." Tangan Hana memang kotor karena mengumpulkan chestnut, tapi dia benci bila ditegur. Dia menarik tangannya ke balik punggung dan menatap marah pada Kaede. "Hana," kata Kaede, berusaha lembut. "Biarkan Ayame mencucikan tanganmu, setelah itu kau boleh menyentuhnya." Hubungan ia dengan adiknya itu masih belum akrab. Secara pribadi ia menganggap Hana terlalu dimanjakan Ayame dan Ai. Ia berharap dapat membujuk ayahnya untuk mengajari Hana juga karena ia merasa adiknya itu perlu disiplin dan tantangan. Sebenarnya ia ingin mengajari, tapi kesibukan dan ketidaksabaran yang menghalanginya. Juga ada banyak hal lain yang harus ia pikirkan selama musim dingin yang panjang ini. Hana berlari ke dapur, menangis. "Aku akan membujuknya," kata Ai. "Kelakuannya seenaknya sendiri," kata Kaede pada Shizuka. "Apa jadinya nanti kalau dia keras kepala." Shizuka melemparkan tatapan menyindir pada Kaede tanpa berkata apa-apa. "Apa?" tanya Kaede, "Apa maksudmu?" "Dia sepertimu, lady," kata Shizuka lirih. "Dia memang sepertiku, tapi dia jauh lebih beruntung dariku." Kaede terdiam, memikirkan perbedaan di antara mereka. Saat seusia Hana, ia ditinggal di kastil Noguchi selama hampir dua tahun. Mungkin karena cemburu sehingga ia cepat marah pada Hana. Tapi ia merasa kalau Hana benar-benar bertindak di luar kendali. Kaede menghela napas panjang sambil memandangi dua kimono indah itu, tak sabar ingin merasakan kelem butan sutera itu di kulitnya. Ia menyuruh Shizuka mengambil kaca dan memakaikan kimono yang lebih tua keuntuk melihat warnanya di wajahnya. Kaede terkesan atas hadiah itu lebih dari yang ia tunjukkan. Rasa tertarik Lord Fujiwara membuatnya tersanjung. Fujiwara mengatakan bahwa ia telah membangkitkan rasa ingin tahu; orang itu juga telah membangkitkan rasa ingin tahu Kaede. Kaede memakai kimono yang lebih tua itu karena ia merasa lebih cocok di suasana di akhir musim gugur, ketika ia, ayahnya, Shizuka, dan Ai memenuhi undangan Lord Fujiwara untuk menyaksikan pertunjukan drama. Mereka akan menginap karena drama berakhir hingga larut malam, dengan diterangi cahaya bulan purnama. Hana, kecewa karena tidak diajak, tidak keluar untuk mengucapkan selamat tinggal. Kaede berharap ayahnya tidak ikut pergi karena cemas dan takut ayahnya akan mempermalukan diri sendiri. Namun, Ayahnya yang merasa tersanjung oleh undangan tersebut, sulit diminta untuk tetap di rumah. Beberapa aktor, termasuk Mamoru, mementaskan The Fulling Block. Drama itu amat mengganggu Kaede. Selama kunjungannya yang singkat, Mamoru telah mempelajari dirinya lebih dari yang ia sadari. Kini Kaede seperti melihat dirinya sedang diperankan tepat di depan matanya. Kaede seperti melihat gerakan-gerakannya sendiri, mendengarkan suaranya sendiri, Angin musim gugur menceritakan tentang cinta yang berubah dingin, saat sang isteri lambat laun menjadi gila karena menunggu kepulangan suaminya. Cemerlangnya bulan, sentuhan angin. Kata-kata itu menusuk Kaede seperti jarum. Butiran salju berkilauan di malam yang pucat, mendinginkan hati seperti rintihan angin malam. Air mata Kaede berlinang. Semua kesendirian dan kerinduan perempuan di panggung itu, perempuan yang memerankan dirinya, benar-benar tampil seperti Kaede. Seminggu ini Kaede membantu Ayame menumbuk beberapa kimono suteranya dengan balok agar lembut. Ayahnya mengomentari tindakan itu dengan mengatakan bahwa bunyi tumbukan yang berulang-ulang merupakan bunyi-bunyian terindah selama musim gugur. Drama ini meruntuhkan pertahanan dirinya. Ia amat sangat merindukan Takeo. Jika tidak bisa memiliki Takeo, ia ingin mati saja. Namun, selagi hatinya hancur berkeping-keping, ia tersadar untuk tetap hidup demi anak yang dikandungnya. Dan ia seperti merasakan benturan samar dari gerakan lemah si janin untuk pertama kalinya. Cemerlangnya bulan di atas panggung terasa dingin. Asap dari tungku melayang-layang ke langit. Tabuhan lembut gendang berubah hening. Kelompok kecil yang menyaksikan drama terpana dikuasai keindahan bulan dan kekuatan emosi yang dimainkan di depan mereka. Seusai pentas drama, Shizuka dan Ai langsung kembah ke kamar. Ketika beranjak pergi, Fujiwara meminta Kaede bergabung dengan kelompok laki-laki yang sedang minum sake dan menyantap hidangan yang eksotis: jamur, kepiting, acar chestnut, dan cumi-cumi kecil yang dikirim dalam kemasan es dan jerami dari daerah pantai. Para aktor datang bergabung, topeng mereka telah ditanggalkan. Lord Fujiwara melontarkan pujian dan memberi para pemeran berbagai hadiah. Kemudian, saat sake telah melonggarkan lidah dan membuat suasana menjadi gaduh, dia menyapa Kaede pelan. "Aku senang ayahmu juga datang. Apakah dia sudah pulih?" "Kau sangat baik kepadanya," balas Kaede. "Perhatianmu sangat berarti bagi kami." Kaede merasa tak pantas membahas kondisi pikiran ayahnya dengan bangsawan itu, namun Lord Fujiwara bersikeras. "Apakah dia sering bermuram durja?" "Semakin lama Ayahku semakin kurang stabil. Kematian ibuku, perang... " Kaede memandangi ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang aktor tua. Ayahnya nampak bersemangat, matanya berseri, namun terlihat setengah sinting. "Kuharap kau datang kapan saja kau memerlukan bantuanku." Kaede membungkuk tanpa bicara, menyadari penghormatan luar biasa yang laki-laki itu berikan kepadanya dan juga bingung atas perhatiannya. Kaede belum pernah duduk di ruangan yang penuh laki-laki sehingga ia merasa risih, tapi ia tidak tahu bagaimana meninggalkan ruangan dengan sopan. Lord Fujiwara lalu mengubah pembicaraan dengan luwesnya. "Bagaimana pendapatmu tentang peran yang Mamoru mainkan? Dia belajar darimu dengan baik sekali, kurasa." Kaede tidak menjawab, ia mengalihkan pandangan dari ayahnya ke pemuda yang kini tidak lagi berperan sebagai perempuan, walau masih tersisa bekasnya, bekas sosok Kaede. "Apa yang bisa kukatakan?" Kaede akhirnya berkata. "Pemuda itu sangat brilian." "Tapi...?" tanya bangsawan itu. "Kalian mencuri semuanya dari kami." Kaede hendak mengatakan dengan suara ringan, namun suaranya terdengar pahit di telinganya. "Kalian?" Lord Fujiwara mengulangi, agak kaget. "Laki-laki. Kalian mengambil semuanya dari perempuan. Bahkan penderitaan kami, penderitaan amat sangat yang kalian akibatkan-kalian curi dan memerankannya seolah-olah itu milik kalian." Matanya mencari-cari wajah Kaede. "Belum pernah aku melihat peran yang lebih meyakinkan atau lebih hidup dari yang Mamoru mainkan." "Mengapa peran perempuan tidak dimainkan oleh perempuan?" "Alangkah anehnya gagasan itu," balas Fujiwara. "Kau pikir kalian lebih asli karena kalian membayangkan emosinya akrab dengan kalian. Tapi kecerdasan aktor dalam menciptakan emosi yang tidak dia kenal secara akrab justru menunjukkan kehebatannya." "Kalian tidak memberi kami apa-apa," kata Kaede. "Kami memberi kalian anak. Bukankah itu pertukaran yang adil?" Sekali lagi Kaede merasakan mata laki-laki itu menatap lekat dirinya. Aku tidak menyukai dia, pikir Kaede, meskipun dia penasaran. Aku tidak berurusan dengan dia lagi, tak peduli apa yang akan Shizuka katakan. "Aku telah membuatmu tersinggung," kata laki-laki itu seakan bisa membaca pikiran Kaede. "Aku sangat tak layak mendapatkan perhatian Lord Fujiwara," ujar Kaede. "Perasaanku bukanlah hal penting." "Aku sangat tertarik pada perasaanmu yang begitu orisinal dan tak terduga." Kaede tidak menanggapi. Kemudian bangsawan itu melanjutkan, "Kau harus datang menyaksikan drama berikutnya. Pertunjukkannya berjudul Atsumori. Kami hanya menunggu pemain seruling. Dia teman lama Mamoru yang tak lama lagi akan datang. Kau tahu ceritanya?" "Ya," kata Kaede. Kaede teringat tragedi dalam drama itu. Ia masih memikirkan drama itu hingga ia berbaring di kamar tamu bersama Ai dan Shizuka: seorang pemuda yang tampan dan memiliki bakat musik dipenggal kepalanya oleh seorang ksatria yang kejam. Karena penyesalan yang mendalam, ksatria itu pun menjadi rahib, mencari kedamaian dari Sang Pencerah. Ia membayangkan arwah Atsumori memanggil dari kegelapan, Berdoalah untukku. Biarkan rohku lepas bebas. Semangat yang tidak biasa, emosi yang timbul karma drama itu, dan lambatnya waktu berjalan membuat Kaede gelisah. Sambil membayangkan Atsumori, si pemain seruling, pikiran Kaede melayang-layang antara tertidur dan terjaga, dan ia merasa seperti mendengar alunan nada seruling di taman. Alunan seruling itu mengingatkan Kaede pada sesuatu. Ia mulai tertidur, dibuai oleh alunan musik, sambil terns mencoba mengingat-ingat. Tiba-tiba Kaede terjaga. Musik itu pernah ia dengar di Terayama. Seorang biarawan muda yang memperlihatkan lukisan pada mereka-dia pasti memainkan nada-nada yang sama ketika itu, begitu menyentuh, penuh dengan kesedihan dan kerinduan? Kaede mendorong selimutnya dan bangkit perlahan, menggeser jendela agar terbuka dan mendengarkan. Ia mendengar ketukan pelan, gesekan pintu terbuka, suara Mamoru, dan suara pemain seruling itu. Di ujung koridor, lampu dalam genggaman seorang pelayan sekilas menerangi wajah mereka. Kaede tidak bermimpi. Itu dia. Shizuka berbisik. "Kau baik-baik saja?" Kaede menutup jendela dan berlutut di samping Shizuka. "Ada seorang biarawan dari Terayama." "Di sini?" "Dialah pemain seruling yang sedang mereka tunggu." "Makoto," kata Shizuka. "Aku tidak tahu namanya. Akankah dia mengenaliku?" "Bagaimana mungkin dia lupa?" balas Shizuka. "Kita akan pulang lebih awal. Kau harus pura-pura merasa tidak enak badan. Dia tidak boleh melihatmu. Cobalah tidur sejenak. Aku akan membangunkanmu saat pagi tiba." Kaede berbaring, namun rasa kantuk datang begitu lambat. Akhirnya ia tertidur sesaat dan terbangun saat melihat cahaya fajar di balik daun jendela dan Shizuka sedang berlutut di sampingnya. Kaede bertanya-tanya apakah mungkin ia bisa pergi secara diam-diam. Penghuni rumah telah terjaga. Ia mendengar jendela dibuka. Ayahnya selalu bangun lebih awal. Kaede tak bisa pergi tanpa, setidaknya, pamit padanya. "Katakan pada Ayah kalau aku merasa kurang sehat dan harus segera pulang. Minta ayahku meminta maaf pada Lord Fujiwara." Shizuka datang kembali setelah beberapa saat. "Ayahmu tidak membolehkan kau pergi. Dia ingin tahu apakah kau cukup sehat untuk menemuinya." "Di mana dia?" "Di ruangan yang mengarah ke taman. Aku telah meminta teh untuk diantar kemari, kau kelihatan sangat pucat." "Bantu aku berpakaian," pinta Kaede. Ia memang merasa lemah dan kurang sehat. Teh dapat membuatnya agak segar. Ai terbangun, wajahnya yang manis-alami dengan pipi merah jambu dan mata gelap karena kurang tidur membuatnya terlihat seperti boneka. "Kaede, ada apa? Apa ada masalah?" "Aku sakit. Aku harus pulang." "Aku akan menemanimu." Ai lalu mendorong selimut. "Akan lebih baik jika kau di sini bersama ayah," Kaede memerintah. "Dan sampaikan permohonan maafku pada Lord Fujiwara." Kaede berlutut dan mengusap-usap rambut adiknya. "Tinggallah di sini demi aku," ia memohon. "Kurasa Lord Fujiwara bahkan tidak memperhatikan keberadaanku," kata Ai. "Dia hanya memperhatikanmu. Dia begitu terpikat padamu." Di taman, burung di sangkar berkicau gembira. Dia akan tahu kebohonganku, dan tak akan mau bertemu denganku lagi, pikir Kaede. Bukan reaksi bangsawan itu yang ia takutkan, melainkan reaksi ayahnya. "Pelayan mengatakan bahwa Lord Fujiwara tidur larut malam sehingga bangau agak siang," bisik Shizuka. "Pergi dan bicaralah dengan ayahmu. Aku sudah meminta tandu." Kaede mengangguk tanpa bicara. Ia melangkahi kayu beranda yang dipelitur mengkilap. Keindahan papan ini sangat memukau. Selagi berjalan ke ruangan ayahnya, Kaede melihat pemandangan dari taman yang terhampar, sebuah lentera batu dibingkai dedaunan pohon maple, matahari berkilauan di permukaan air kolam yang tenang, kibasan warna kuning dan hitam dari ekor burung yang sedang bertengger. Ayahnya duduk menatap taman. Kaede tak kuasa menahan rasa iba pada ayahnya. Persahabatan dengan Lord Fujiwara sangat berarti bagi ayahnya. Di kolam, seekor bangau yang sedang menunggu mangsa diam tak bergerak bak patung. Kaede berlutut dan menunggu ayahnya bicara. "Apa-apaan ini, Kaede? Kau sungguh tidak sopan!" "Maafkan aku, Ayah. Aku merasa kurang sehat," lirihnya. Ketika ayahnya diam membisu, Kaede meninggikan suara. "Ayah, aku merasa kurang sehat. Aku akan pulang sekarang." Ayahnya tetap diam, seakan dengan acuh akan membuat putrinya segera pergi. Burung bangau terbang dengan kepakan sayap yang mendadak. Dua orang laki-laki berjalan ke taman. Kaede menatap ke sekeliling ruangan, mencari-cari tempat bersembunyi namun tidak ada. "Selamat pagi!" sapa Lord Shirakawa dengan riang. Kedua orang itu balas menyapa. Kaede berharap Mamoru pergi tanpa mendekat, namun perlakuan Lord Fujiwara padanya di pesta laki-laki semalam pasti telah membuat dia pemberani. Dia mengajak temannya mendekat dan mulai berbasa-basi dengan ayahnya. Kaede membungkuk dalam, berharap dapat menyembunyikan wajahnya. Mamoru memperkenalkan nama orang itu, Kubo Makoto, dan menyebut Biara Terayama. Makoto juga membungkuk. "Ini Lord Shirakawa," kata Mamoru, "dan putrinya, Lady Otori." Biarawan muda itu tidak dapat menahan reaksinya. Wajahnya berubah pucat dan menatap lekat Kaede. Dia mengenali dan langsung membuka mulut. "Lady Otori? Kau akhirnya menikahi Lord Takeo? Apakah dia juga di sini?" Suasana menjadi hening. Ayah Kaede berkata. "Suami anakku adalah Lord Otori Shigeru." Makoto membuka mulut seolah hendak menyangkal, tapi kemudian dia mem-bungkuk tanpa bicara. Ayah Kaede mencondongkan badan. "Kau dari Terayama? Kau tidak mengetahui pernikahan putriku di sana?" Melihat Makoto diam membisu, Lord Shirakawa lalu berkata pada Kaede tanpa berpaling, "Tinggalkan kami." Kaede bangga betapa mantap saat ia menanggapi perintah Ayahnya, "Aku akan pulang. Sampaikan maafku pada Lord Fujiwara." Ayahnya diam. Ayah akan membunuhku, pikir Kaede. Ia membungkuk pada kedua pemuda itu, melihat rasa jengah dan gelisah mereka. Saat melangkah pergi, ia memaksakan diri agar tidak terburu-buru, tidak menggerakkan kepala, namun gelombang emosi mulai bergejolak di perutnya. Lebih baik aku mati, pikirnya. Tapi bagaimana dengan anakku, anak Takeo? Haruskah janin ini ikut mati bersamaku? Shizuka sedang menunggu di ujung beranda. "Kita bisa pergi sekarang, lady. Kondo akan menemani kita." Kaede mengijinkan laki-laki itu mengangkatnya masuk ke dalam tandu. Kaede lega sudah di dalam tandu yang gelap sehingga tak seorang pun dapat melihat wajahnya. Ayah tak akan mau melihatku lagi, pikirnya. Dia akan memalingkan wajah dariku bahkan saat dia membunuhku. Begitu sampai di rumah, Kaede langsung melepas kimono pemberian Lord Fujiwara dan dengan hati-hati ia melipatnya. Ia mengenakan kimono tua milik ibunya dengan pakaian dalam tebal di baliknya. Ia merasa kedinginan hingga ke tulang, tapi ia berusaha agar tidak menggigil. "Kau sudah kembali!" Hana berlari masuk ke kamar. "Mana Ai?" "Dia masih di rumah Lord Fujiwara." "Kenapa kakak pulang?" tanya anak kecil itu. "Aku merasa kurang sehat. Tapi sekarang aku sudah baikan." Mengikuti dorongan hati, Kaede berkata, "Aku akan memberimu kimono bermotifkan musim gugur yang sangat kau sukai itu. Kau harus menyimpan dan merawat pakaian ini sampai kau cukup usia untuk memakainya." "Kau tidak menginginkannya lagi?" "Aku ingin kau yang memilikinya. Jangan lupa untuk membayangkan dan mendoakan kakakmu ini saat memakainya." Hana menatap tajam. "Ke mana kakak akan pergi?" Ketika Kaede tidak membalas, dia meneruskan, "Jangan pergi lagi, kak." Tanpa dinyana, Hana mulai terisak-isak, lalu menjerit. "Aku akan merindukanmu! Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan aku!" Ayame datang berlari. 'Ada apa lagi, Hana? Kau tak boleh nakal pada kakakmu." Shizuka masuk ke kamar. "Ayahmu dalam perjalanan pulang," katanya. "Dia datang sendiri, menunggang kuda." "Ayame," kata Kaede, "Bawalah Hana keluar untuk sementara. Ajak dia ke hutan. Semua pelayan harus ikut denganmu. Aku tidak mau ada orang di rumah." "Tapi, Lady Kaede, hari masih terlalu pagi dan udara pun sangat dingin." "Tolong lakukan apa yang kuminta," pinta Kaede. Hana menangis lebih liar saat Ayame menuntunnya keluar kamar. "Kesedihan yang membuat dia begitu," kata Shizuka. "Aku takut dia akan semakin menderita," seru Kaede. "Itulah alasannya dia tidak boleh di sini." Kaede berdiri dan berjalan ke peti kecil tempat ia menyimpan beberapa barang. Ia ambil belati dari dalam peti, merasakan beratnya dalam genggaman tangan kirinya yang kini jarang digunakan. Sebentar lagi tidak akan ada orang yang peduli tangan mana yang ia gunakan. "Mana yang paling baik, di tenggorokan atau di jantung?" "Jangan lakukan itu," kata Shizuka pelan. "Kita bisa lari. Tribe dapat menyembunyikanmu. Pikirkan anakmu." "Aku tidak mau lari!" Kaede kaget pada suaranya yang kencang. "Kalau begitu, ijinkan aku memberimu racun. Kematiannya akan cepat dan tidak menderita. Kau hanya tertidur dan tidak akan pernah-" Kaede memotong ucapan Shizuka. "Aku anak seorang ksatria. Aku tidak boleh takut pada kematian. Kau tahbu lebih banyak dari siapa pun juga betapa sering aku ingin bunuh diri. Pertama-tama aku harus memohon ampun pada ayah, lalu aku akan gunakan belati ini untuk bunuh diri. Hanya satu pertanyaanku, mana yang lebih baik?" Shizuka mendekat. "Letakkan di titik ini, di samping lehermu. Tusuk menyamping ke atas. Itu akan mengiris urat nadimu." Kini suaranya terputus-putus, dan Kaede melihat Shizuka menitikkan air mata. "Jangan lakukan itu," bisik Shizuka, "Jangan berputus asa." Kaede memindahkan belati ke tangan kanan. Ia mendengar teriakan penjaga, derap tapak kuda saat ayahnya berkuda melewati gerbang. Ia mendengar Kondo menyapa ayahnya. Kaede memandang keluar, ke taman. Sekilas kenangan menghampiri dirinya, bayangan dirinya yang masih kecil, berlari-lari di beranda dari ayahnya lalu berpindah ke ibunya dan kembali lagi. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya, pikirnya dan berbisik tanpa bersuara, Ibu, Ibu! Ayahnya melangkah di beranda dan ketika dia melewati pintu masuk, Kaede dan Shizuka langsung berlutut, kemudian menyembah. "Anakku," katanya, suaranya terdengar tidak pasti dan tipis. Kaede mendongak dan melihat wajah ayahnya berlinang air mata, dan mulut komat-kamit. Semula Kaede takut akan kemarahan ayahnya, namun kini ia melihat kegilaan pada ayahnya, dan itu membuat lebih takut. "Maafkan aku," Kaede berbisik. "Aku harus bunuh diri." Lord Shirakawa duduk dengan berat di depan Kaede, mencabut belati dari sabuknya. Dia memandangi mata belati dalam waktu lama. "Panggil Shoji," perintah Lord Shirakawa. "Dia harus membantuku. Perintahkan orang menjemputnya." Saat Kaede tidak juga bereaksi, ayahnya membentak, "Katakan padanya!" "Aku yang akan pergi," bisik Shizuka, lalu mundur sambil berlutut. Kaede mendengar Shizuka berkata pada Kondo. Bukannya pergi, laki-laki itu malah melangkah ke beranda dan Kaede tahu kalau Kondo sedang di luar pintu. Lord Shirakawa membuat gerakan mendekat dengan tiba-tiba. Kaede tak kuasa menahan dirinya tersentak, mengira ayahnya hendak memukul. Lord Shirakawa lalu berkata, "Tidak ada pernikahan!" "Maaf," jawab Kaede. 'Aku telah membuatmu malu. Aku siap mati." "Tapi hamil?" Lord Shirakawa menatap bak ular berbisa yang hendak menyerang. "Ya, aku hamil." "Siapa ayahnya? Atau kau tidak tahu?" "Tidak ada bedanya lagi sekarang," balas Kaede. "Anak ini akan mati bersamaku." Kaede berpikir, Tusuk menyamping ke atas. Namun bersamaan dengan itu, ia seperti merasa Langan kecil anaknya mencengkram erat rahim, berusaha mencegah. "Ya, ya, kau memang harus bunuh diri." suaranya meninggi, melengking. "Adik-adikmu juga harus bunuh diri. Ini perintahku yang terakhir. Setelah itu keluarga Shirakawa akan lenyap. Aku tidak akan menunggu Shoji. Aku harus melakukannya sendiri. Inilah tindakan terhormatku yang terakhir." Lord Shirakawa melonggarkan sabuk dan membuka kimono, lalu melepas pakaian dalamnya. "Jangan berpaling," dia berkata pada Kaede. "Kau harus melihatnya. Kau yang memaksaku melakukan ini." Dia meletakkan ujung mata belati di kulitnya yang berkeriput, dan menghela napas panjang. Kaede melihat jari ayahnya menggenggam erat gagang belati, memandang wajah ayahnya yang berubah. Lord Shirakawa menjerit parau dan belati pun terjatuh dari tangannya, tak ada darah, tak ada luka. Beberapa teriakan tajam keluar dari mulutnya, dan kemudian berubah menjadi isak tangis yang memilukan. "Aku tidak mampu melakukannya," ratap ayahnya. "Seluruh keberanianku lenyap. Kaulah yang membuatku lemah, dasar perempuan sinting. Ambil saja kehormatan dan kelaki-lakianku. Kau bukan anakku, kau iblis! Kau menyebabkan kematian semua laki-laki, kau dikutuk." Dia mengulurkan tangan dan menarik pakaian Kaede dengan kasar. "Biarkan aku melihatmu," dia berteriak. "Aku ingin melihat apa yang laki-laki inginkan darimu! Beri aku kematian seperti yang kau berikan pada laki-laki lain." "Jangan," jerit Kaede, berusaha melepas cengkraman, berusaha mendorong ayahnya menjauhi. "Ayah, jangan!" "Kau memanggilku ayah? Aku bukan ayahmu. Anakku adalah anak laki-laki yang tidak pernah kumiliki; kau dan adik-adikmu yang terkutuk itu telah merampas tempat anak laki-lakiku di rahim ibumu!" Kegilaan membuat Lord Shirakawa kuat. Kaede merasakan kimononya ditarik dari bahu, tangan ayahnya menggeranyangi tubuhnya. Kaede tidak dapat menggunakan belati; ia tidak sanggup membunuh ayah kandungnya. Selagi bertarung melawan cengkraman ayahnya, kimono Kaede merosot hingga ke pinggul, menampakkan tubuhnya. Rambut Kaede terurai, membingkai bahunya yang telanjang. "Kau memang cantik," teriak Lord Shirakawa. "Kuakui itu. Aku bergairah padamu. Saat mengajarimu, aku bergairah padamu. Itulah hukuman karena aku bertindak melawan alam. Kau hancurkan hidupku. Kini, beri aku kematian!" "Lepaskan aku, Ayah," jerit Kaede, berusaha menenangkan, berharap ayahnya sadar kembali. "Kau bukan dirimu. Jika harus mati, mari kita lakukan secara terhormat." Namun semua kata-kata itu terdengar lemah dan tak berarti di wajah delusi ayahnya. Mata ayahnya basah, bibirnya gemetar. Dia merebut belati Kaede lalu melemparnya ke seberang ruangan, memegang kedua pergelangan tangan Kaede dengan tangan kiri, lalu dia tarik. Deegan tangan kanan dia menjangkau bagian bawah rambut Kaede, menariknya ke camping, berlutut di atas tubuh Kaede dan menyentuhkan bibirnya di tengkuk leher putri sulungnya itu. Kengerian dan marah menyapu diri Kaede. Ia sudah siap mati, mengikuti aturan keras dari kalangan klasnya, demi kejormatan keluarganya. Tapi ayahnya, orang yang mengajarinya aturan itu dengan kaku, orang yang mengajarinya tentang keunggulan laki-laki telah menyerah pada kegilaan, melepas apa yang ada di balik aturan di kalangan ksatria: nafsu dan keegoisan laki-laki. Amarah menghidupkan kekuatan yang Kaede tabu bersemayam dalam dirinya. Ia pun memanggil Dewi Putih. Tolong aku! Kaede mendengar suaranya sendiri-"Tolong! Tolong!" -dan saat ia menjerit sambil menangis, cengkraman ayahnya pun mengendur. Dia sudah sadar, pikir Kaede, sambil mendorong ayahnya. Ia berjuang berdiri, menarik kimono agar menutupi tubuhnya dan mengikatkan kembali tali pinggang, dan dengan tersandung-sandung Kaede berjalan ke ruangan paling jauh. Ia terisak-isak karena kaget bercampur marah. Kaede berpaling dan melihat Kondo berlutut di depan ayahnya yang duduk terkulai dengan ditopang Shizuka. Lalu Kaede menyadari tatapan mata ayahnya yang hampa. Kondo telah menghujamkan belati, kelihatannya, ke perut ayahnya dan mengirisnya melintang. Irisan itu menimbulkan bunyi lembut yang menjijikkan. Darah berdesis dan bergelembung saat berbuih keluar. Shizuka melepas genggaman di leher Lord Shirakawa, dan tubuh tak bernyawa itu pun terkulai. Kondo meletakkan belati di tangan kanan Lord Shirakawa. Rasa mual naik ke tenggorokan Kaede dan ia membungkuk, muntah-muntah. Shizuka menghampiri, wajahnya tanpa ekspresi. "Semuanya telah berakhir." "Lord Shirakawa kehilangan akal," kata Kondo, "lalu bunuh diri. Dia sering gila dan sering mengatakan akan bunuh diri. Dia mati secara terhormat, dengan keberanian yang luar biasa." Kondo berdiri dan menatap langsung pada Kaede. Terkadang Kaede ingin memanggil penjaga, mengadukan perbuatan kedua orang itu untuk dihukum mati, tapi waktu berlalu dan ia tak melakukan itu. Kaede tabu ia tak akan mengungkapkan kejadian ini kepada siapa pun. Kondo tersenyum samar, "Lady Otori, kau harus menuntut kesetiaan para laki-laki. Kau harus kuat. Kalau tidak, mereka akan menyerang dan merebut posisimu." "Aku hampir bunuh diri," kata Kaede pelan. "Tapi kini tampaknya ticlak perlu lagi." "Memang ticlak perlu." Kondo menyetujui. "Selama kau kuat." "Kau harus tetap hidup demi anakmu," desak Shizuka. "Tak seorang pun akan peduli siapa ayahnya asalkan kau cukup berkuasa. Tapi kau harus bertindak cepat. Kondo, kumpulkan para laki-laki secepat mungkin." Shizuka lalu menuntun, memandikan, dan mengganti pakaian Kaede. Pikiran Kaede bergetar karena rasa takut, namun ia tetap berpegang pada keyakinan akan kekuatan dirinya. Ayahnya telah mati sedangkan ia masih hidup. Ayahnya memang ingin mati; tidak sulit bagi Kaede untuk berpura-pura bahwa ayahnya memang bunuh diri dan mati secara terhormat, seperti keinginan ayahnya. Sesungguhnya, pikir Kaede pedih, ia telah memenuhi keinginan ayahnya, melindungi nama ayahnya. Meskipun ia tidak ingin mematuhi perintah terakhir ayahnya. Ia tak akan bunuh diri dan ia tak akan membiarkan adiknya mati. Kondo mengumpulkan penjaga, dan mengutus beberapa pengawal ke desa untuk memanggil semua orang. Tak bunuh waktu lama, sebagian besar pengawal ayahnya sudah berkumpul. Perempuan memakai pakaian berduka yang baru saja disimpan setelah kematian istri Lord Shirakawa, dan rahib pun telah dipanggil. Matahari mencairkan salju. Udara berbau asap dan dawn pines. Setelah kekagetan pertama Kaede berlalu, muncul perasaan yang hampir tidak ia mengerti, keinginan kuat untuk melindungi apa yang menjadi miliknya, untuk melindungi adik dan rumahnya, untuk meyakinkan kalau tak satu pun miliknya hilang atau dicuri. Salah seorang dari kumpulan laki-laki ini bisa merebut kekuasaannya, mereka tak akan ragu bertindak jika ia memperlihatkan tanda-tanda lemah. Ia telah melihat kebengisan yang bersemayam di balik kebaikan hati Shizuka dan penampilan sinis Kondo. Kekejaman kedua orang itu yang membuat ia selamat dan ia akan menggabungkan itu dengan kekejaman yang ia miliki. Kaede teringat ketegasan yang ia lihat dalam diri Arai, ketegasan yang membuat orang patuh, ketegasan yang membawa sebagian besar Tiga Negara berada dalam kendalinya. Kini ia harus menunjukkan sikap yang serupa. Arai akan menghormati persekutuan mereka, namun jika orang lain merebut wilayahnya, akankah Arai menangguhkan peperangan? Ia tak akan membiarkan penduduknya dihancurkan, ia tak akan menyerahkan kedua adiknya dijadikan tawanan. Kematian masih membayangi, namun semangat baru dalam dirinya tidak mengijinkan dirinya hanyut. Aku memang berkuasa, pikir Kaede saat melangkah ke beranda untuk berbicara pada orang yang berkumpul di taman. Sedikit sekali jumlah mereka, Kaede teringat jumlah pengawal ayahnya. Ada sepuluh orang anak buah Arai yang dipimpin oleh Kondo, dan ada dua puluh atau lebih yang masih melayani keluarga Shirakawa. Ia hapal nama-nama mereka. Ia merasa sudah menjadi tugasnya untuk mencari tahu posisi dan karakter mereka. Shoji adalah orang pertama yang tiba dan bersujud di depan mayat ayahnya. Di wajahnya masih tersisa jejak air mata. Laki-laki itu berdiri di sisi kanan Kaede, sedangkan Kondo di sisi kiri. Kaede menyadari rasa segan Kondo pada laid-laki tua itu. Kaede juga menyadari bahwa sikap Kondo itu hanya pura-pura, seperti yang sering dia lakukan. Tapi dia membunuh demi diriku, pikirnya. Dia terikat padaku sekarang. Tapi berapa harga yang dia minta sebagai imbalan? Para laki-laki berlutut di depan Kaede, kepala menunduk, lalu duduk bersimpuh kembali saat Kaede bicara. "Lord Shirakawa, ayahku, telah bunuh diri," kata Kaede. "Itu pilihannya. Meskipun sangat sedih, aku harus menghargai dan menghormati tindakannya. Ayah telah menunjukku sebagai pewarisnya. Atas tujuan itulah beliau mengajariku seperti beliau mengajari anak laki-lakinya. Aku bermaksud untuk mewujudkan harapannya." Kaede berhenti sejenak, mendengar kata-kata terakhir ayahnya yang sangat berbeda: Kau hancurkan hidupku. Kini, beri aku kematian. Namun Kaede tak mau terhanyut oleh pikirannya. Di depan semua orang yang menatapnya, ia harus memancarkan kekuatan, kekuatan yang membuat matanya bercahaya dan suaranya sangat menarik. "Aku minta kalian bersumpah setia kepadaku, seperti yang kalian lakukan pada Ayahku. Karena Lord Arai dan aku bersekutu, maka kuharap kalian semua yang melayaninya akan tetap melayaniku. Sebagai imbalannya, aku menawarkan perlindungan dan juga keuntungan bagi kalian. Aku berencana untuk menggabungkan Shirakawa, dan tahun depan aku juga akan mengambil wilayah yang telah diwariskan kepadaku di Maruyama. Ayahku akan dimakamkan esok." Shoji adalah orang pertama yang berlutut di hadapan Kaede. Kondo mengikutinya, walaupun, lagi-lagi, tindak tanduknya membuat Kaede ngeri. Dia sedang berpura-pura, pikir Kaede. Sumpah setia tidak berarti apa-apa baginya. Dia berasal dari Tribe. Rencana apa yang mereka siapkan untukku, yang belum aku ketauid? Bisakah aku mempercayai mereka? Jika aku tabu Shizuka tidak dapat dipercaya, apa yang akan kulakukan? Meskipun jantungnya berdebar, namun ia yakin tak seorang pun yang berbaris di hadapannya bisa menduganya. Kaede menerima sumpah setia mereka, memperhatikan mereka satu demi satu, mengamati karakter, pakaian, baju baja dan senjata mereka. Kebanyakan perlengkapan mereka dalam kondisi yang menyedihkan, tali baju baja yang rusak dan terjuntai-juntai, yang penyok dan retak, namun mereka Semua memiliki panah dan pedang, dan ia tahu sebagian besar laki-laki ini memiliki kuda. Semua orang berlutut, kecuali dua orang. Salah satunya adalah laki-laki berbadan seperti raksasa, Hirogawa. Dia berteriak dengan lantang, "Semua orang menerima kepernimpinan perempuan, tapi aku belum pernah melayani perempuan dan aku terlalu tua untuk memulainya." Dia membungkuk hormat acuh tak acuh lalu berjalan ke gerbang dengan sikap pongah sehingga membuat Kaede murka. Satu orang lagi yang bertubuli lebih kecil, Nakao, mengikuti tanpa bicara, bahkan tanpa memberi hormat. Kondo melihat pada Kaede, "Lady Otori?" "Bunuh mereka," perintah Kaede, sadar kalau ia harus bersikap kejam, maka itu harus dimulai sekarang. Kondo bergerak sangat cepat, lebih dari yang Kaede bayangkan mungkin dilakukan, menebas Nakao sebelurn laki-laki itu sadar apa yang terjadi. Hirogawa berbalik dan menarik pedangnya. "Kau telah melanggar sumpah setia dan harus mati," Kondo berteriak. Laki-laki besar itu tertawa. "Kau bukan orang Shirakawa. Siapa yang peduli padamu?" Dia menggenggam pedang dengan dua belah tangan, bersiap-siap menyerang. Kondo mengambil langkah cepat ke depan; saat Hirogawa menebas ke bawah, Kondo menangkisnya dengan pedang, mendorong mata pedang lawan ke samping dengan kekuatan yang tidak terduga, sambil memegang dan menggunakan pedangnya yang mirip kapak. Dengan gerakan berbalik, Kondo menebas ke perut Hirogawa yang tidak terlindungi. Kini, senjatanya yang terlihat lebih mirip gergaji ketimbang kapak meluncur menembus daging. Ketika Hirogawa terhuyung-huyung, Kondo menyingkir ke sebelah kanan lalu ke belakang laki-laki itu. Sambil berputar mengitar, dia menebas ke bawah, melubangi punggung laki-laki itu dari bahu hingga pinggang. Tanpa melihat wajah orang yang dia bunuh, Kondo berputar menghadap orang-orang, lalu berkata, "Aku melayani Lady Otori Kaede, ahli waris Shirakawa dan Maruyama. Adakah yang tidak melayaninya sesetia diriku?" Tidak ada orang yang bergerak. Kaede seperti melihat kemarahan di wajah Shoji, tapi laki-laki itu hanya mengatupkan bibir, tidak bicara. Menimbang pengabdian Hirogawa dan Nakao pada ayahnya di masa lalu, Kaede mengijinkan mayat kedua orang diambil oleh keluarganya. Tapi, karena kedua orang itu tidak patuh, Kaede memerintahkan Kondo untuk mengusir keluarga mereka dari wilayah Shirakawa dan menyita tanah mereka. "Hanya itu yang dapat kau lakukan," Shizuka menenangkan, "Jika dibiarkan hidup, mereka akan menjadi sumber kekisruhan, bahkan mungkin mereka akan bergabung dengan musuhmu." "Siapa musuhku?" Kaede berkata. Saat itu hari telah larut malam. Mereka duduk di ruangan yang sangat Kaede sukai. Meskipun jendela tertutup, namun tungku hampir tak mampu menghangatkan dinginnya udara malam. Ia menarik lapisan kimono berbulunya lebih erat ke tubuhnya. Dari ruangan utama terdengar alunan doa para rahib, tetap menjaga mayat ayahnya. "Nariaki, anak tiri Lady Maruyarna yang menikah dengan sepupu Lord Iida. Dia akan menjadi lawan utamamu dalam merebut Maruyama." "Tapi sebagian besar Klan Seishuu membenci Tohan," balas Kaede. "Aku yakin mereka akan menyambut kita. Lagi pula, akulah pewarisnya yang berhak, kerabat sedarah yang paling dekat dengan Lady Maruyama." "Tak seorang pun akan mempertanyakan hakmu," balas Shizuka, "tapi kau harus berjuang untuk mendapatkannya. Apakah engkau tidak senang dengan wilayah ini, wilayah Shirakawa?" "Pengawalku hanya sedikit, dan peralatan perang mereka pun sangat menyedihkan," kata Kaede merenung. "Untuk menjaga Shirakawa yang hanya membutuhkan sedikit pasukan bersenjata lengkap pun kita tidak mampu. Aku membutuhkan kemakmuran Maruyama. Saat masa berkabung usai, kau harus mengutus seseorang untuk rnenghadap kepala pengawal Lady Naomi, Sugita Haruki. Kau sudah kenal orangnya; kita pernah bertemu dengannya dalam perjalanan ke Tsuwano. Semoga dia masih memegang jabatan itu." "Siapa yang akan kita utus?" "Kau atau Kondo. Salah seorang mata-matamu." "Kau hendak mempekerjakan Tribe?" tanya Shizuka kaget. "Aku telah mempekerjakanmu," balas Kaede. "Kini aku ingin memanfaatkan keahlianmu." Kaede hendak bertanya banyak hal pada Shizuka, namun ia merasa lelah, juga rasa tertekan di rahimnya. Esok atau hari berikutnya aku akan bicara padanya, Kaede berjanji pada dirinya, tapi sekarang aku harus beristirahat. Punggungnya terasa nyeri. Ketika berbaring di tempat tidur, ia merasa tak nyaman dan kantuk tak kunjung datang. Hari ini ia telah melewati saat-saat yang mengerikan dan masih hidup, namun di saat isak dan tangis serta lantunan doa berhenti, rasa takut yang mendalam datang melanda. Kata-kata ayahnya terngiang di telinganya. Wajah ayahnya dan kedua orang yang mati dibunuh terbayang di pelupuk matanya. Kaede takut hantu mereka akan datang mengambil kandungannya. Akhirnya Kaede pun tertidur sambil memegang perut. Ia bermimpi ayahnya datang menyerangnya. Ayahnya menarik belati dari sabuk tapi bukannya menikam belati perutnya sendiri, tetapi mendekat, memegang tengkuk dan menusuk perut Kaede. Rasa sakit yang tak tertahankan menyapu dirinya, membuat ia terbangun sambil menjerit. Rasa sakit menyentaknya lagi dengan berirama. Tungkai kakinya bermandikan darah. Upacara pemakaman ayahnya akhirnya berlangsung tanpa kehadiran Kaede. Sang janin telah meluncur keluar dari rahimnya layaknya belut, dan darah kehidupan mengikutinya. Kemudian demam datang, mengubah pandangan Kaede menjadi merah, membuat lidahnya mengoceh tak karuan, menyiksanya dengan berbagai pandangan yang tak terlihat. Shizuka dan Ayame membuat berbagai ramuan, dan dalam keputusasaan, mereka membakar dupa dan memukul gong untuk mengusir roh jahat, serta memanggil orang suci dan gadis cenayang untuk mengusir setan. Setelah tiga hari, tampaknya tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan Kaede. Ai selalu berada di sisinya. Hana terus menangis. Sekitar waktu Kambing, saat Shizuka keluar mengambil air, seorang dari pos jaga memanggil. "Ada tamu datang. Beberapa orang berkuda dan dua tandu. Lord Fujiwara, kurasa." "Dia tidak boleh masuk," kata Shizuka. "Keadaan telah tercemar darah dan kematian." Para pengangkat tandu meletakkan kedua tandu di luar pintu gerbang, dan Shizuka berlutut saat Lord Fujiwara melihat keluar. "Lord Fujiwara, maafkan aku. Anda tak boleh masuk." "Aku mendapat kabar kalau Lady Otori sakit parah," balasnya. "Aku ingin berbicara denganmu di taman." Shizuka tetap berlutut saat bangsawan itu berjalan melewatinya, kemudian dia bangkit dan mengikuti Lord Fujiwara ke paviliun di tepi sungai. Bangsawan itu melambaikan tangan pada pelayannya agar pergi, dan berbalik menghadap Shizuka. "Seberapa serius sakitnya?" "Kurasa dia tak akan bertahan setelah malam ini." balas Shizuka dengan nada rendah. "Kami telah berusalia." "Aku membawa tabib," kata Lord Fujiwara. "Tunjukkan ke mana dia harus pergi, lalu kembalilah kemari." Shizuka membungkuk hormat, lalu berjalan kembali ke gerbang di mana seorang laki-laki kecil separuh baya dengan penampilan yang cerdas dan baik hati, muncul clari tandu kedua. Saat Shizuka mengantarnya ke kamar tempat Kaede berbaring, dia melihat kulit pucat dan mata tidak fokus tuannya. Napas Kaede cepat dan pampa, kadang menjerit, apakah meneriakkan rasa takut atau rasa sakit, sungguh sulit diduga. Ketika Shizuka kembali, Lord Fujiwara sedang berdiri menatap ujung taman, di mana sungai mengalir membasahi karang. Gemuruh air terjun terdengar sedih. Shizuka berlutut dan menunggu bangsawan itu bicara. "Ishida sangat ahli," katanya. "Jangan putus asa." "Kebaikan Lord Fujiwara sangat berlebih," tutor Shizuka lirih, memikirkan wajah pucat dan mata liar Kaede. Dia tak sabar ingin kembali pada tuannya, namun dia tak boleh pergi tanpa seijin bangsawan itu. "Aku bukanlah orang baik," balasnya. "Aku hanya dibangkitkan oleh hasratku, oleh egoku. Itu sifatku agar menjadi kejam." Dia menatap sekilas pada Shizuka lalu berkata, "Berapa lama kau melayani Lady Shirakawa? Kau bukan dari wilayah ini?" "Saya dikirim kepadanya pada musim panas saat dia masih di kastil Noguchi." "Siapa yang mengirimmu?" "Lord Arai." "Benarkah? Dan kau selalu mengirim laporan pada Arai?" "Apa maksud Lord Fujiwara?" tanya Shizuka. "Ada sesuatu pada dirimu yang tidak wajar sebagai pelayan. Kau memata-matai dia?" "Lord Fujiwara terlalu menganggap tinggi kemampuanku," balers Shizuka. "Kuharap kau tidak memicu kekejamanku." Shizuka mendengar ancaman di balik kata-kata itu dan tidak berkata apa-apa. Bangsawan itu lalu melanjutkan seolah-olah sedang bicara pada diri sendiri. "Kepribadiannya, kehidupannya menyentuhku seperti yang pernah kurasakan. Sudah lama aku tidak mengalami emosi apa pun. Takkan kubiarkan seorang pun-bahkan kematian- merebutnya dariku." "Semua orang yang melihatnya akan terpesona," bisik Shizuka, "tapi takdir selalu kejam padanya." "Aku ingin tahu kisah hidupnya," kata Lord Fujiwara. "Aku tahu dia memiliki banyak rahasia. Tragedi kematian ayahnya merupakan salah satunya, kurasa. Kuharap kau akan mengatakan padanya kelak, jika dia tidak mampu mengatakannya." Suaranya pecah. "Kecantikannya yang mernbius sungguh menusuk jiwaku," katanya. Shizuka mendengar kepura-puraan, tapi mata Lord Fujiwara berlinang air mata. "Jika dia hidup, aku akan menikahinya," katanya. "Dengan begitu aku akan selalu memilikinya. Kau boleh pergi. Kau akan mengatakan ucapanku ini kepadanya?" "Lord Fujiwara." Shizuka menyembah hingga dahi menyentuh lantai lalu mundur sambil berlutut. Andai dia hidup...* ENAM KOTA Matsue yang terletak di sebelah utara sangat dingin. Kami tiba di kota ini pada pertengahan musim gugur, saat angin dari tanah daratan berderu melintasi lautan dengan warna segelap baja. Bila salju mulai turun, seperti halnya Hagi, Matsue akan terputus dari daerah di sekitarnya selama tiga bulan. Tempat yang cocok untuk belajar. Selama seminggu kami berjalan melalui pesisir pantai. Meskipun tidak turun hujan, namun langit sering mendung dan siang hari berlangsung lebih pendek dan lebih dingin. Kami berhenti di sejumlah desa untuk menghibur anak-anak dengan permainan juggle, spinning top, dan permainan senar yang dikuasai Yuki dan Keiko. Di malam hari kami selalu menginap di rumah anggota Tribe. Aku selalu terjaga hingga larut malam, mendengarkan percakapan berbisik, mencium aroma sake atau aroma bahan makanan yang terbuat kedelai. Aku memikirkan Kaede, merindukannya. Dan terkadang di saat sedang sendiri, kubaca surat Shigeru yang memintaku untuk membalaskan kematiannya, dan juga menjaga Lady Shirakawa. Meskipun aku telah memutuskan untuk bergabung dengan Tribe, namun bayangan kedua paman Shigeru yang belum mendapat hukuman di Hagi, serta pedang Shigeru, Jato, yang kini terlelap di Terayama, selalu muncul di benakku. Saat tiba di Matsue, Yuki dan aku telah menjadi sepasang kekasih. Hubungan kami tidak terelakkan, bukan atas kemauanku. Aku selalu menyadari keberadaannya selama di perjalanan, inderaku terbiasa dengan suaranya, keharumannya. Tapi, aku selalu bersikap waspada dan berhati-hati untuk mengambil langkah apa pun pada dia. Sudah jelas kalau Akio juga tertarik pada Yuki. Dia tergila-gila pada Yuki. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk dapat bersamanya, berjalan di sisinya, dan duduk di sampingnya saat makan. Aku tak ingin membuat Akio semakin membenciku. Posisi Yuki di rombongan ini tidak jelas. Dia selalu patuh dan memperlakukan Akio dengan hormat, meskipun Yuki lebih jago ketimbang Akio. Status mereka tampak sejajar, sedangkan posisi Keiko jauh di bawah mereka, mungkin dia berasal dari keluarga yang lebih kecil atau sekadar saudara seketurunan. Keiko selalu mengabaikan diriku, namun dia menunjukkan kesetiaan buta pada Akio. Sedangkan pada laki-laki yang tertua, Kazuo, semua orang memperlakukan dia sebagai pelayan dan juga paman. Dia memiliki banyak keahlian praktis, termasuk mencopet. Akio adalah keturunan Kikuta dari ayah dan ibunya. Dia sepupu keduaku dan bentuk tangan kami pun serupa. Kemampuan fisiknya sangat mengagumkan; gerakannya sangat cepat dan dapat melompat begitu tinggi sehingga dia terlihat seperti melayang. Selain mampu menghilangkan diri, dia tidak memiliki keistimewaan Kikuta yang lain. Yuki mengatakan itu padaku saat kami berjalan jauh di depan rombongan. "Para tetua takut keistimewaan itu akan lenyap. Di setiap generasi kemampuan itu semakin berkurang." Dia berpaling kepadaku lalu menambahkan, "Itulah mengapa sangat penting bagi kami untuk mempertahankanmu." Ibunya Yuki pernah mengatakan hal serupa, dan aku ingin sekali bisa mendengar lebih banyak dari Yuki, tapi Akio berteriak bahwa kini giliranku untuk mengendalikan gerobak. Aku melihat kecemburuan di wajahnya. Dapat kulihat dengan jelas rasa cemburu dan rasa bencinya padaku. Dia sangat fanatik pada Tribe, mungkin karena dia besar dalam ajaran dan pandangan hidup Tribe; kemunculanku yang tiba-tiba mungkin telah mengusik ambisi dan harapannya. Aku tak berkata apa-apa saat mengambil alih kendali gerobak. Akio lalu berlari ke depan agar dapat berjalan di samping Yuki, kemudian berbisik. Seperti biasa, dia lupa kalau aku bisa mendengar setiap ucapannya. Dia biasa memanggilku si Anjing, dan nama panggilan itu agaknya tepat untuk dilekatkan padaku. Aku memiliki kesamaan dengan anjing, aku dapat mendengar apa yang anjing dengar dan aku tahu bagaimana rasanya tidak bisa bicara. "Apa yang kau bicarakan dengan si Anjing?" dia bertanya pada Yuki. "Pelajaran dan pelajaran," balas Yuki acuh. "Masih banyak yang harus dia pelajari." Namun apa yang kelak dia ajarkan hanyalah seni bercinta. Yuki dan Keiko dapat berperan sebagai pelacur selama perjalanan jika terpaksa. Kebanyakan anggota Tribe, laki-laki dan perempuan, tidak berpikir buruk tentang mereka berdua karena melacur. Pelacuran hanyalah peran lain yang harus dimainkan, kemudian dilupakan. Tentu saja klan memiliki gagasan yang berbeda tentang keperawanan calon pengantin dan kesetiaan isteri mereka. Laki-laki boleh melakukan apa pun yang mereka suka; perempuan diharuskan tetap setia. Ajaran yang membesarkanku ada di antara keduanya: Hidden diwajibkan bebas dari segala hasrat fisik, meskipun kenyataannya kami memaafkan penyelewengan orang lain, dalam segala hal kami selalu memaafkan. Di malam keempat kami menginap di rumah seorang saudagar. Meskipun terjadi kelangkaan barang setelah terjadi badai, namun mereka memiliki banyak sekali persediaan. Mereka juga tuan rumah yang baik. Saudagar itu menawari kami para gadis pelayannya, dan Akio serta Kazuo tidak menampik. Ketika aku menolak, mereka mencemooh dengan hebat, untung saja mereka tidak memaksa. Setelah gadis-gadis masuk ke kamar laki-laki, aku lalu pindahkan kasur ke beranda. Sebenarnya aku sangat mendambakan Kaede, bahkan perempuan mana pun. Aku sungguh tersiksa. Kemudian aku mendengar pintu digeser terbuka, dan seorang gadis dari kediaman ini, kupikir, keluar ke beranda. Saat dia menutup pintu, aku mengenali keharuman tubuh dan langkahnya. Yuki berlutut di sampingku. Aku menyentuhnya lalu menariknya ke sampingku. Korsetnya terbuka, kimononya sudah dilepas. Aku teringat rasa terima kasihku yang amat besar padanya. Dia melepas pakaianku, membuatnya semua berjalan sangat mudah bagiku- terlalu mudah. Keesokan pagi Akio menatapku curiga. "Kau berubah pikiran semalam?" Aku heran bagaimana dia bisa tahu, apakah dia mendengar ataukah dia hanya menduga. "Seorang gadis mendatangiku. Tampaknya tidak sopan untuk diusir," jawabku. Dia menggerutu tanpa menuntut penjelasan, namun dia selalu mengawasi aku dan Yuki, bahkan di saat kami sedang tidak berbincang, seolah-olah dia tahu ada yang terjadi di antara kami. Aku terus-menerus memikirkan Yuki, terbuai antara senang dan putus asa. Senang karena saat-saat bersamanya begitu indah, dan putus asa karena dia bukan Kaede, dan apa yang telah kami lakukan justru semakin mempererat ikatanku dengan Tribe. Aku teringat komentar Kenji saat dia pergi: akan sangat bagus bila Yuki selalu berada di sekitarmu untuk mengawasi. Dia tahu ini akan terjadi. Apakah dia yang merencanakan semua ini? Apakah Akio juga telah diberi tahu? Aku diliputi rasa was-was. Aku tak mempercayai Yuki, tapi bukan berarti aku menjauh darinya. Itu membuat kecemburuan Akio semakin terlihat jelas. Akhirnya rombongan kecil kami tiba di Matsue. Dari luar kami nampak kompak, tapi sebenarnya kami tercabik-cabik oleh berbagai emosi. Sebagai anggota Tribe, kami biasa menyembunyikan semua itu. Di kota ini kami tinggal di rumah yang beraroma kedelai olahan: tauco* dan tofu. Saudagar pemilik rumah, Gosaburo adalah adik bungsu Kotaro, juga sepupu pertama ayahku. Hanya sedikit rahasia yang perlu kami jaga. Kami telah jauh di luar wilayah Tiga Negara sehingga dari jangkauan Arai. Pemimpin klan di Matsue, Yoshida, tidak bermusuhan dengan Tribe. Dia merasa Tribe berguna untuk simpan-pinjam uang, sebagai mata-mata dan juga pembunuh. Di sini kami mendengar kabar tentang Arai yang sibuk menaklukkan wilayah Timur dan wilayah Tengah, menyusun persekutuan, dan bertempur kecil-kecilan demi memperjuangkan perbatasan dan menetapkan daerah administrasi. Kami mendengar rumor tentang kampanye Arai untuk membersihkan daerahnya dari Tribe. Ada yang menyambut kabar ini dengan gembira namun banyak pula orang yang mencemooh. Aku tidak akan menceritakan pelatihanku lebih rinci. Kegiatan pelatihan ini ditujukan untuk membangkitkan kekejaman dalam diriku. Tapi hingga sekarang ini, setelah setahun berlalu, kenangan akan kebengisan dan kekasaran masih membuatku tersentak, dan aku berusaha memalingkan wajah. Itulah masa-masa yang kejam: pada saat itu mungkin Surga murka, mungkin manusia telah dicengkeram oleh setan, mungkin juga kekuatan baik sudah lemah sehingga kebrutalan datang menyerbu. Tribe, kelompok yang paling kejam di antara yang paling kejam, pun tumbuh subur. Aku bukan satu-satunya anggota Tribe di pelatihan itu. Ada beberapa anak laki-laki lain, sebagian besar jauh lebih muda dariku, dan semua terlahir sebagai Kikuta serta tumbuh dalam keluarga itu. Salah seorang yang seumur denganku bertubuh gemuk, periang, dan aku sering dipasangkan dengannya. Namanya Hajime, dan meskipun tidak jelas-jelas membelokkan kemarahan Akio padaku-karena bila dia lakukan secara terang-terangan akan dianggap tidak sopan. Ada sesuatu pada dirinya yang kusuka, meskipun aku kurang mempercayainya. Keahlian bertarungnya jauh lebih hebat dariku. Dia jago sumo dan cukup kuat menarik anak panah raksasa dari panah sang guru. Namun tak satu pun anugrah yang dia dan pemuda lainnya miliki yang mampu mendekati kemampuanku. Baru kini kusadari betapa istimewanya kemampuan yang kumiliki. Aku dapat menghilangkan diri cukup lama di sudut ruangan, bahkan di dinding kosong bercat putih; Akio pun, terkadang, tidak dapat melihatku. Aku mampu membelah sosokku saat sedang bertarung, dan menyaksikan lawanku bertarung menghadapi sosok keduaku dari sudut lain ruangan. Aku dapat bergerak tanpa suara dan pendengaranku semakin tajam. Anak muda lainnya dengan cepat belajar untuk tidak menatap mataku. Hampir semua anak pernah tertidur karena ulahku. Perlahan-lahan aku belajar mengendalikannya setelah mempraktekkan pada anak-anak itu. Saat menatap mata mereka, aku melihat kelemahan dan ketakutan yang membuat mereka rapuh dalam tatapanku: terkadang ketakutan pada diri mereka, dan terkadang ketakutan mereka padaku dan pada kekuatan gaib yang aku miliki. Setiap pagi aku berlatih bersama Akio guna menambah kekuatan dan kecepatanku. Gerakanku lebih lambat dan lemah dibanding dia hampir dalam segala bidang. Demi menghargai bakatnya, Akio juga diminta mengajariku keahlian melompat, dan dia berhasil. Kedua keahliannya itu memang telah mengendap dalam diriku-tidak heran ayah tiriku sering memangilku monyet liar-ditambah lagi cara Akio mengajar yang brutal sehingga mampu memunculkan keliaranku, dan memaksaku untuk mengendalikannya. Hanya dalam beberapa minggu aku merasa ada perbedaan dalam diriku, tubuh yang kuat dan pikiran yang tajam. Kami selalu mengakhiri latihan dengan bertarung tangan kosong-bukan berarti Tribe sering menggunakan cara bela diri ini: mereka lebih suka membunuh secara diam-diam. Setelah latihan kami lalu duduk bermeditasi dalam keheningan, jubah disampirkan ke tubuh kami agar suhu tubuh tetap naik oleh kekuatan kehendak. Kepalaku sering berdengung akibat pukulan atau terjatuh sehingga aku tak mampu mengosongkan pikiran seperti yang seharusnya kulakukan. Sebaliknya, aku malah memikirkan betapa inginnya aku melihat Akio menderita. Ingin sekali aku lampiaskan pada Akio semua siksaan yang Jo-An alami, seperti yang dia pernah ceritakan padaku. Pelatihan ini dirancang untuk membangkitkan kekejaman dan aku menerimanya dengan senang hati karena meningkatnya semua kemampuan yang pernah kupelajari bersama anak-anak ksatria Otori semasa Shigeru masih hidup. Darah Kikuta dari ayahku bersemi dalam diriku. Sementara sifat welas asih yang diturunkan ibuku tersapu hanyut bersama semua ajaran di masa kecilku. Aku tidak lagi berdoa; tuhan yang rahasia, Sang Pencerah, maupun pada roh-roh kini tidak berarti apa-apa lagi bagiku. Aku tidak mempercayai keberadaan mereka dan aku tidak melihat bukti bahwa mereka bermurah hati pada hambanya. Terkadang, di malam hari, aku terjaga dan merasa jijik pada keadaanku saat ini, dan kemudian aku akan bangun dan, jika aku bisa, pergi mencari Yuki. Pertemuanku dengan Yuki selalu berjalan singkat dan tanpa suara. Namun pada suatu sore, kami hanya berdua di rumah, selain pelayan yang bekerja di toko. Akio dan Hajime membawa anak-anak yang lebih muda ke kuil untuk seremoni, sedangkan aku disuruh menyalin dokumen untuk kepentingan Gosaburo. Aku mensyukuri tugas ini. Aku jarang menggenggam kuas dan karena aku sangat terlambat belajar menulis, aku takut bila semua huruf akan lenyap dariku. Saudagar itu memiliki beberapa buku dan, seperti yang Shigeru ajarkan, aku sebaiknya menulis kapan saja aku sempat, namun sejak kehilangan tinta dan kuas di Inuyama, aku jarang menulis lagi. Dengan tekun aku menyalin dokumen, membuat laporan jumlah pembelian beras dan kedelai dari petani setempat, namun jariku gatal ingin melukis. Aku teringat kunjungan pertamaku ke Terayama, cemerlangnya musim panas di sana, keindahan lukisan, serta burung kecil yang kulukis lalu kuberikan pada Kaede. Seperti biasa, saat mengenang masa lalu, bayangan Kaede datang dan menguasai seluruh diriku. Dapat kurasakan kehadirannya, keharuman rambutnya, dan mendengar suaranya. Begitu kuat Kaede hadir di dekatku, seolah-olah rohnya menyelinap masuk ke ruangan ini dengan penuh kebencian dan murka karena aku telah mengabaikan dirinya. Ucapannya masih terngiang-ngiang di telingaku: Aku takut pada diriku. Aku hanya merasa aman bila bersamamu. Hawa dingin menyapu ruangan dan hari semakin gelap, diiringi ancaman akan datangnya musim dingin. Aku menggigil, dihinggapi rasa menyesal yang mendalam. Tanganku kaku karena kedinginan. Aku mendengar langkah Yuki mendekat dari belakang bangunan. Aku mulai menulis lagi. Dia menyeberang halaman dan melepas sandal di beranda ruang pencatat. Aku mencium bau kayu terbakar. Dia membawa tungku kecil, lalu dia letakkan di lantai, di dekatku. "Kau kedinginan," katanya. "Mau kubuatkan teh?" "Nanti saja." Aku menaruh kuas dan menggenggam kedua tanganku untuk mendapatkan rasa hangat. Yuki meraih tanganku dan menggosok-gosokkan di antara kedua telapak tangannya. "Akan kututup jendela," katanya. "Kalau begitu sebaiknya kau ambilkan lampu. Aku tidak bisa menulis bila gelap." Dia tertawa pelan. Satu demi satu jendela dia tutup. Ruangan menjadi remang-remang, hanya diterangi bara dari arang. Saat mendekat, Yuki telah melepas pakaiannya. Segera saja kami berdua merasa hangat. Tapi rasa gelisah melandaku. Roh Kaede seakan hadir di ruangan ini. Apakah aku membuat dia sedih, cemburu, dan jengkel? Sambil meringkuk di dekatku, dengan kehangatan yang terpancar darinya, Yuki berkata, "Ada pesan dari sepupumu." "Sepupu yang mana?" Kini aku punya lusinan sepupu. "Muto Shizuka." Aku menjauh dari Yuki agar dia tidak mendengar debar jantungku. "Apa pesannya?" "Lady Shirakawa sedang sekarat. Shizuka mengatakan mungkin Kaede tidak akan bertahan." Yuki menambahkan dengan suara malas, "Sungguh malang nasibnya." Yuki sedang senang. Namun yang kupikirkan saat ini hanyalah Kaede, kerapuhannya, keingintahuannya, dan kecantikannya yang menyihir. Aku berteriak pada diriku sendiri: Jangan mati. Aku harus bertemu denganmu lagi. Aku akan datang kepadamu. Jangan mati sebelum aku melihatmu lagi! Roh Kaede seakan menatapku, matanya gelap oleh celaan dan kesedihan. Yuki berbalik untuk memandangku, kaget akan keheninganku. "Shizuka merasa kau perlu tahu itu-apakah ada sesuatu di antara kalian? Ayahku juga menangkap kesan itu, namun dia menganggap itu hanyalah cinta monyet. Ayahku mengatakan bahwa semua orang yang memandang Kaede akan tergila-gila padanya." Aku tak menjawab. Yuki duduk, menarik kimono menutupi tubuhnya. "Lebih dari itu, kan? Kau mencintainya." Dia meraih tanganku dan membalikkan badanku agar berhadapan dengannya. "Kau mencintainya," ulangnya, ada nada cemburu dalam suaranya. "Apakah itu sudah berakhir?" "Tak akan pernah berakhir," kataku, "Bahkan jika dia mati, aku tak akan berhenti mencintainya." Kini sudah terlambat untuk mengatakannya pada Kaede, aku tahu itu. "Bagian hidupmu yang itu telah berakhir," kata Yuki pelan, namun tajam. "Semuanya. Lupakan dia! Kau tak akan bertemu dengannya lagi." Ada nada marah dan frustasi dalam suaranya. "Aku tak akan mengatakan ini bila kau tak menyebut tentang dia." Kutarik tanganku dari tangannya dan kembali berpakaian. Kehangatan telah hilang secepat datangnya. Bara yang ada di tungku tak mampu membuatku hangat. "Ambilkan arang," perintahku. "Dan lampu. Aku harus menyelesaikan tugasku." "Takeo," dia mulai berkata, lalu tiba-tiba berhenti. "Akan kusuruh pelayan mengambilkan arang untukmu," dia berkata sambil berdiri. Dia menyentuh tengkuk leherku saat pergi, namun aku tak menanggapi. Secara fisik, kami sudah terlibat terlalu dalam: tangannya telah memijatku, dan memukulku saat memberi hukuman. Kami pernah membunuh dengan berdampingan, kami telah bercinta. Tapi dia hanya mampu melukis permukaan hatiku saja, dan kami sadari itu. Aku tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan, tapi di dalam hatiku, aku menangis karena Kaede dan juga karena hidup yang seharusnya kami miliki saat ini. Tidak ada berita lebih jauh dari Shizuka, meskipun aku selalu bertanya pada penyampai pesan. Yuki tak menyinggung topik itu lagi. Aku tidak yakin Kaede sudah mati. Di siang hari aku bergantung pada keyakinan itu, namun berbeda bila malam tiba. Warna dedaunan mulai memudar saat gugur dari pohon maple dan pohon willow. Rombongan angsa liar mulai terbang ke selatan melintasi langit yang mendung. Penyampai pesan semakin jarang datang, seiring kota yang mulai terkucil karena musim dingin. Namun terkadang ada yang datang membawa kabar tentang kegiatan Tribe dan pertempuran di Tiga Negara dan juga, selalu, membawa perintah baru bagi trade kami. Istilah trade adalah cara kami menggambarkan tugas memata-matai atau perintah membunuh. Trade dengan nyawa manusia perlu didata karena banyak jumlahnya. Aku menyalin semua catatan tentang kegiatan itu, terkadang hingga larut malam dengan ditemani Gosaburo, si saudagar, sambil berpindah dari catatan tentang panen kedelai hingga urusan kematian. Dua kegiatan yang berbeda ini menghasilkan keuntungan yang bagus, meskipun kedelai terpengaruh badai sedangkan pembunuhan tidak, walau bisa saja calon korban mati akibat badai sebelum Tribe berhasil menyeretnya sehingga sering timbul sengketa yang tak berkesudahan tentang pembayarannya. Kikuta, keluarga yang lebih kejam, diharuskan lebih ahli dalam membunuh dibandingkan Muto yang secara turun-temurun lebih efektif menjadi mata-mata. Dua keluarga ini termasuk golongan aristrokat dalam Tribe; tiga keluarga lainnya yaitu, Kuroda, Kudo, dan Imai, lebih banyak bekerja pada tugas yang kasar dan menjemukan: menjadi pelayan, mencuri, mencari berita, dan sebagainya. Lantaran keahlian turun-temurun sangat berharga, banyak pernikahan antara Muto dan Kikuta dilangsungkan, sementara hanya sedikit di antara mereka yang menikah dengan keluarga selain itu, meskipun ada pengecualian sehingga melahirkan orang jenius seperti si pembunuh, Shintaro. Setelah urusan hitung-menghitung, Kikuta Gosaburo akan menjelaskan tentang silsilah keluarga, sambil menjelaskan hubungan yang ruwet di antara kalangan Tribe yang tersebar ibarat jaring laba-laba musim gugur yang melintasi Tiga Negara. Gosaburo seorang laki-laki gemuk dengan dagu berlipat seperti perempuan dan berwajah halus, seolah memiliki perawakan yang lemah-lembut. Aroma kedelai fermentasi melekat di pakaian dan kulitnya. Jika suasana hatinya sedang baik, dia akan menyajikan sake dan beralih dari pelajaran silsilah ke sejarah-sejarah leluhurku dari pihak Tribe. Ksatria bisa bangkit dan jatuh, klan bisa saja tumbuh subur dan menghilang, namun trade kaum Tribe di segala esensi terus kehidupan berlanjut. Kecuali saat ini, Arai hendak membawa angin perubahan. Pada saat semua ksatria ingin bekerjasama dengan Tribe, Arai justru ingin menghancurkan mereka. Dagu Gosaburo bergerak-gerak saat menertawakan gagasan itu. Awalnya aku hanya ditugasi sebagai mata-mata, dikirim untuk menguping pembicaran di kedai dan warung teh, lalu diperintahkan memanjat dinding dan atap di malam hari dan mendengarkan para laki-laki menceritakan rahasia kepada anak atau isteri mereka. Aku mendengarkan semua rahasia dan ketakutan penduduk kota ini, strategi klan Yoshida di musim semi nanti, perhatian pemerintah kastil setempat atas rencana Arai yang sudah kelewat batas serta tentang pemberontakan petani yang hampir terjadi. Aku pergi ke desa-desa di pegunungan untuk mencari tahu biang keladi pemberontakan. Suatu malam Gosaburo mendecak-decakkan lidah, tak senang karena ada yang menunggak pembayaran. Bukan hanya belum dibayar, orang itu bahkan memesan barang lebih banyak. Nama pemesan itu adalah Furoda, seorang ksatria klas rendahan yang kini beralih menjadi petani demi menghidupi keluarga besarnya dan sangat menyukai barang mewah. Di bawah tulisan namanya, aku membaca simbol-simbol yang menunjukkan bahwa beberapa usaha intimidasi telah dilakukan: lumbungnya dibakar, seorang anak gadisnya diculik, anak laki-lakinya dipukul habis-habisan. Tetap saja, dia tenggelam lebih jauh dalam hutang pada Kikuta. "Masalah ini bisa diserahkan pada si Anjing," kata saudagar itu pada Akio yang datang bergabung untuk minum sake. Seperti yang lainnya, kecuali Yuki, Gosaburo juga memanggilku dengan nama kecil pemberian Akio. Akio mengambil gulung kertas itu dan membaca sejarah Furoda yang menyedihkan. "Orang ini terlalu banyak diberi kemudahan." "Sebenarnya orang itu menyenangkan. Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Tapi, aku tidak bisa terus-menerus memberinya pinjaman." "Paman, bila kau tak segera berurusan dengannya, bukankah orang lain akan mengharapkan kelonggaran yang sama?" kata Akio. "Itulah masalahnya. Sekarang ada banyak orang yang menunggak pembayaran. Mereka pikir bisa menghindar karena Furoda berhasil." Gosaburo menghela napas panjang, matanya nyaris hilang dalam lipatan pipinya. "Hatiku terlalu lembut. Itu masalahku. Kakakku selalu mengatakan itu padaku." "Si Anjing juga berhati lembut," kata Akio, "Tapi kami telah melatihnya agar berjiwa keras. Dia bisa mengurusi Furoda. Akan lebih baik baginya." "Jika dibunuh, dia tak akan bisa bayar hutang," kataku. "Tapi yang lain akan segera membayar." Akio berkata seakan-akan sedang menunjukkan kebenaran yang sudah jelas kepada orang tolol. "Seringkali lebih mudah mengambil harta orang yang sudah mati daripada yang masih hidup," kata Gosaburo, dengan nada sedih. Aku tidak mengenal Furoda, orang yang menyukai kesenangan, kurang ber-tanggungjawab dan santai ini, dan aku enggan membunuhnya. Tapi aku harus melakukannya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam hari, aku mendatangi rumahnya yang terletak di pinggiran kota, aku diamkan anjing-anjing, lalu berjalan dengan menghilangkan diriku dan menyelinap melewati penjaga. Rumah Furoda dipalang dengan kuat sehingga aku menunggu orang itu keluar ke kamar kecil. Sudah lama kuamati rumahnya dan aku tahu ia selalu bangun awal untuk buang hajat. Furoda dulunya bertubuh besar dan padat yang kemudian berhenti berlatih dan menyerahkan pekerjaan berat di ladang pada anaknya sehingga kini dia lemah. Dia dibunuh hampir tanpa keributan. Ketika aku merapikan garotte, rintik hujan nyaris sedingin es. Atap dinding licin. Malam begitu gelap. Aku kembali ke rumah Kikuta diam-diam, dibungkam oleh kegelapan dan dingin, seakan mereka menjalar dalam diriku dan meninggalkan bayangan di relung jiwaku. Anak-anak Furoda segera membayar hutang ayahnya, dan Gosaburo senang dengan hasil kerjaku. Aku tak ingin orang tahu seberapa besar pembunuhan itu menggangguku, tapi tugas berikutnya justru lebih buruk lagi. Keluarga Yoshida memerintahkan suatu pembunuhan. Mereka memutuskan untuk menghentikan kerusuhan di kalangan penduduk desa sebelum musim dingin, dan meminta agar pemimpin pemberontak dibunuh. Aku tahu pemimpinnya, tahu lahan rahasianya, meskipun aku tidak mengatakan itu pada siapa pun. Ketika aku katakan pada Gosaburo dan Akio di mana orang itu bisa ditemui sedang sendiri setiap pagi, mereka lalu memberi tugas itu kepadaku. Orang itu memiliki sawah dan ladang kentang manis yang tersembunyi di sebuah goa, terhalang oleh pebukitan, dan ditutupi bebatuan dan semak belukar. Dia sedang bekerja di ladangnya sewaktu aku menapak di tanah yang landai. Aku salah menilainya: dia lebih kuat dari yang kuduga, dan dia melawan dengan menggunakan cangkul. Selagi berkelahi, kain penutup kepalaku merosot ke belakang dan dia sempat melihat wajahku. Sorot mata laki-laki itu seperti mengenaliku, diiringi rasa takut. Saat itu aku menggunakan sosok keduaku untuk menghampiri sisi belakang dan menggorok lehernya, samar-samar aku mendengar dia berkata. "Lord Shigeru!" Tubuhku berlumuran darah, darahnya dan darahku. Aku pusing karena terkena pukulan yang tak sempat aku hindari. Cangkulnya sempat menggores kepalaku hingga berdarah. Kata-kata orang itu sangat menggangguku. Apakah dia meminta arwah Shigeru untuk menolongnya, ataukah dia mengira aku adalah Lord Shigeru? Aku ingin bertanya, namun matanya menatap kosong ke langit yang temaram. Dia sudah mati dan tak dapat menjawab itu selama-lamanya. Aku menghilangkan diri dan bertahan seperti itu hingga di dekat rumah Kikuta, inilah pertama kalinya aku menghilangkan diri begitu lama. Aku ingin menghilang selamanya, andaikan bisa. Aku tak dapat melupakan katakata terakhir orang itu, dan aku teringat apa yang pernah Lord Shigeru katakan, sewaktu di Hagi: Aku tidak pernah membunuh orang yang tidak bersenjata, dan tidak juga membunuh demi kesenangan. Pemimpin klan sangat puas. Kematian orang itu telah merampas jantung kekacauan. Penduduk desa mulai jinak dan patuh. Banyak dari mereka yang mati kelaparan sebelum akhir musim dingin. Benar-benar hasil yang sangat memuaskan, kata Gosaburo. Sejak kejadian itu, setiap malam aku memimpikan Shigeru. Dia datang dan berdiri di depanku, seolah-olah muncul dari sungai dengan darah dan air menetes dari tubuhnya, tanpa bicara. Matanya terpaku padaku, seakanakan dia sedang menungguku dengan kesabaran burung bangau hingga aku dapat bicara lagi. Lambat-laun kondisi itu mulai meruntuhkanku hingga aku merasa tidak sanggup menjalani hidup seperti ini lagi, tapi aku tidak tahu cara melarikan diri. Aku telah membuat kesepakatan dengan ketua Kikuta yang kini tidak mungkin lagi aku tepati. Saat itu aku membuat penawaran dalam suasana bernafsu, tidak berharap untuk hidup setelah malam itu, dan tanpa memahami diriku sendiri. Kupikir Ketua Kikuta, yang sepertinya mengenali diriku, akan membantu mengatasi sifatku yang terpecah-belah, tapi ternyata dia malah mengirimku ke Matsue, pada Akio. Tribe dapat mengajari cara menyembunyikan sifatku yang lembut ini, namun mereka tak mampu mengatasinya; semua itu bahkan terseret semakin dalam pada diriku. Suasana hatiku semakin buruk ketika Yuki pergi. Dia tak mengatakan apa pun tentang kepergiannya, dia menghilang begitu saja. Saat berlatih di pagi hari, aku mendengar suara dan langkahnya. Aku mendengar dia berjalan ke gerbang dan pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan pada siapa pun. Seharian aku menanti kepulangannya, tapi dia tidak kembali. Aku mencoba bertanya, tanpa mencolok, ke mana perginya Yuki; semua orang seperti mengelak untuk menjawabnya, sedangkan aku tak ingin bertanya pada Akio atau Gosaburo. Aku merindukannya, tapi aku juga lega karena tidak perlu lagi menghadapi pertanyaan apakah aku tidur dengannya atau tidak. Setiap siang, sejak Yuki memberitahukan kabar tentang Kaede, aku memutuskan untuk tidak mendekatinya lagi, namun kenyataannya setiap malam aku melakukannya. Dua hari kemudian, ketika aku memikirkan Yuki saat sedang bermeditasi di akhir latihan pagi, aku mendengar pelayan memanggil Akio dengan pelan. Akio membuka mata perlahan, lalu dengan hawa ketenangan yang selalu dia rasakan setelah bermeditasi (dan aku yakin dia hanya berpura-pura), dia bangkit dan berjalan ke pintu. "Ketua datang," kata gadis itu. "Beliau menunggumu." "Hei, Anjing," Akio memanggilku. Saat aku berdiri, pemuda lainnya tetap duduk membeku, tanpa membuka mata. Akio menyentakkan kepala, dan aku mengikutinya ke ruangan utama di mana Kikuta Kotaro dan Gosaburo sedang minum teh. Kami masuk dan menyembah di hadapannya. "Duduklah tegak," katanya sambil mengamatiku selama beberapa saat. Kemudian dia menyapa Akio, "Ada masalah?" "Tidak juga," kata Akio, menunjukkan secara tidak langsung kalau memang ada beberapa masalah. "Bagaimana dengan sikapnya? Tidak ada masalah?" Akio menggelengkan kepala dengan perlahan. "Meskipun sebelum meninggalkan Yamagata...?" Kurasa Kotaro ingin aku tahu bahwa dia mengetahui segala sesuatu tentangku. "Masalah itu bisa diatasi," balas Akio singkat. "Pemuda ini cukup berguna," Gosaburo menyela. "Aku senang mendengarnya," ujar Kotaro datar. Saudara Kotaro itu lalu berdiri dan permisi keluar ruangan-dengan alasan harus menjaga toko. Setelah Gosaburo pergi, sang ketua berkata, "Semalam aku bicara dengan Yuki." "Dia di mana?" "Itu tidak penting. Tapi dia mengatakan sesuatu yang agak menggangguku. Kami tahu kalau Shigeru sengaja mencarimu ke Mino. Dia membiarkan Kenji percaya bahwa pertemuan itu hanyalah kebetulan." Kotaro berhenti bicara. Aku diam menunggu. Aku ingat kapan Yuki mengetahui itu, yaitu saat dia memotong rambutku. Dia menganggap berita ini penting, cukup penting untuk disampaikan pada ketua. Tidak diragukan lagi, gadis itu pasti menceritakan semua tentang diriku. "Informasi itu membuat aku curiga kalau Shigeru mengetahui tentang Tribe lebih dari yang kusadari," kata Kotaro. "Benarkah?" "Memang benar dia tahu siapa aku," jawabku. "Dan dia sahabat ketua Muto selama bertahun-tahun. Hanya itu yang kutahu tentang hubungannya dengan Tribe." "Dia tidak mengatakan lebih banyak lagi?" "Tidak." Aku berbohong. Sebenarnya Shigeru memang menceritakan lebih banyak, saat kami di Tsuwano-bahwa dia sebenarnya mencari tahu tentang Tribe dan bahwa dia mungkin tahu lebih banyak tentang mereka dibandingkan orang luar mana pun. Aku tak pernah membagi informasi ini dengan Kenji dan aku tidak melihat alasan untuk mengatakannya pada Kotaro. Shigeru memang sudah meninggal, sedangkan aku terikat pada Tribe, namun aku tidak akan membongkar rahasia yang Shigeru percayakan padaku. Aku berusaha agar suaraku terdengar polos, "Yuki juga menanyakan hal yang sama. Pentingkah itu sekarang?" "Kami mengira telah mengenal Shigeru," kata Kotaro. "Ternyata dia masih mengejutkan kami, bahkan setelah dia mati. Dia juga menyimpan beberapa rahasia dari Kenji- hubungannya dengan Maruyama Naomi, misalnya. Apa lagi yang dia sembunyikan?" Aku mengangkat bahu. Aku membayangkan Shigeru, yang bernama kecil sang Petani, sedang tersenyum tulus, dia nampak jujur dan sederhana. Semua orang ternyata salah menilainya, terutama Tribe. Dia jauh melampaui dugaan mereka. "Mungkinkah dia menyimpan catatan tentang Tribe?" "Dia menyimpan banyak catatan," kataku, pura-pura bingung. "Tentang cuaca, percobaan pertanian, ladang, sawah, dan juga tentang pengawalnya. Ichiro, gurunya, sering membantunya menangani catatan itu tapi biasanya dia yang menulis sendiri." Aku seperti dapat melihat Shigeru sedang menulis hingga larut malam, lampu berkedap-kedip, dingin yang menusuk, wajahnya tampak waspada dan cerdas, agak berbeda dari raut wajahnya sehari-hari. "Apakah kau selalu bersamanya?" "Tidak, selain dari pertemuan kami di Mino." "Seberapa sering dia berkelana?" "Aku kurang yakin; sewaktu di Hagi dia tidak pernah keluar kota." Kotaro menggerutu. Ruangan pun hening. Aku hampir tak mendengar napas orang lain. Dari kejauhan terdengar bunyi-bunyian dari toko dan rumah di sore hari, suara pembeli, penjaja keliling yang berteriak-teriak di jalan. Angin makin kencang, bersiul di balik dedaunan, menggetarkan kisi-kisi jendela. Tiupan angin membawa tandatanda salju. Akhirnya sang ketua berkata, "Hampir bisa dipastikan dia menyimpan catatan-catatan itu. Semua catatan itu harus kita peroleh. Akan timbul bencana jika catatan itu jatuh ke tangan Arai. Kau harus ke Hagi. Cari tahu apakah catatan itu memang ada dan bawa semua berkas-berkasnya kemari." Aku nyaris tidak percaya. Tak pernah kubayangkan akan ke sana lagi. Kini aku harus kembali ke rumah yang begitu kucintai. "Ini gara-gara nightingale floor itu," kata Kotaro. "Aku tahu Shigeru telah membangun lantai itu di sekitar rumahnya dan hanya kau yang dapat melintas di atasnya tanpa berbunyi." Aku merasa seakan sudah berada di sana: dapat kurasakan kelembaban udara malam di bulan keenam, melihat diriku berlari pelan seperti hantu, mendengar Shigeru berkata: Bisakah kau melakukannya lagi? Aku berusaha mengendalikan suaraku, tapi tetap saja otot-otot senyumku bergetar. "Kau harus segera pergi," Kotaro melanjutkan, "Kau harus tiba di sana dan kembali sebelum musim dingin. Saat ini hampir akhir tahun, sedangkan di saat bulan pertama, Hagi dan Matsue akan tertutup salju." Belum pernah aku melihat orang itu marah, tapi kini dia terlihat marah. Mungkin karena dia melihat aku tersenyum. "Mengapa kau tak pernah mengatakan hal ini?" dia bertanya, menuntut. "Mengapa kau simpan dari Kenji?" Marahku memuncak saat membalasnya. "Lord Shigeru merahasiakannya dan aku menuruti perintahnya. Sumpah setiaku yang pertama adalah kepadanya. Aku tak akan mengungkapkan sesuatu yang Shigeru ingin rahasiakan. Lagipula, waktu itu aku adalah bagian dari Otori." "Dan kurasa sampai sekarang pun kau tidak berubah," Akio menyela. "Dia akan selalu setia Shigeru." dia menambahkan, "Anjing hanya mengenal satu tuan." Aku berpaling menatapnya sambil berharap dia balas tatapanku agar dapat kubungkam dia, membuat dia tertidur, namun setelah memberi tatapan menghina, Akio kembali menunduk. "Bagus, tugas ini akan membuktikan pendapat kalian," balas Kotaro. "Kurasa misi ini akan menguji kesetiaanmu. Ichiro pasti tahu keberadaan catatan itu." Aku membungkuk, tanpa bicara, sambil memikirkan apakah aku sanggup membunuh Ichiro, orang yang menjadi guru Shigeru dan juga guruku. Aku pernah berpikir untuk membunuhnya saat aku dihukum atau dipaksa belajar, tapi bagaimanapun juga dia adalah orang kepercayaan Shigeru. Aku terikat kewajiban dan kesetiaan padanya, juga karena rasa hormatku yang terpaksa dan baru kusadar kini, kasih sayangku padanya. Di saat yang sama, aku menjelajahi kemarahan ketua, merasakan amarahnya di lidahku. Rasanya sama seperti kemurkaan Akio padaku yang tidak pernah lenyap, seolah-olah mereka berdua membenci sekaligus takut padaku. Kikuta senang sekali ketika tahu Isamu mempunyai anak laki-laki, begitu kata isteri Kenji. Jika mereka senang, lalu kenapa mereka sangat marah padaku? Bukankah Katoro juga menyatakan, kami semua senang? Reaksi Kikuta atas kemunculanku terkesan terpecah: mungkin mereka senang pada kemampuanku, tapi ada sesuatu pada diriku yang membuat mereka waspada, dan aku belum tahu gerangan apakah itu. Murkanya ketua yang seharusnya membuatku tunduk dan patuh, justru mendorongku untuk lebih keras kepala, dan menyulut sifat keras kepalaku dan memberiku energi. Aku merasakan gelombang energi dalam diriku scat aku renungkan takdir yang mengirimku pulang ke Hagi. "Sekarang ini kita memasuki masa yang berbahaya," kata ketua sambil mengamatiku, seakan dapat membaca pikiranku. "Rumah Muto di Yamagata telah diperiksa dan diobrak-abrik. Ada yang curiga kau bersembunyi di sana. Untungnya Arai sudah kembali ke Inuyama sedangkan Hagi jauh dari sana. Kepulanganmu memang beresiko, tapi akan jauh lebih berbahaya bila catatan Shigeru jatuh ke tangan orang lain." "Bagaimana bila dokumen itu tidak ada di rumah Shigeru? Bila disembunyikan di tempat lain?" "Mungkin Ichiro tahu. Tanyakan padanya lalu ambil semua catatan itu." "Aku harus segera pergi?" "Makin cepat, makin baik." "Sebagai seniman?" "Tak ada seniman yang berkeliling di saat seperti ini," cemooh Akio. "Lagipula, kita hanya pergi berdua." Aku berdoa semoga Akio tidak ikut. Ketua berkata, "Akio akan menemanimu. Anggap saja kakeknya-yaitu kakekmu-meninggal dan kalian kembali ke Hagi untuk melayat." "Aku tidak mau pergi dengan Akio," kataku. Akio menghela napas panjang. Kotaro berkata, "Kau tidak berhak memilih. Yang ada hanyalah kepatuhan." Keras kepalaku muncul, dan aku tatap mata sang ketua. Dia menatapku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya: saat dia membuatku tertidur. Tapi sekali ini aku membalas tatapannya tanpa tertidur. Ada sesuatu yang membuat dia agak tersentak. Aku mencari-cari dalam tatapannya, lalu muncul rasa curigaku. Dialah yang membunuh ayahku. Aku merasa ngeri atas apa yang kulakukan, kemudian pandanganku terpaku. Meskipun menyeringai, tapi aku jauh dari tersenyum. Aku melihat tatapan takjub sang ketua dan melihat pandangannya berkabut. Akio berdiri, memukul wajahku sehingga aku hampir terjungkir. "Berani benar kau lakukan itu pada ketua? Kau tidak punya rasa hormat, dasar sampah." Kotaro berkata, "Duduklah, Akio." Aku menatap tajam mata Akio, namun dia tetap tidak membalas tatapanku. "Aku menyesal, ketua," kataku pelan. "Maaf." Dia tahu ucapanku tidak tulus. Dia lalu berdiri dan menutupi kejadian tadi dengan marah. "Sejak menemukanmu, kami berusaha melindungimu dari dirimu sendiri." Dia tidak meninggikan suara, tapi tidak ragu lagi kalau dia marah. "Bukan hanya demi keselamatanmu. Kau tahu benar apa bakatmu dan betapa bergunanya itu bagi kami. Namun pola asuhmu, darah campuran dan karaktermu bekerjasama melawan dirimu. Kurasa pelatihan di sini dapat membantu, hanya saja kita tak ada waktu untuk meneruskannya. Akio akan ikut bersamamu ke Hagi dan kau harus patuh padanya dalam segala hal. Dia jauh lebih berpengalaman, dia tahu di mana rumah yang aman, siapa yang dapat dihubungi dan dapat dipercaya." Dia berhenti sejenak saat aku membungkuk menerima perintahnya, lalu dia melanjutkan, "Kau dan aku pernah membuat kesepakatan di Inuyama, tapi kau membangkang dengan kembali ke kastil. Akibat kematian Iida tidaklah menguntungkan kami. Kami jauh lebih baik di bawah kekuasaan Iida ketimbang di bawah kekuasaan Arai. Kini hidupmu bukan milikmu lagi berdasarkan sumpahmu sendiri." Aku tidak membalas perkataannya. Kurasa dia hampir menyerah untuk dapat mengatasiku. Kesabaran, pengertiannya yang dulu membuat aku tenang dan damai, kini mengering. Begitu pula dengan kepercayaanku padanya. Kecurigaan mengendap di benakku; sekali kecurigaan itu muncul, tak ada yang sanggup menghilangkannya-ayahku telah mati di tangan Tribe, kemungkinan Kotaro yang membunuhnya. Kelak aku mulai menyadari kalau hal ini menjelaskan banyak hal tentang hubunganku dengan Kikuta, bersikerasnya mereka untuk membuatku patuh, sikap mendua mereka atas semua kemampuanku, dan kebencian mereka atas kesetiaanku pada Shigeru, tapi sekarang ini rasa curigaku justru membuatku semakin depresi. Akio membenciku, aku telah menyinggung sang ketua, Yuki meninggalkanku, Kaede mungkin sudah mati... Aku tak ingin meneruskan daftar ini. Aku menatap kosong ke lantai selagi Kikuta dan Akio membahas rincian perjalanan. Kami berangkat keesokan pagi. Banyak sekali pengelana di jalan, mereka memanfaatkan minggu-minggu terakhir sebelum salju turun sekaligus pulang untuk merayakan perayaan Tahun Baru. Kami bergaul dengan mereka, sebagai dua bersaudara yang hendak ke kampung halaman untuk menghadiri pemakaman. Tidak sulit bagiku untuk berpura-pura berdukacita. Kesedihan telah menjadi kondisi alami diriku. Satu-satunya yang mencerahkan kegelapan yang selama ini melingkupiku yaitu pikiran bahwa aku akan segera melihat rumahku di Hagi, dan mendengarkan nyanyian musim dingin rumah itu untuk terakhir kalinya. Pasangan latihanku, Hajime, pergi bersama kami di hari pertama; dia hendak bergabung dalam pelatihan sumo selama musim salju guna menyiapkan pertandingan di musim panas. Kami bermalam dengan para pesumo, dan makan malam bersama mereka. Para pesumo makan sayur dan ayam sangat banyak, dan mie yang terbuat dari beras dan soba. Para pesumo mendapat jatah lebih banyak dibanding jatah makan rata-rata keluarga dalam seminggu. Hajime, dengan tubuh besar dan wajahnya yang tenang, berbaur dengan mereka. Dia telah mengenal mereka di tempat pelatihan, yang juga dikelola oleh Kikuta, sejak dia kanak-kanak dan para pesumo memperlakukan dia dengan olok-olok penuh kasih sayang. Sebelum makan, kami mandi bersama di tempat permandian air panas yang dibangun diseberang sumber air panas belerang yang mendidih. Para ahli pijat menggosok dan membersihkan lengan dan perut para pesumo yang padat. Rasanya hampir seperti berada di antara sekumpulan raksasa. Mereka semua mengenal Akio, tentu saja, dan memperlakukannya dengan hormat karena dia kerabat dari pemilik tempat ini, dan cemoohan halus karena dia bukan pesumo. Tak seorang pun bicara padaku, dan tak seorang pun memperhatikan aku. Mereka terserap oleh dunia mereka sendiri. Aku tidak banyak bicara, aku hanya mendengar. Aku dengarkan rencana pertandingan di musim panas, harapan dan keinginan para pesumo, lelucon yang dibisikkan para pemijat perempuan, berbagai usulan, penolakan atau penerimaan atas usul itu. Malam harinya, setelah Akio menyuruhku tidur dan aku telah berbaring di kasur yang terletak di bangsal, aku mendengar dia dan Hajime berbincang di ruangan bawah. Mereka memutuskan untuk bersantai dan minum bersama sebelum berpisah besok. Aku hilangkan dengkuran para pesumo dari pendengaranku agar dapat mendengar pembicaraan di ruangan bawah. Aku mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Akio lupa kalau pendengaranku tajam. Kurasa dia tak ingin mengakui anugrah yang kumiliki dan sikap ini membuat dia meremehkanku. Awalnya kupikir itu adalah kelemahannya, satu-satunya kelemahannya; kelak kusadari kalau ada beberapa hal yang sengaja dia ingin aku dengar. Mereka membicarakan hal-hal biasa-tentang pelatihan Hajime yang akan segera dilangsungkan, teman bergaul mereka-hingga sake mulai memabukkan mereka. "Kalian akan ke Yamagata?" tanya Hajime. "Mungkin tidak. Ketua Muto sekarang ini masih di gunung, dan rumahnya kosong." "Kukira Yuki telah kembali ke keluarganya." "Tidak, dia pergi ke desa Kikuta, di utara Matsue. Dia akan di sana sampai melahirkan." "Anak?" Hajime terdengar kaget, sama sepertiku. Keheningan melanda cukup lama. Aku dengar Akio meneguk minuman. Ketika bicara lagi, suaranya jauh lebih pelan. "Dia sedang mengandung anak si Anjing." Hajime berkata. "Maaf, sepupuku, aku tidak ingin membuatmu kesal, tapi apakah itu bagian dari rencana?" "Mengapa tidak?" "Aku selalu berpikir, kau dan dia... kalian akan menikah." "Kami telah berjanji sejak kanak-kanak," kata Akio. "Kami akan tetap menikah. Para ketua ingin Yuki tidur dengannya agar dia diam, untuk mengalihkan perhatiannya, jika mungkin untuk mendapatkan anak." Seandainya Akio merasakan kepedihan, saat itu dia tidak menunjukkannya. "Aku berpura-pura curiga dan cemburu," ucapnya datar. "Jika si Anjing tahu dia sedang ditipu, dia mungkin tak akan berhubungan dengan Yuki. Ya, aku tidak harus berpura-pura-aku tidak menyangka kalau Yuki akan menikmatinya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia bersama si Anjing, mencari perhatiannya siang dan malam seperti anjing kepanasan.... " suaranya tiba-tiba terhenti. Aku mendengar Akio meneguk habis segelas sake, lalu dia menuangkan lagi. "Semua itu pasti ada baiknya," kata Hajime, suaranya kembali ceria. "Anak itu pasti mewarisi campuran bakat yang langka." "Begitu juga dugaan ketua Kikuta. Dan anak ini akan tinggal bersama kami. Dia akan dibesarkan dengan tepat, tanpa kelemahan yang dimiliki si Anjing." "Sungguh berita yang luar biasa," kata Hajime. "Tak heran kau mau melakukannya." "Seringkali timbul niatku untuk membunuhnya," Akio mengakui, sambil meneguk dalam-dalam lagi. "Kau diperintahkan untuk membunuhnya?" tanya Hajime dengan muram. "Tergantung pada apa yang terjadi di Hagi. Anggap saja ini kesempatan dia yang terakhir." "Dia tidak tahu? Apakah dia sedang diuji?" "Kalau belum tahu, maka dia akan segera tahu," kata Akio. Setelah diam lama, dia berkata, "Andai Kikuta tahu keberadaannya, mereka pasti akan mengambil dan membesarkannya. Tapi sejak awal dia sudah rusak akibat pola asuhnya dan kemudian hubungannya dengan Otori." "Ayahnya mati sebelum dia lahir. Kau tahu siapa yang membunuh?" "Ada banyak orang," bisik Akio. "Tidak seorang pun tahu siapa sebenarnya yang melakukan, namun pembunuhan itu hasil kesepakatan seluruh keluarga. Ketua yang mengatakan itu padaku waktu di Inuyama." "Sungguh menyedihkan," gumam Hajime, "Begitu banyak bakat yang tersia-siakan." "Ini karena darah campuran," kata Akio. "Memang benar, terkadang darah campuran menghasilkan banyak bakat langka, tapi juga diikuti dengan ketololan. Dan satu-satunya obat ketololan adalah mati!" Tidak lama setelah itu mereka pergi tidur. Aku masih berbaring, berpura-pura tidur sampai subuh. Pikiranku terganggu tanpa daya memikirkan berita itu. Aku yakin, tidak peduli apakah aku berhasil atau gagal di Hagi, Akio tetap akan membunuhku di sana. Ketika mengucapkan selamat tinggal pada Hajime keesokan paginya, dia tidak menatap mataku. Suaranya mengumandangkan keceriaan palsu, dan tatapannya terus mengikuti kami, wajahnya murung. Kurasa dia menduga tak akan bertemu denganku lagi. Kami berkelana selama tiga hari tanpa bicara hingga tiba di perbatasan wilayah Otori. Di situ kami tidak menemui masalah, Akio telah dibekali tanda pengenal yang diperlukan. Dia membuat semua keputusan selama perjalanan; di mana kami harus makan, di mana kami harus berhenti di malam hari, jalan mana yang harus ditempuh. Aku mengikutinya tanpa banyak tanya. Aku tahu dia tidak akan membunuhku sebelum sampai di Hagi; dia membutuhkanku untuk bisa masuk ke kediaman Shigeru, melintasi nightingale floor. Setelah beberapa saat, aku mulai menyesal karena tidak melakukan perjalanan dengan teman. Perjalanan ini terasa hampa. Aku mendambakan teman, orang seperti Makoto atau teman lamaku di Hagi, Fumio, yang bisa diajak bicara dan berbagi kegundahan hatiku. Sesampai di wilayah Otori, aku berharap melihat pemandangan kota yang makmur seperti pertama kali aku melalui wilayah ini bersama Shigeru, namun semua tempat tampak porak-poranda akibat badai, dan kelaparan yang mengiringi bencana itu. Seluruh desa tampak keringkerontang, rumah yang rusak tidak diperbaiki, banyak pengemis di pinggir jalan. Aku menguping beberapa potong percakapan, bagaimana pemimpin Otori kini menuntut enam puluh persen hasil panen padi, bukan empat puluh persen seperti aturan sebelumnya, guna membayar pasukan perang yang dibentuk untuk melawan Arai. Dan bagaimana orang tua membunuh anaknya sebelum bunuh diri karena takut mati kelaparan di saat musim dingin. Di awal tahun aku dan Shigeru biasa melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu karena lebih cepat, namun badai salju telah menerpa tepi pantai, mendorong ombak abu-abu berbuih ke tepi pantai yang menghitam. Perahu-perahu nelayan ditambatkan di tempat yang aman agar tidak hanyut, atau diangkat tinggi-tinggi ke atas atap, tinggal bersama keluarga mereka hingga musim panas. Selama musim dingin keluarga nelayan membakar api unggun untuk mendapatkan garam dari air laut. Beberapa kali kami berhenti untuk menghangatkan diri dan makan bersama para nelayan dengan membayar beberapa keping koin. Makanannya sederhana: ikan asin, sup rumput laut, dan kerang laut. Seorang laki-laki meminta kami untuk membeli anak gadisnya, dan kami boleh memanfaatkan tubuh anaknya atau menjualnya ke rumah bordil di Hagi. Gadis itu tak lebih dari tiga belas tahun, hampir masuk masa puber. Dia tidak cantik. Aku masih ingat wajahnya, kedua matanya yang ketakutan dan memohon, air matanya, wajah leganya ketika Akio dengan sopan menampik, dan sikap putus asa ayahnya saat pergi. Malamnya Akio menggerutu karena udara yang dingin, sambil menyesali keputusannya. "Gadis itu bisa membuat diriku hangat," ujarnya lebih dari sekali. Aku membayangkan gadis itu sedang tidur di sebelah ibunya, berhadapan dengan pilihan antara kelaparan dan sesuatu yang tak lebih dari perbudakan. Aku memikirkan keluarga Furoda, tentang kunjunganku ke rumah mereka yang buruk namun nyaman, dan aku memikirkan laki-laki yang kubunuh di ladang rahasianya, dan desa yang akan musnah karena ulahku. Orang lain mungkin tidak merasa terganggu-karena inilah hidup-namun semua itu menghantuiku. Dan tentu saja, ini terjadi karena aku selalu memikirkannya di malam hari, dan membuang semua pikiran yang mengendap dalam diriku di siang hari. Yuki sedang mengandung anakku, anak yang akan dibesarkan oleh Tribe. Aku mungkin tak akan pernah melihat anakku itu. Kikuta membunuh ayahku karena melanggar aturan Tribe. Pasti mereka juga tidak akan ragu membunuhku. Aku belum memutuskan apa pun, dan tidak menyimpulkan apa pun. Aku hanya berbaring terjaga di malam hari, menggenggam pikiranku seperti aku menggenggam bola hitam di tanganku, dan memandanginya. Jalan curam dari gunung ke laut mengelilingi Hagi, jadi kami memutar melalui daerah pedalaman lalu mendaki sebelum menyeberangi puncak terakhir dan turun ke kota. Hatiku diliputi berbagai perasaan, meskipun aku tidak mengatakannya. Hagi terletak di teluk, dikelilingi sungai kembar dan laut. Sore ini adalah hari titik balik matahari musim dingin, dan matahari yang pucat berjuang menembus awan yang kelabu. Pepohonan seperti telanjang tanpa daun, tebalnya daun yang berguguran menutupi tanah. Pembakaran batang padi menyebarkan asap biru yang bergantung di atas sungai, sejajar dengan jembatan batu. Persiapan telah dilakukan untuk menyambut Perayaan Tahun Baru; ikatan jerami suci tergantung di mana-mana dan pohon pinus berdaun gelap ditempatkan di pintu; kuil dipenuhi orang. Sungai meluap akibat air pasang. Sungai menyanyikan lagu liarnya dan di bawah air yang bergelombang aku seperti mendengar suara tukang batu yang terjebak dalam hasil karyanya sedang melakukan percakapan tiada akhir dengan sang sungai. Seekor burung bangau muncul dari tempat dangkal saat kami mendekat. Ketika menyeberangi jembatan, aku membaca lagi prasasti yang pernah Shigeru bacakan kepadaku: Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Ketidakadilan dan ketidaksetiaan harus waspada. Ketidakadilan dan ketidaksetiaan. Aku adalah gabungan keduanya. Tidak setia pada Shigeru yang telah mempercayakan tanahnya kepadaku, dan tidak adil seperti Tribe yang tidak memiliki belas kasihan. Aku melangkah melalui ruas-ruas jalan dengan menunduk sambil mengubah penampilanku seperti yang Kenji ajarkan. Aku yakin orang tidak akan mengenaliku. Kini aku lebih tinggi, lebih kurus dan lebih berotot dibanding beberapa musim yang lalu. Rambutku telah dipotong pendek, pakaianku seperti seorang seniman. Bahasa tubuh, ucapan, sifatku-semua tentangku berubah sejak hari-hari ketika aku berjalan melalui jalan ini sebagai bangsawan muda dari Klan Otori. Kami pergi ke tempat pembuatan minuman keras di sudut kota. Dulu aku pernah melewati tempat ini puluhan kali tanpa pernah memperhatikan. Tapi, kupikir, Shigeru pasti tahu. Pikiran bahwa Shigeru telah menyimpan berbagai kegiatan Tribe, bahwa dia mengetahui berbagai hal tentang Tribe, dan juga mengetahui keberadaanku. Tempat ini sibuk dengan berbagai persiapan untuk menyambut musim dingin. Kayu dikumpulkan untuk memanasi tong dan udara sarat dengan aroma beras fermentasi. Kami disambut seorang laki-laki kecil berwajah bingung yang mirip Kenji. Dia berasal dari keluarga Muto; namanya Yuzuru. Dia tidak menyangka akan kedatangan tamu di tahun ini, dan kehadiranku serta misi yang kami beritahukan membuat dia gelisah. Dia buru-buru mengajak kami ke ruangan tersembunyi. "Keadaan sekarang sangat buruk," katanya. "Otori mulai bersiap-siap menghadapi Arai di musim panas. Hanya musim dingin yang melindungi kami." "Kau mendengar tentang kampanye Arai melawan Tribe?" "Semua orang membicarakannya," balas Yuzuru. "Kita diminta mendukung Otori melawan Arai semampunya." Dia menatapku sekilas dan berkata marah, "Keadaan jauh lebih baik di bawah kekuasaan Iida. Dan yakinlah, adalah suatu kesalahan besar membawa orang ini kemari. Jika ada yang mengenalinya.... " "Kami akan pergi besok," Akio menyela. "Dia hanya perlu mengambil sesuatu dari rumahnya yang dulu." "Dari rumah Lord Shigeru? Ini gila. Dia pasti akan tertangkap." "Kurasa tidak. Dia cukup mahir." Ada nada sindiran di balik pujian Akio, dan aku menganggap ucapannya itu sebagai petunjuk bahwa dia hendak membunuhku. Yuzuru menggigit bibir bawahnya. "Bahkan monyet bisa jatuh dari pohon. Benda apa yang begitu penting?" "Kami menduga si Otori menyimpan catatan tentang Tribe." "Shigeru? Si Petani? Mustahil!" Mata Akio menyipit. "Mengapa kau berpikir begitu?" "Semua orang tahu... Shigeru orang yang baik. Semua orang sayang padanya. Kematiannya benar-benar tragedi. Namun dia mati karena..." Yuzuru mengerjap geram dan menatap maaf ke arahku. "Dia mudah percaya. Nyaris lugu. Dia tidak pernah berkomplot. Dia tak mengetahui apa pun tentang Tribe." "Kami punya alasan untuk berpikir sebaliknya," kata Akio. "Besok, kita akan tahu siapa yang benar." "Kalian akan kesana malam ini?" "Kami harus kembali ke Matsue sebelum salju turun." "Salju akan turun lebih awal tahun ini. Mungkin sebelum akhir tahun." Yuzuru terdengar lega saat membicarakan sesuatu yang menyangkut urusan alam misalnya cuaca. "Semua tanda menunjukkan kalau musim dingin kali ini akan dahsyat dan berkepanjangan. Tapi jika di musim panas akan terjadi perang, kuharap musim panas tidak pernah datang." Hawa mulai membeku di kamar yang gelap dan kecil ini. Ini ketiga kalinya aku disembunyikan di dalam kamar sempit. Yuzuru datang membawa makanan, sake, dan the yang sudah dingin saat kami mencicipinya. Akio minum sake, tapi aku tidak. Aku ingin pendengaranku tetap tajam. Kami duduk tanpa bicara saat malam tiba. Tempat pengolahan sake ini mulai sepi, meskipun aromanya tidak lenyap. Aku mendengarkan suara-suara kota, setiap suara terasa sangat akrab. Aku yakin dapat menunjukkan jalan yang tepat, rumah yang tepat, dan dari mana suara itu berasal. Keakraban dengan lingkungan di sini membuatku tenang, dan depresiku mulai berkurang. Lonceng berdentang dari Daishoin, biara terdekat, menandakan sudah waktunya untuk berdoa tengah malam. Aku dapat menggambarkan bangunannya yang telah dimakan cuaca, kegelapan hijau tua dari hutan, lentera-lentera batu yang menandai makam para bangsawan dan orang kepercayaan Klan Otori. Aku seperti bermimpi sedang berjalan di tengah-tengah pemakaman itu. Kemudian Shigeru mendatangiku lagi, seakan dia keluar dari asap putih, dengan meneteskan air dan darah, matanya menghitam, menyimpan pesan yang sangat jelas bagiku. Aku tersentak sadar, menggigil kedinginan. "Minumlah, sake bisa menguatkan sarafmu," kata Akio. Aku menggeleng, kemudian berdiri lalu melakukan latihan pelemasan yang biasa Tribe lakukan agar badan hangat. Kemudian aku duduk bermeditasi, mencoba mempertahankan rasa hangat, dan mengumpulkan semua kekuatanku sambil memfokuskan pikiranku pada tugas malam ini. Dari Biara Daishoin terdengar bunyi lonceng tengah malam. Aku mendengar Yuzuru mendekat, dan pintu bergeser terbuka. Dia memberi isyarat dan memimpin kami ke gerbang luar. Di sini dia menyuruh penjaga waspada, dan kami menyeberangi dinding. Seekor anjing menyalak singkat, namun dihentikan dengan satu pukulan. Di malam yang begitu gelap, udara membeku, angin berhembus dari laut, tak seorang pun ada di jalanan. Kami pergi tanpa bicara ke tepi sungai dan berjalan ke tenggara menuju muara sungai kembar. Bambu-bambu penangkap ikan yang dulu sering kugunakan untuk menyeberang kini mengambang karena lemahnya arus. Di seberang itulah terletak rumah Shigeru. Ada beberapa perahu tertambat di tepi sungai. Kami dulu biasa menyeberangi sungai dengan perahu-perahu itu bila hendak ke tanah milik Shigeru yang ada di seberang, meninjau sawah dan ladangnya. Perahu-perahu yang membawa kayu untuk membangun rumah minum teh dan nightingale floor berjejer rendah dengan papan kayu beraroma harum karena belum lama ditebang dari hutan di belakang lahan pertanian. Malam ini terlalu gelap bahkan untuk dapat melihat lereng gunung yang penuh pepohonan. Kami menunduk di sisi jalan dan mengintip ke rumah itu. Hanya ada cahaya samar-samar dari pos jaga di gerbang. Dari suaranya, dapat kupastikan penjaga dan anjing sedang tidur nyenyak. Terlintas pikiran di benakku: mereka tak akan tertidur seperti itu bila Shigeru masih hidup. Aku marah atas nama Shigeru, dan juga atas namaku sendiri. Akio berbisik, "Kau tahu apa yang harus dilakukan?" Aku mengangguk. "Kalau begitu, pergi sana." Kami tidak mempunyai rencana apa pun. Dia hanya menyuruhku seakan aku elang atau anjing pemburu. Aku tahu benar apa yang Akio rencanakan: bila aku muncul dengan catatan-catatan itu, dia akan merampasnya lalu pulang dengan laporan bahwa aku dibunuh penjaga, dan tubuhku dilempar ke sungai. Aku menyeberangi jalan, menghilangkan diri, melompat melewati dinding lalu menjatuhkan diri di taman. Samar-samar alunan rumah ini membelaiku: hembusan angin di pepohonan, riak sungai, percikan air terjun, gelombang air pasang. Kesedihan melandaku. Apa yang kulakukan di sini, di tengah malam, dengan mengendapngendap seperti pencuri? Nyaris tanpa sadar aku membiarkan wajahku berubah, membiarkan wajah Otori muncul kembali. Meskipun nightingale floor terbentang mengelilingi rumah, tapi aku tidak merasa terancam. Bahkan di malam yang gelap ini aku masih dapat melintas di atasnya tanpa membuat lantai itu bernyanyi. Di ujung rumah aku memanjat dinding menuju jendela ruangan atas-rute yang dilalui si pembunuh bayaran, Shintaro, setahun lalu. Sesampai di atas, aku memasang telinga. Ruangan itu nampaknya kosong. Jendela tertutup untuk menghalangi masuknya udara malam yang dingin membeku, tapi tidak terkunci sehingga mudah dimasuki. Di dalam ruangan tidak lebih hangat, tapi lebih gelap. Di sini tercium lapuk dan apak seakan ruangan ini sudah lama tidak dimasuki, seakan sudah lama tidak ada orang yang duduk di sini, selain hantu. Aku mendengar napas penghuni rumah ini dan mengenali gaya tidur setiap orang. Namun aku tak mendengar napas orang yang harus kutemukan: Ichiro. Aku menuruni anak tangga yang sempit, aku mengenal bunyi-bunyian tangga mi seperti aku mengenal kedua tanganku. Saat berada di bawah, semua ruangan memang gelap seperti yang terlihat dari jalan. Di ruangan terjauh, tempat kesukaan Ichiro, ada lampu menyala. Aku datangi dengan hening. Jendela kertas tertutup, namun lampu memantulkan bayangan sosok laki-laki tua. Aku menggeser pintu agar terbuka. Orang itu mengangkat kepala dan menatapku tanpa terkejut. Dia tersenyum sedih dan mengusir dengan gerakan tangan. "Apa yang dapat kulakukan untukmu? Kau tahu aku akan melakukan apa saja agar kau tenang, tapi aku sudah tua. Aku lebih sering memakai pena ketimbang pedang." "Guru," aku berbisik. "Ini aku. Takeo." Aku melangkah masuk, menutup pintu di belakangku lalu berlutut di hadapannya. Dia melakukan satu gerakan ketakutan seolah-olah dia sedang tidur dan baru terjaga, atau seakan dia berada di alam kubur dan dipanggil kembali ke dunia. Dia mencengkram bahuku dan menarikku ke arahnya, ke dekat lampu. "Takeo? Benarkah ini kau?" Dia mengelus kepala dan pelipisku, seakan takut aku hanyalah bayangan. Air mata berlinang di pipinya. Dia lalu memelukku, mengusap-usap kepalaku di atas bahunya, seakan aku anaknya yang sudah lama hilang. Aku dapat merasakan dadanya yang kurus. Dia mundur sedikit dan memandangi wajahku. "Aku mengira kau Shigeru. Dia sering mengunjungiku di malam hari. Dia berdiri di depan pintu itu. Aku tahu apa yang dia inginkan, tapi apa yang dapat kulakukan?" Dia menyeka air mata dengan lengan baju. "Kau persis seperti dia. Agak aneh. Ke mana saja kau selama ini? Semula kami pikir kau sudah dibunuh, tapi karena setiap minggu ada yang mencarimu kemari, jadi kami menduga kau masih hidup." "Aku disembunyikan Tribe," kataku, bertanya-tanya seberapa jauh dia mengetahui latar belakangku. "Pertama di Yamagata, lalu selama dua bulan terakhir di Matsue. Mereka menculikku di Inuyama tapi kemudian melepasku pergi ke kastil dan membawa Lord Shigeru keluar. Sebagai imbalannya, aku setuju bergabung dengan mereka. Kau mungkin tidak tahu kalau aku memiliki ikatan darah dengan mereka." "Kami sudah menduganya," kata Ichiro. "Apa lagi yang membuat Muto Kenji muncul di sini?" Dia meraih kepalaku dan memegangnya dengan penuh perasaan. "Semua orang bercerita tentang bagaimana kau menyelamatkan Shigeru dan membunuh Iida. Aku tidak keberatan untuk mengatakan, dulu aku merasa Shigeru membuat kesalahan karena telah mengangkatmu, tapi kau menghapus kecemasanku dan membayar semua hutangmu padanya di malam itu." "Belum semuanya. Kedua pemimpin Otori yang telah mengkhianatinya belum dihukum." "Itukah alasannya kau datang? Itu akan membuat arwah Shigeru tenang." "Bukan, aku dikirim oleh Tribe. Mereka yakin Lord Shigeru menyimpan catatan tentang mereka dan mereka ingin mengambilnya." Ichiro tersenyum kering. "Dia menyimpan catatan tentang berbagai hal. Kedua pemimpin Otori menganggap pengangkatanmu tidak sah dan mungkin, mereka mengira kau sudah mati sehingga Shigeru tidak memiliki pewaris sehingga tanahnya harus dikembalikan pada pemerintah kastil. Aku sudah mencari bukti lebih banyak agar kau bisa mempertahankan apa yang menjadi milikmu." Suaranya berubah lebih keras dan mendesak. "Kau harus kembali, Takeo. Sebagian dari ksatria Klan Otori akan mendukung atas apa yang telah kau lakukan di Inuyama. Banyak orang yang mencuriga kedua paman Shigeru yang merencanakan kematiannya dan mereka murka karenanya. Kembalilah dan tuntaskan dendammu." Kehadiran Shigeru terasa di sekitar kami. Aku seperti melihat dia berjalan dengan langkah bersemangat, tersenyum tulus, dan dengan sorot matanya yang begitu jujur namun menyembunyikan begitu banyak hal. "Aku akan melakukannya," kataku lambat. "Aku tak akan tenang sebelum membalaskan dendam Shigeru. Tapi aku pasti dibunuh jika kabur-Tribe tidak akan berhenti memburu hingga mereka berhasil membunuhku." Ichiro menghela napas panjang. "Ternyata aku memang tidak salah menilaimu," katanya. "Bila catatan itu ada padaku, berarti kau akan membunuhku. Aku sudah tua, aku siap mati. Tapi aku ingin melihat pekerjaan Shigeru selesai. Memang benar, dia menyimpan catatan tentang Tribe. Dia yakin tak seorang pun akan mampu mewujudkan perdamaian di Wilayah Tengah bila pengaruh Tribe terlalu kuat, jadi dia mengabdikan diri untuk mencari tahu tentang mereka kemudian menulisnya. Dia menjamin tak seorang pun tahu isi catatannya, tidak juga aku. Dia menyimpan semua rahasianya lebih dari yang disadari siapa pun. Dia memang harus begitu: selama sepuluh tahun Iida dan kedua pamannya berusaha melenyapkan dirinya." "Bisa kau berikan berkasnya kepadaku?" "Aku tidak akan menyerahkan catatan itu pada Tribe," katanya. Lampu yang berkedap-kedip tiba-tiba menerangi tatapan aneh di wajah Ichiro yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku harus menambah minyak atau kita akan duduk di sini dalam kegelapan. Aku akan membangunkan Chiyo." "Sebaiknya jangan," kataku, meskipun aku ingin bertemu wanita tua yang memperlakukanku seperti anaknya. "Aku tidak bisa berlama-lama." "Kau datang sendiri?" Aku menggelengkan kepala. "Kikuta Akio sedang menungguku di luar." "Berbahayakah dia?" "Dia hampir pasti akan membunuhku. Terutama bila aku kembali dengan tangan kosong." Aku ingin tahu apa yang sedang Akio lakukan. Lagu musim salju di rumah ini mengelilingiku. Aku enggan meninggalkannya. Pilihanku tampaknya semakin sulit. Ichiro tidak mau menyerahkan catatan itu pada Tribe; aku pun tidak mampu membunuh orang tua itu untuk mendapatkannya. Aku keluarkan belati dari sabuk, merasakan beratnya yang akrab di tanganku. "Aku akan bunuh diri." "Bunuh diri bisa menjadi jawabannya," kata Ichiro sambil menghela napas. "Tapi itu bukan tindakan yang memuaskan. Itu berarti akan ada dua hantu penasaran yang mendatangiku setiap malam. Dan pembunuh Shigeru tak akan pernah dihukum." Cahaya lampu bergetar. Ichiro berdiri. "Aku akan pergi ambil minyak," gerutunya. Aku mendengarkan langkah kakinya sambil mengenang Shigeru. Berapa malam dia duduk hingga larut malam di ruangan ini? Beberapa kotak yang berisi kertas gulungan tergeletak di sekelilingku. Saat menatap malas ke gulungan itu, aku teringat pada peti kayu yang kubawa ketika mendaki lereng sebagai hadiah bagi Kepala Biara Terayama waktu kami mengunjungi biara untuk melihat lukisan Sesshu. Aku seperti melihat Shigeru tersenyum ke arahku. Ketika Ichiro kembali dan mengisi minyak, dia berkata, "Dapat kupastikan semua catatan itu tidak ada di sini." "Aku tahu," kataku. "Ada di Terayama." Ichiro menyeringai. "Saranku, meskipun dulu kau tak pernah memperhatikannya, pergilah ke sana. Pergilah sekarang, malam ini. Akan kuberikan kau uang untuk bekalmu di perjalanan. Mereka akan menyembunyikanmu selama musim dingin. Di sana kau dapat merencanakan pembalasan dendammu pada pemimpin Otori. Itulah yang Shigeru inginkan." "Itu juga keinginanku. Tapi aku telah membuat kesepakatan dengan ketua Kikuta. Kini aku terikat sumpah pada Tribe." "Kurasa kau telah berjanji setia pada Otori lebih dulu," kata Ichiro. "Bukankah Shigeru yang menyelamatkanmu sebelum Tribe tahu keberadaanmu?" Aku mengangguk. "Dan kau juga mengatakan Akio akan membunuhmu? Mereka sudah melanggar kesetiaanmu. Bisakah kau melewatinya? Di mana dia?" "Dia menungguku di jalan, di luar gerbang. Dia bisa berada di mana saja saat ini." "Kau bisa mendengarnya lebih dulu, kan? Dan bagaimana dengan semua muslihat yang sering kau gunakan untuk mengelabuiku? Kau selalu berada di mana saja saat aku mengira kau sedang belajar." "Guru," aku mulai berkata. Aku hendak meminta maaf tapi dia melambaikan tangan agar aku diam. "Aku memaafkanmu. Bukan ajaranku yang membuatmu mampu membawa Shigeru keluar dari Inuyama." Dia keluar dan datang membawa sekantong kecil koin dan sedikit kue mochi yang dibungkus rumput laut. Aku tidak membawa kain atau kotak untuk menyimpan barang-barang itu, sedangkan aku pasti akan membutuhkan tanganku agar dapat bergerak bebas. Aku lalu mengikatkan uang itu ke kain di bagian pinggang yang terletak di balik pakaianku, dan menaruh kue mochi di dalam ikat pinggangku. "Kau masih ingat jalannya?" dia bertanya, mulai cerewet seperti yang sering dia lakukan ketika mengunjungi kuil atau mengadakan perjalanan. "Aku masih ingat." "Aku akan menulis surat agar kau bisa lolos melewati penjagaan. Kau akan menjadi seorang pelayan-seperti itulah kau terlihat saat ini-yang sedang membuat janji untuk kedatanganku ke kuil itu tahun depan. Aku akan menemuimu di Terayama bila salju telah mencair. Tunggu aku di sana. Shigeru telah bersekutu dengan Arai. Aku tak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi kau harus meminta perlindungan Arai. Dia akan sangat berterima kasih atas segala informasi yang bisa dia gunakan untuk melawan Tribe." Ichiro lalu mengambil kuas dan langsung menulis. "Kau masih bisa menulis?" dia bertanya tanpa menoleh. "Kurang mahir." "Kau bisa berlatih menulis selama musim dingin ini." Dia lalu melipat surat itu dan berdiri. "Oh ya, apa yang terjadi pada Jato?" "Pedang itu ada. Aku menyimpannya di Terayama." "Sudah tiba waktunya kau mengambilnya." Dia kembali tersenyum dan mengeluh, "Chiyo akan membunuhku karena tidak membangunkannya." Aku selipkan surat ke dalam pakaian, lalu kami berpelukan. "Takdir yang aneh telah mengikatmu dengan rumah ini," katanya. "Aku yakin kau tidak bisa lolos dari ikatan itu." Suaranya berhenti dan aku melihat Ichiro hampir menitikkan air mata lagi. "Aku tahu itu," bisikku. "Akan kulakukan apa yang kau sarankan." Aku tak akan menyerahkan rumah dan tahta warisan. Ini milikku. Aku harus mendapatkannya kembali. Semua yang Ichiro katakan sangat masuk akal. Aku harus lari dari Tribe. Catatan Shigeru akan melindungiku dari mereka, dan memberiku kekuatan untuk tawar-menawar dengan Arai. Andaikan aku berhasil mencapai Inuyama.... * TUJUH Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net AKU meninggalkan rumah dengan cara yang sama seperti seat aku datang, keluar melalui jendela di lantai atas, menuruni dinding dan melintasi nightingale floor. Lantai itu tertidur di bawah kakiku namun aku bersumpah kelak akan kemari lagi dan berjalan di atas lantai ini dan membuatnya bernyanyi kencang. Aku tidak memanjat dinding untuk bisa sampai ke jalan. Sebaliknya, aku berlari tanpa suara menembus taman, bergerak tak kasat mata dan, melekat erat di bebatuan layaknya laba-laba, lalu memanjat saluran air yang mengalir ke sungai. Aku meloncat ke perahu terdekat, melepaskan talinya, mengambil dayung yang tergeletak di dalam buritan, dan mendorong perahu ke sungai. Perahu merintih pelan ketika tertimpa tubuhku, dan riak air memukul-mukul dinding perahu lebih keras. Aku kaget lantaran langit cerah. Suasana lebih dingin dan, di bawah bulan sabit, lebih terang. Ketika mendengar ada langkah kaki di tepi sungai, aku mengirimkan sosok keduaku kembali ke dinding, dan aku menunduk rendah di dalam perahu tapi Akio tidak tertipu oleh bayanganku. Dia lalu melompat dari dinding seperti terbang. Aku kembali menghilangkan diri, meskipun aku tahu mungkin itu sia-sia, kemudian aku meloncat dari perahu lalu melompat rendah menyeberangi permukaan air ke perahu lain yang bersandar di dinding sungai. Aku berjuang melepaskan tambatan perahu, dan mendorongnya dengan dayung. Aku melihat Akio mendarat dan menjejakkan kaki melawan goyangan perahu, kemudian dia meloncat cepat dan melayang lagi saat aku memisahkan diri, meninggalkan sosok keduaku di perahu sedangkan aku melompat ke perahu lain. Aku merasakan gerakan udara ketika kami saling berpapasan. Sambil mengendalikan keseimbangan, aku melompat ke perahu pertama, lalu mengambil dayung dan mulai mengayuh secepat-cepatnya. Sosok keduaku lenyap saat Akio menariknya dan aku melihat dia bersiap-siap melompat lagi. Tak ada jalan untuk lolos, kecuali aku bergerak ke tengah sungai. Aku tarik belati dan begitu dia mendarat, aku langsung menikamnya. Dia ber,gerak dengan kecepatan biasa dan mengelak dengan mudah. Aku telah mengantisipasi gerakkannya dan menyaanbut kepalanya dengan dayung. Dia terjatuh, pingsan sejenak, sementara aku hilang keseimbangan dan hampir tercebur ke sungai karena goyangan keras perahu. Aku Lnenjatuhkan dayung dan berpegangan ke pinggiran perahu. Aku tidak ingin tercebur ke air yang membeku kecuali aku membawa Akio bersamaku dan menenggelamkannya. Sewaktu aku tergelincir ke sisi lain perahu, Akio telah siuman. Dia meloncat tegak ke atas dan meluncur turun tepat di atasku. Kami berdua jatuh dan dia mencekik leherku. Aku masih tak kasat mata, tapi dengan rasa tak berdaya, terjepit di bawah Akio ibarat ikan di penggorengan. Pandanganku gelap; kemudian dia agak melonggarkan cengkramannya. "Dasar pengkhianat," katanya. "Kenji telah memperingatkan kalau kau akan kembali ke Otori. Aku senang kau melakukannya karena aku ingin kau mati sejak pertama kita bertemu. Kau harus bayar pembangkanganmu pada ketua dan karena melukai tanganku. Dan juga untuk Yuki." "Bunuh saja aku," kataku, "seperti keluargamu membunuh ayahku. Kalian tak akan lolos dari hantu kami. Kalian akan dikutuk dan digentayangi hingga ajal kalian. Kalian telah membunuh kerabatmu sendiri." Perahu terombang-ambing oleh gelombang air pasang. Jika Akio langsung menggunakan tangan atau belati, aku tak akan bisa menceritakan kisah ini. Tapi dia tak mampu menahan keinginannya untuk menghinaku yang terakhir kalinya. "Anakmu akan menjadi milikku. Akan aku didik dia menjadi Kikuta sejati." Dia menggoncang-goncangku dengan kejam. "Tunjukkan wajahmu," gertaknya. "Aku ingin melihat tampangmu saat aku mengatakan caraku mengajari anakmu untuk membencimu. Aku ingin melihatmu mati." Dia mencondongkan badannya lebih dekat, matanya mevncari-cari wajahku. Perahu meluncur diterangi cahaya bul;m, dan pada saat itulah aku membiarkan wajahku terlihat olehnya dan kutatap lurus ke matanya. Aku melihat apa yang ingin kutemukan: kedengkiannya padaku yang mengaburkan penilaiannya dan telah melemahkannya. Dia menyadari kesalahannya, dan berusaha memalingkan pandangan tapi itu sudah terlambat. Dia sudah pusing oleh pengaruh tidur Kikuta. Dia jatuh menyamping, kelopak matanya mengerjap tak beraturan saat melawan rasa kantuk. Perahu oleng dan bergoyang-goyang. Dia tercebur ke sungai. Perahu terus mengapung, kini lebih cepat terbawa arus pasang yang bergelombang hebat. Diterangi cahaya bulan, aku melihat tubuh Akio mengapung perlahan. Aku tak ingin kembali dan membunuhnya. Aku hanya berharap dia tenggelam atau membeku sampai mati, namun aku pasrahkan semua itu pada takdir. Kuambil dayung lalu mengayuh hingga ke tepian terjauh. Saat perahu menepi, aku menggigil kedinginan. Ayam mulai berkokok dan bulan tampak rendah di langit. Rerumputan di tepi sungai kaku oleh salju, dan bebatuan serta ranting bersinar putih. Seekor bangau terjaga dari tidur dan aku bertanya-tanya itukah bangau yang pernah datang mencari ikan di kolam, di rumah Shigeru. Hewan itu terbang menghindar dari cabang pohon willow dengan kepakan sayap yang telah akrab kudengar. Aku kehabisan tenaga, namun tak terlintas sedikit pun di benakku untuk tidur, aku harus terus bergerak untuk menghangatkan tubuh. Aku memaksakan diri untuk berjalan lebih cepat, mengikuti jalan pegunungan yang sempit ke tenggara. Bulan bersinar terang dan aku mengenali lintasan jalan ini. Saat fajar menyingsing, aku telah melewati puncak gunung pertama dan sedang berjalan turun ke perkampungan kecil. Hampir tak seorang pun ada di jalan, kecuali seorang nenek yang sedang meniup arang di tungku. Dia memanaskan sedikit sup dengan imbalan sekeping uang. Aku berbohong dengan mengatakan bahwa guruku yang sudah renta menyuruhku mencari seekor angsa liar di biara terpencil yang ada di pengunungan. Musim dingin mungkin telah membuat guruku itu mati kedinginan dan aku akan terperangkap di sana. Dengan terkekeh-kekeh dia berkata, "Kalau begitu, kau harus menjadi biksu!" "Tidak bisa. Aku sangat menyukai perempuan." Ucapanku membuatnya senang sehingga dia memberi aku acar plum sebagai tambahan sarapan. Ketika melihat sekantong uang kepingku, dia menawariku penginapan dan juga makanan. Makan memang membawa setan kantuk lebih dekat dan aku tak sabar ingin berbaring, namun aku cemas bila akan dikenali, dan menyesal telah berbicara banyak pada perempuan itu. Aku mungkin telah meninggalkan Akio di sungai, tetapi aku tahu bagaimana sungai akan membebaskan korbannya, baik hidup maupun mati, dan aku takut bila dia mengejarku. Aku tidak bangga berhasil lari dari Tribe apalagi setelah bersumpah untuk mematuhi mereka, dan dalam cahaya pagi yang dingin, aku menyadari seperti apa sisa hidupku kelak. Aku telah memutuskan untuk kembali ke Otori, namun aku tak akan bebas dari ancaman pembunuhan. Seluruh anggota Tribe akan berusaha menangkapku dan menghukumku atas ketidaksetiaanku. Untuk menyelinap di sela-sela jaringan mereka, aku harus bergerak lebih cepat ketimbang para penyampai pesan mereka. Dan aku harus sampai di Terayama sebelum turun salju. Langit berganti hitam kelam ketika aku mencapai Tsuwano di sore hari kedua. Benakku dipenuhi kenangan akan pertemuanku dengan Kaede di sana dan latihan pedang saat aku jatuh cinta padanya. Apakah namanya telah tercantum di nisan? Apakah kini aku harus menyalakan lilin untuknya di setiap Festival ofthe Dead sampai aku mati? Apakah kami akan bergabung di akhirat atau kami akan dikutuk untuk tak akan pernah bertemu lagi dalam hidup atau pun mati? Takut dan malu menyiksaku. Kaede pernah berkata, Aku hanya aman bersamamu, tapi aku telah mengabaikannya. Jika takdir berbaik hati dan dia datang ke dalam pelukanku lagi, tak akan kubiarkan dia pergi dariku. Dengan perasaan pedih, aku menyesali keputusanku ikut bersama Tribe dan memikirkan lagi alasan di balik keputusanku itu berulang kali. Aku memang telah membuat kesepakatan dan aku menyerahkan hidupku pada mereka-itu di satu sisi. Namun di luar itu, aku menyesali kesombonganku. Aku ingin menyelami dan mengembangkan karakter yang berasal dari ayahku, dari Kikuta, dari Tribe: warisan kegelapan yang memberiku kemampuan yang aku banggakan. Aku menanggapi rayuan mereka dengan penuh semangat dan tanpa keraguan, menanggapi pujian, pengertian dan kekejaman yang mereka gunakan untuk memanipulasi diriku. Aku bertanya-tanya seberapa besar peluangku lolos dari mereka. Pikiranku berputar-putar laksana lingkaran. Aku berjalan limbung. Aku hanya tidur sebentar di tengah hari, di tepi jalan, dan terbangun akibat hembusan angin dingin. Satu-satunya cara agar tetap hangat yaitu terus berjalan. Aku berkeliling mengitari kota dan, seiring turun melewati puncak, aku kembali menyusuri jalan di tepi sungai. Sungai yang meluap karena badai yang dulu menunda perjalanan kami di Tsuwano kini telah normal, dan tepi sungai telah diperbaiki, tapi jembatan kayu belum diperbaiki. Aku membayar seorang tukang perahu untuk membawaku menyeberang. Tak ada orang yang bepergian selarut ini; akulah penumpangnya yang terakhir. Dia mengawasiku dengan rasa ingin tahu, tapi dia tidak mengajakku bicara. Aku yakin dia bukan Tribe, tapi tetap saja dia membuatku gelisah. Ketika sampai di seberang, aku langsung berjalan cepat meninggalkannya. Saat aku berbalik di ujung jalan untuk melihatnya, dan dia masih tetap mengawasiku. Aku membuat gerakan kepala, namun dia tidak menyadarinya. Cuaca kini lebih dingin, udaranya lembab dan beku. Aku menyesal belum menemukan tempat bernaung untuk malam ini. Jika aku terperangkap dalam badai salju sebelum sampai di kota berikutnya, peluangku untuk bertahan akan sirna. Yamagata masih beberapa hari jauhnya. Memang ada pos penjagaan di perbatasan, namun, aku tak ingin bermalam di sana meskipun ada surat dari Ichiro dan penyamaranku sebagai pelayan-terlalu banyak orang yang akan curiga, terlalu banyak penjaga. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, jadi aku terus berjalan. Malam tiba. Bahkan dengan kemampuan memandang jauh yang kumiliki, tetap saja aku sulit melihat jalan. Dua kali aku jalan berputar-putar dan harus kembali ke rute yang sama. Sekali waktu aku terperosok di lubang atau parit, dengan air di dasarnya, sehingga kakiku basah hingga ke lutut. Angin berderu dan suara-suara aneh datang dari pepohonan sehingga mengingatkanku pada legenda monster dan goblin, dan membuatku merasa ada sesosok arwah berjalan di belakangku. Ketika langit mulai memucat di timur, tulangku mulai terasa kaku, dan badanku menggigil tak terkendali. Meskipun senang karena tak lama lagi fajar akan menyingsing, namun ini menyadarkan betapa kesepiannya diriku. Untuk pertama kalinya, suatu gagasan merayap perlahan di benakku: bila perbatasan dijaga anak buah Arai, aku akan menyerahkan diri. Mereka akan membawaku ke Arai, namun sebelumnya mereka akan memberiku minuman hangat. Mereka akan mempersilakan aku duduk di dekat perapian dan membuatkan teh untukku. Kini aku terobsesi oleh nikmatnya teh. Dapat kurasakan panas uapnya di wajahku, hangatnya mangkuk teh di tanganku. Aku begitu terobsesi sehingga aku tidak memperhatikan ada yang berjalan di belakangku. Tiba-tiba kusadari kehadiran seseorang di belakangku. Aku berbalik, kaget karena tak mendengar langkahnya, bahkan tak mendengar desah napasnya. Aku tercengang, bahkan ketakutan, membayangkan aku telah kehilangan pendengaranku. Pejalan kaki itu seakan jatuh dari langit atau berjalan tanpa menyentuh tanah, seperti hantu. Lalu aku tahu bahwa, entah karena letih yang mengganggu pikiranku atau aku memang sedang melihat hantu, orang yang berjalan tak jauh di belakangku adalah si gelandangan, Jo-An, yang kukira telah mati disiksa oleh anak buah Arai di Yamagata. Begitu hebatnya kekagetanku sehingga aku hampir pingsan. Darah berdesir cepat di kepalaku, membuatku terhuyung-huyung. Jo-An meraihku saat aku terjatuh, kedua tangannya tampak cukup nyata, kuat dan padat, berbau kulit hewan. Bumi dan langit berputar-putar di sekitarku dan titik-titik hitam menggelapkan pandanganku. Dia menurunkan aku di tanah dan mendorong kepalaku ke antara kedua lututku. Sesuatu menjerit di telingaku, menulikanku. Aku meringkuk dengan posisi kepala seperti itu, tangannya memegang kepalaku, sampai jeritan mereda dan kegelapan susut dari penglihatanku. Aku menatap ke tanah. Embun membeku di dedaunan dan butiran es inasuk di sela-sela bebatuan. Angin berhembus di pepohonan cedar. Selain itu, saru-satunya suara adalah gemeretuk gigiku. Jo-An berkata. Tidak diragukan lagi; itu suaranya. "Maaf, tuan. Aku membuatmu kaget. Aku tidak bermaksud menakutimu." "Mereka bilang kau sudah mati. Aku tidak tahu apakah kau ini manusia atau hantu." "Mungkin aku mati beberapa saat," dia berbisik. "Anak buah Arai pun mengira begitu sehingga mereka membuang tubuhku ke rawa-rawa. Namun Tuhan Rahasia memiliki rencana lain dan mengirimku kembali ke dunia ini. Pekerjaanku di sini belum selesai." Aku mengangkat kepala dengan hati-hati dan menatapnya. Ada bekas luka yang baru, belum lama sembuh, dari hidung ke telinga, dan beberapa giginya hilang. Aku pegang dan aku balikkan tangannya. Semua kukunya lenyap, jari-jarinya terluka dan hancur. "Maafkan aku," kataku, merasa mual. "Tak ada yang terjadi pada diri kita selain apa yang telah Tuhan rencanakan," balasnya. Aku berpikir mengapa rencana tuhan harus melibatkan siksaan, namun tidak kukatakan pada Jo-An. Malah aku bertanya, "Bagaimana kau menemukanku?" "Ada tukang perahu datang dan bercerita kalau dia telah menyeberangkan seseorang yang menurutnya adalah dirimu. Aku memang sedang menanti kabar tentangmu." Dia lalu mengangkat buntalannya dan membuka ikatannya. "Ramalan harus dituntaskan, bagaimanapun juga." "Ramalan apa?" aku teringat kalau isteri Kenji pernah menyebut Jo-An si sinting. Dia tidak menjawab. Dia mengambil dua kue mochi kecil dari kain, mendoakan kue itu, lalu memberiku satu. "Kau selalu memberiku makanan," kataku. "Kurasa aku tidak bisa makan." "Kalau begitu, minumlah," kata Jo-An sambil menyodorkan tabung bambu. Aku ragu menerima tawarannya namun kupikir minuman itu akan dapat menghangatkan. Begitu sake menghantam perutku, kegelapan pun menjadi kembali dan aku melontarkan sumpah serapah berkali-kali dengan kencang, aku disiksa oleh satu guncangan hebat. Jo-An mendecakkan lidah sama seperti yang orang lakukan pada seekor kuda atau kerbau. Dia memiliki sentuhan kesabaran orang yang terbiasa berurusan dengan hewan, meskipun tentu saja dia berurusan dengan hewanhewan yang sudah mati untuk kemudian dikuliti. Ketika bicara, aku berkata melalui gemeretuk gigiku, "Aku harus tetap berjalan." "Kemana?" dia bertanya. "Terayama. Aku akan menghabiskan musim dingin di sana." "Bailah," dia berkata, dan tenggelam dalam salah satu keheningan yang terasa akrab dari dirinya. Dia sedang berdoa, mendengarkan suara batin yang akan memberitaltukan apa yang harus dia lakukan. "Bagus," dia berkata akhirnya. "Kita akan pergi melintasi gunung. Bila melalui jalan darat, mereka akan menghentikanmu di perbatasan dan itu akan perlu waktu lama; keburu salju sebelum kau mencapai Terayama." "Melintasi pegunungan?" Aku menatap ke puncak-puncak bergerigi yang membentang ke tenggara. Jalan daratrat dari Tsuwano ke Yamagata memang harus mengitari kaki gunung, tapi Terayama berada di balik gunung. Di sekeliling barisan pegunungan terlihat awan menggantung rendah, dengan kilauan kabut pudar yang menandai datangnya salju. "Jalannya curam," kata Jo-An. "Kau harus istirahat dulu." Aku berpikir untuk berdiri. "Aku tidak punya waktu. Aku harus sampai di biara sebelum salju." Jo-An menatap ke langit dan menghirup udara. "Terlalu dingin untuk turun salju malam ini, tapi salju bisa turun esok. Kita akan minta Sang Rahasia menahannya." Dia bangkit, lalu membantuku berdiri. "Kau masih bisa berjalan? Jarak tempat tinggalku tidak jauh. Kau dapat beristirahat di sana. Nanti aku akan mengantarmu ke orang yang dapat menunjukkan jalan pintas." Aku merasa seakan-akan tubuhku kehilangan substansinya, rasanya seperti aku telah memisahkan diri dan, entah bagaimana, diriku lenyap bersama bayanganku. Aku bersyukur pada pelatihan Tribe yang telah mengajariku cara untuk menemukan kekuatan cadangan yang tidak disadari sebagian besar orang. Perlahan-lahan, saat aku memfokuskan napas, aku merasa sebagian energi dan daya tahanku kembali. Jo-An pasti akan mengatakan kalau pulihnya diriku berkat doanya. Sejenak dia memperhatikan diriku dengan matanya yang sayu, lalu tersenyum, dan mulai berjalan kembali ke jalan yang telah aku lewati. Aku bimbang, sebagian karena aku tidak senang memikirkan diriku menelusuri kembali jejakku, karena berjalan ke tempat yang pernah kulewati berarti jarak yang harus kutempuh akan semakin jauh, selain itu aku juga enggan berjalan bersama gelandangan. Akan berbeda berbicara dengannya di malam hari, hanya berdua, dibandingkan berjalan di dekatnya sehingga terlihat seperti temannya. Aku ingatkan diriku bahwa aku belum menjadi pemimpin Otori, dan bukan anggota Tribe, bahwa Jo-An sedang menawarkan bantuan dan tempat bernaung, namun tetap saja aku merasa risih saat mengikutinya. Setelah berjalan cukup jauh, kami keluar dari jalan raya dan masuk ke jalan lebih kecil tepi sungai, melewati beberapa desa yang kondisinya menyedihkan. Anak-anak berlari keluar meminta makanan, tapi mereka langsung membalikkan badan ketika mengenali gelandangan itu. Di desa kedua, dua pemuda cukup berani melempari kami batu. Salah seorang dari mereka hampir memukul punggungku-aku mendengarnya tepat waktu sehingga berhasil mengelak-dan ketika aku hendak menghampiri untuk menghukum pemuda itu, Jo-An menahanku. Jauh sebelum mencapai tempat Jo-An, aku mencium bau kulit hewan. Sungai melebar dan akhirnya mengalir ke muara utama. Di pertemuan sungai, berdiri deretan tiang kayu, kulit-kulit dibentangkan di atasnya. Di sini, di tempat terlindung yang lembab ini, kulit-kulit itu terhindar dari butiran salju, namun akan diturunkan dan disimpan hingga musim semi bila salju semakin tebal. Para laki-laki bekerja, mereka semua gelandangan tentu saja, sambil bertelanjang badan, semuanya sekurus Jo-An dan dengan wajah tertindas yang mirip anjing teraniaya. Kabut bergantungan di atas sungai, bercampur dengan asap dari pembakaran arang. Ada sebuah jembatan apung dari bambu yang dibangun melintasi sungai. Aku ingat Jo-An pernah memintaku datang ke jembatan para gelandangan jika aku perlu bantuan. Kini takdir membawaku ke sini-Jo-An akan mengatakan semua itu karena kekuasaan Tuhan Rahasia, pasti. Jauh dari sisi tiang kayu terdapat beberapa gubuk. Gubuk-gubuk itu tampak akan rata dengan tanah bila ada angin kencang. Saat aku mengikuti Jo-An ke gubuk terdekat, para laki-laki tetap meneruskan pekerjaan mereka, tapi tatapan mereka mengiringi langkahku. Semua orang menatapku dengan pandangan memohon, seakan aku dapat menolong mereka. Sambil menutupi rasa enggan, aku melangkah masuk tanpa melepas sepatu karena lantainya dari tanah. Api kecil menyala di perapian. Ruangan penuh dengan asap sehingga mataku pedih. Di dalam gubuk ada satu orang, dia meringkuk di sudut, di bawah tumpukan kulit. Aku mengira orang itu isteri Jo-An sampai kemudian dia maju sambil berlutut dan menyembah di depanku. Dialah tukang perahu yang membawaku menyeberangi sungai. "Dia berjalan semalaman untuk menyampaikan kalau dia telah melihatmu," kata Jo-An dengan nada kasihan. "Dia perlu beristirahat sebelum pulang." Aku menyadari pengorbanan yang harus orang itu hadapi, bukan hanya berjalan sendiri melewati kegelapan yang penuh goblin, tapi juga bahaya dari ancaman para perampok dan patroli, dan juga kehilangan penghasilan sehari-harinya. "Mengapa kau lakukan ini?" Tukang perahu itu menegakkan badan lalu menatapku singkat. Dia tidak berkata apa-apa, namun tatapannya persis seperti yang kulihat pada tatapan penyamak yang lain, tatapan yang penuh pengharapan dan juga lapar. Aku pernah menyaksikan pandangan seperti itu, berbulan-bulan lalu, di wajah penduduk desa saat kami dari Terayama ke Yamagata, tatapan memohon mereka kepada Shigeru. Mereka merasa kalau Shigeru dapat memberikan sesuatu-keadilan, kasih sayang-dan kini laki-laki di sini menatapku dengan harapan yang sama. Apa pun yang pernah Jo-An katakan tentang diriku kepada mereka telah berhasil mengubahku menjadi harapan mereka. Sesuatu dalam diriku merespon sikap mereka, persis seperti yang kulakukan pada para penduduk desa, pada para petani dengan lahan tersembunyi mereka. Selama ini mereka diperlakukan seperti anjing, ditindas dan dibiarkan kelaparan, tapi aku melihat mereka sebagai manusia, tak jauh berbeda seperti ksatria atau saudagar. Aku dibesarkan di antara orang-orang seperti mereka, dan diajari bahwa Tuhan Rahasia memandang mereka semua sejajar. Tidak peduli apa jadinya aku sekarang, tak peduli ajaran lain yang kuterima dari Otori atau Tribe, tidaklah mungkin aku melupakan ajaran ibuku. Jo-An berkata, "Kini dia adalah anak buahmu. Seperti aku, seperti kami semua. Tuan hanya perlu memberi perintah." Dia menyeringai, giginya yang hancur bersinar dikeremangan malam. Dia telah membuatkan teh lalu menyodorkan kepadaku mangkuk kayu kecil. Aku merasakan uap berhembus menyentuh wajahku. Teh ini terbuat dari ranting pohon, sama seperti yang biasa kami minum di Mino. "Mengapa aku harus memerintah kalian? Yang aku butuhkan adalah sepasukan bersenjata!" Aku meneguk minuman, dan kehangatan menyebar di tubuhku. "Benar, sepasukan bersenjata," balas Jo-An. "Banyak pertempuran menanti di depanmu. Begitulah isi ramalan." "Lalu, bagaimana kau bisa membantuku? Bukankah kau tidak boleh membunuh." "Para ksatria memang membunuh," kata Jo-An, "Tapi banyak hal penting lain yang tidak dapat mereka lakukan. Hal-hal yang mereka anggap remeh, seperti membangun jembatan, menjagal hewan, dan menguburkan orang mati. Kau akan menyadarinya kelak." Teh menenangkan perutku. Jo-An mengeluarkan dua kue mochi lagi, tapi aku tidak berselera makan jadi aku paksa si tukang perahu mengambil jatahku. Jo-An juga tidak makan, dia menyimpan kue itu lagi. Aku melihat tatapan, si tukang perahu mengikuti gerakan Jo-An memasukkan kue itu dan kuberi dia beberapa keping logam. Dia menolak, namun kupaksa dengan menaruh uang itu ke dalam tangannya. Jo-An menggumamkan salam restu kepergian kepada tukang perahu itu lalu menyingkirkan tumpukan kulit agar aku dapat menggunakan tempat orang tadi. Kehangatan teh tetap tinggal bersamaku. Kulit-kulit ini bau, namun bisa menghindari dingin dan meredam suara-suara di luar. Terlintas di benakku kemungkinan salah satu dari orang kelaparan ini akan mengkhianatiku demi semangkuk sop tapi aku tidak punya pilihan lain; aku harus mempercayai Jo-An. Aku biarkan kegelapan menghempas dan menyeretku ke alam tidur. Jo-An membangunkanku ketika hari telah sore. Dia memberiku teh yang tidak hangat lagi, dan meminta maaf karena tak ada lagi makanan yang bisa diberikan padaku. "Kita harus berangkat sekarang," dia berkata, "Bila kita ingin bertemu para pembakar arang sebelum gelap." "Pembakar arang?" Aku biasanya langsung berdiri, tapi hari ini aku merasa pusing akibat tidur. "Mereka masih di gunung. Mereka tahu jalan pintas menembus hutan yang bisa membawamu ke perbatasan. Tapi, mereka akan pergi di saat salju turun." Dia berhenti sesaat, lalu berkata, "Kita akan menemui seseorang di perjalanan nanti." "Siapa?" "Tidak akan lama." Dia tersenyum sekilas. Kami berjalan keluar, dan di tepi sungai aku berlutut untuk memercikkan air ke muka. Airnya sangat dingin; seperti yang Jo-An perkirakan, temperatur menurun dan udara lebih kering. Terlalu dingin dan terlalu kering untuk turun salju. Aku mengibas-ngibaskan air dari tanganku sementara dia bicara kepada para laki-laki. Mata mereka mengerjap ke arahku. Mereka berhenti bekerja lalu berlutut kemudian menunduk ketika aku berjalan melewati mereka. "Mereka tahu siapa aku?" tanyaku pada Jo-An dengan suara rendah. Sekali lagi, aku takut dikhianati orang-orang miskin ini. "Mereka tahu kau adalah Otori Takeo," jawabnya, "Malaikat Yamagata yang membawa keadilan dan kedamaian. Itulah isi ramalan." "Ramalan apa?" tanyaku lagi. Dia berkata, "Nanti kau akan mendengarnya sendiri." Hatiku penuh keraguan. Apa yang sedang kulakukan, mempercayakan hidupku pada si sinting ini? Aku merasa setiap waktu yang terbuang percuma akan menghalangiku mencapai Terayama sebelum salju turun atau Tribe berhasil menangkapku. Namun kini kusadari bahwa satu-satunya harapan adalah berjalan melintasi pegunungan. Mau tak mau aku harus mengikuti Jo-An. Kami menyeberangi sungai kecil yang tak jauh dari hulu dengan melewati tambak ikan. Kami bepergian dengan beberapa orang, sepasang nelayan, dan beberapa gadis yang membawa makanan untuk orang yang sedang membakar batang padi dan menyebarkan pupuk kandang di lahan kosong. Para gadis memilih berjalan di tepi sungai ketimbang melewati jalan kami. Seorang nelayan bahkan meludahi kami, dan seorang lagi menyumpahi Jo-An karena mencemari air. Aku tetap menunduk agar wajahku terlihat samar, tapi mereka tak memperhatikanku. Mereka bahkan tidak mau menatap kami secara langsung, seolah dengan melihat saja mereka akan kotor dan sial. Jo-An nampak tidak mempedulikan kekasaran mereka, dia seakan menarik dirinya ke dalam mantel gelap, tapi ketika kami telah melewati orang itu, dia berkata, "Mereka tak mengijinkan kami menggunakan jembatan kayu untuk membawa kulit ke seberang. Itulah sebabnya kami membangun jembatan sendiri. Ketika jembatan mereka runtull, mereka tetap menolak menggunakan jembatan kami." Dia menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik, "Andai saja mereka mengenal Sang Rahasia." Kami menyusuri sungai beberapa mil lagi kemudian berbelok ke timur laut, jalan mulai menanjak. Pohon maple dan pohon beech yang tak berdaun memberi celah bagi pinus dan cedar untuk menampakkan diri. Semakin dalam ke hutan, jalan semakin gelap dan curam sampaisampai kami harus mendaki karang dan batu-batu besar. Tidur membuatku segar dan memulihkan kekuatanku. Jo-An mendaki tak mengenal lelah, nyaris tidak terengah-engah. Sulit sekali menebak usianya. Kemiskinan dan penderitaan telah menggerogoti sehingga dia mirip orang tua, padahal usianya mungkin tidak lebih dari tiga puluh tahun. Ada yang tidak wajar pada dirinya, dia seperti baru kembali dari kematian. Akhirnya kami mencapai puncak dan berdiri di dataran tinggi kecil. Sebuah karang raksasa melintang akibat jatuh dari tebing di atas. Di bawah terlihat kilauan sungai, hampir sepanjang Tsuwano. Kabut melayang melintasi bukit. Awan rendah menutupi barisan pegunungan di sisi yang berlawanan. Pendakian telah menghangatkan kami, tapi di saat berhenti, napas kami mengeluarkan asap putih di udara yang kering ini. Beberapa buah arbei terakhir masih memancarkan warna merah di semak-semak yang tidak berdaun; selain itu tak ada lagi warna di segala tempat. Bahkan pepohonan hijau kini menghitam. Aku mendengar gemericik air, dan dua burung gagak saling bersahutan dari tebing yang terjal. Ketika gagak-gagak itu diam, aku mendengar napas seseorang. Aku mendengar suara, lambat dan beraturan, yang berasal dari dalam karang itu. Aku melambatkan napasku, menyentuh lengan Jo-An dan membuat satu tanda dengan kepalaku ke arah suara. Dia tersenyum dan berkata pelan. "Tenang saja. Dialah orang yang hendak kita temui." Burung gagak berteriak dengan suara yang tajam dan kurang menyenangkan. Kini aku mulai menggigil. Hawa dingin merayapi tubuhku, mengepungku. Ketakutan di malam sebelumnya kembali muncul. Aku ingin tetap bergerak. Aku tak ingin bertemu dengan siapa pun yang bersembunyi di balik karang itu, yang bernapas begitu lambat sehingga hampir tidak mirip napas manusia. "Ayolah," kata Jo-An, dan aku mengikuti dia memutari pinggiran karang sambil melihat waspada agar tidak jatuh. Di balik karang terdapat gua di badan gunung. Air menetes dari langit-langit gua. Tetesan itu membentuk lembing dan tiang serta mengikis membentuk satu parit di tanah yang mengarah ke kolam kecil yang dalam, di pinggirannya terdapat tangki persediaan air dan batu kapur putih. Airnya berwarna hitam. Langit-langit gua berbentuk landai, mengikuti bentuk gunung, dan di tempat yang lebih tinggi dan kering duduk satu sosok yang kukira patung seandainya aku tidak mendengar desah napasnya. Sosok itu putih keabu-abuan, mirip seonggok kapur. Sepertinya sosok itu sudah duduk di sana begitu lama hingga mulai mengeras. Sulit mengatakan apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Dia mirip pertapa, biksu atau biarawati yang telah melintasi jenis kelamin dan menjelma lebih dekat ke dunia berikutnya, dia hampir menyerupai roh. Rambutnya menjurai jatuh bagai selendang putih, muka dan tangannya kelahu ibarat kertas usang. Sosok itu sedang duduk dalam posisi meditasi di lantai gua tanpa menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Di depannya ada semacam batu altar yang dipenuhi bunga layu, kuntum lili musim gugur terakhir, dan beberapa sesembahan: dua jeruk yang kulitnya telah keriput, sepotong kecil kain dan beberapa uang logam bernilai rendah. Tempat ini seperti kuil yang diperuntukkan bagi dewa gunung, kecuali di batunya terukir simbol Hidden, seperti yang Lady Maruyama torehkan di tanganku sewaktu pertama kali bertemu dengannya di Chigawa. Jo-An melepas ikatan di bajunya lalu mengeluarkan sisa kue mochi. Dia berlutut, meletakkan kue itu dengan hati-hati di altar, lalu bersujud. Sosok itu membuka mata dan memandang ke arah kami, tapi tidak melihat. Kedua matanya putih seperti kabut karena buta. Muncul ekspresi di wajahnya sehingga membuatku berlutut dan menunduk di depannya-raut kelembutan dan kasih sayang yang teramat dalam, berbaur dengan kesempurnaan pengetahuan. Tidak diragukan lagi, aku dalam pengaruh orang suci. "Tomasu," dia berkata, dan kurasa suaranya lebih mirip suara perempuan. Sudah lama sekali orang menyebut nama pemberian ibuku sehingga bulu kudukku berdiri dan aku pun menggigil, bukan hanya karena kedinginan. "Duduk tegak," dia berkata. "Aku ingin menyampaikan scsuatu yang harus kau dengar. Kau adalah Tomasu dari Mino, tapi kau telah menjadi Otori dan Kikuta. Tiga darah bercampur dalam dirimu. Kau terlahir di Hidden, tapi hidupmu dibawa ke alam keterbukaan dan tidak lagi menjadi milikmu sendiri. Bumi akan menghantarkan apa yang menjadi keinginan Surga." Dia lalu diam. Waktu berlalu. Dingin merasuki tulang tulangku. Aku ingin tahu apakah dia hendak mengatakan hal lain. Awalnya aku tercengang karena dia mengetahui diriku; tapi kemudian aku menduga kalau Jo-An telah mengatakan pada orang itu. Jika perkataannya ini adalah ramalan, maka maksudnya sangat tidak jelas. Jika berlutut lebih lama lagi, aku pasti akan mati beku, tapi aku tertahan oleh kekuatan mata wanita buta itu. Aku mendengar napas kami bertiga dan suara-suara alam, burung-burung gagak masih menjerit dengan suara tajam, pepohonan cedar bergoyang-goyang dalam semilir angin timur, percikan dan tetesan air, dan erangan gunung saat udara semakin dingin dan karang menyusut. "Wilayah kekuasaanmu akan terbentang dari laut hingga laut," akhirnya dia berkata. "Tapi damai hanya dapat diwujudkan melalui pertumpahan darah. Lima peperangan akan membayar perdamaian, empat kali menang dan satu kali kalah. Banyak orang yang mati, tapi kau akan selamat, kecuali di tangan anak laki-lakimu sendiri." Perempuan itu lalu diam lama. Cahaya meredup seiring berlalunya waktu menuju malam dan udara pun terasa kian dingin. Aku menatap sekeliling gua. Di dekat tempat perempuan suci itu ada roda pendoa di atas balok kecil yang berukir daun teratai di pinggirannya. Aku bingung. Aku tahu banyak kuil gunung yang dilarang bagi perempuan, namun belum pernah aku melihat kuil yang berisi gabungan berbagai simbol, seakan Tuhan Rahasia, Sang Pencerah, dan roh gunung tinggal bersama-sama di sini. Dia berkata seakan mengetahui apa yang aku pikirkan; suaranya menunjukkan tawa sekaligus takjub. "Semua adalah tunggal. Simpan ucapanku di hatimu. Semuanya adalah tunggal." Dia menyentuh roda pendoa dan menggerakkannya. Ritme roda rasanya berpindah ke dalam urat nadiku lalu bercampur bersama darahku. Dengan lembut dia melantunkan kata-kata yang belum pernah aku dengar dan aku pahami. Kata-kata itu terus mengalir dan mengelilingi kami hingga akhirnya terdengar sayup-sayup terbawa angin. Ketika aku mendengarkan lagi, lantunan itu berubah seperti restu perpisahan dari kaum Hidden. Dia menyerahkan mangkuk dan menyuruh kami minum dari kolam sebelum pergi. Lapisan es tipis sudah terbentuk di permukaan kolam, dan dinginnya air terasa menggigit gigiku. Jo-An lalu dengan tergesa-gesa menuntunku pergi sambil menatap cemas ke utara. Sebelum kami kembali berjalan melintasi puncak, aku menoleh untuk yang terakhir kali ke perempuan suci itu. Dia duduk tak bergerak; dari jauh dia seperti bagian dari karang. Sungguh tak bisa dipercaya dia tinggal di tempat itu sendirian. "Bagaimana dia bisa bertahan?" tanyaku pada Jo-An. "Dia akan mati kedinginan." Jo-An mengerenyitkan alis. "Dia dilindungi Tuhan. Tidak peduli baginya jika dia mati." "Kalau begitu, dia sepertimu?" "Dia orang suci. Semula kupikir dia malaikat. Dia manusia yang berubah karena kekuatan Tuhan." Jo-An tak ingin bicara lebih banyak lagi. Dia seperti mengerti keadaanku yang mendesak. Kami menuruni jalan dengan langkah cepat, tapi ketika tiba di reruntuhan karang kecil, kami terpaksa merangkak. Di sisi lain, ada jalan setapak menuju hutan yang gelap. Di jalan setapak itu kami mulai mendaki lagi. Daun pinus yang menyerupai jarum menutupi jalan dan ini menyulitkan langkah kami. Di bawah pepohonan, malam seperti hampir tiba. Jo-An berjalan lebih cepat. Berjalan membuat badanku hangat, namun telapak dan tungkai kakiku lambat-laun membatu, seakan itu akibat air kapur yang tadi kuminum. Jantungku juga membeku karena kata-kata yang mencengangkan dari sang pertapa dan semua kata-kata itu menunjukkan gambaran masa depanku. Aku belum pernah berperang; apakah aku akan benar-benar terlibat dalam lima peperangan itu? Jika pertumpahan darah menjadi harga dari satu perdamaian, maka lima peperangan akan menjadi mahal. Dan gagasan bahwa anakku, yang bahkan belum lahir, akan membunuhku, menimbulkan rasa sedih yang tak tertahankan. Aku menyusul Jo-An dan menyentuh lengannya. "Apa makna perkataannya?" "Sama seperti yang dia katakan," balasnya sambil memperlambat langkahnya untuk menghela napas. "Apakah dia juga pernah mengatakan kata-kata yang sama padamu?" "Ya." "Kapan?" "Setelah aku mati, lalu hidup lagi. Aku ingin hidup seperti dia, seorang pertapa di gunung. Aku ingin menjadi pelayannya, pengikutnya. Namun dia mengatakan kalau tugasku di dunia belum selesai, dan dia mengungkapkan beberapa kata tentang dirimu." "Kau mengatakan padanya siapa diriku, masa laluku dan semuanya?" "Tidak," Jo-An berkata dengan sabar, "Tidak perlu mengatakan sesuatu yang sudah dia tahu. Dia menyuruh aku melayanimu, karena engkau yang akan membawa perdamaian." "Perdamaian?" ulangku. Inikah yang dimaksud sebagai keinginan Surga? Aku bahkan tak yakin makna kata-kata itu. Gagasan perdamaian rasanya seperti salah satu khayalan kaum Hidden, seperti cerita kerajaan yang selalu ibuku bisikkan di malam hari. Apakah mungkin menghentikan peperangan antar-klan? Seluruh klas ksatria bertarung; demi itulah mereka dibesarkan, dilatih, dan hidup. Terlepas dari tradisi dan keliormatan diri mereka, ada satu kebutuhan untuk membentuk pasukan bersenjata demi memperluas wilayah dan menjalin persekutuan, seperti yang Iida Sadamu lakukan, dan kini, tidak jauh berbeda, Arai Daiichi. "Perdamaian melalui peperangan?" "Adakah cara lain?" balas Jo-An. "Nantinya akan ada beberapa peperangan." Empat kali menang, sekali kalah. "Itulah alasannya kami mulai bersiap-siap. Kau sudah melihat orang-orang di tempat penyamakan tadi, kau sudah melihat tatapan mereka. Sejak tindakanmu yang welas asih di Kastil Yamagata, sewaktu kau mengakhiri penderitaan orang Hidden yang disiksa, kau telah menjadi pahlawan bagi orang-orang ini. Belum lagi pengabdianmu pada Lord Shigeru di Inuyama... bahkan tanpa adanya ramalan, mereka rela mati demimu. Kini mereka tahu kalau Tuhan ada di pihakmu." "Perempuan itu duduk di dalam kuil gunung dan menggunakan roda pendoa," kataku. "Tapi, dia memberkati kita menurut kebiasaan orang-orangmu." "Orang-orang kita," dia membetulkan. Aku menggelengkan kepala, "Aku tak lagi mengikuti ajaran itu. Aku sudah sering membunuh. Apa kau yakin dia menyampaikan kata-kata tuhanmu?" Bagi kaum Hidden, Tuhan Rahasia adalah satu-satunya kebenaran, dan roh yang disembah orang lain hanyalah delusi. "Aku tidak tahu mengapa Tuhan menyuruhku menuruti perkataan perempuan itu," dia mengakui. "Tapi dia telah mengatakannya, dan itulah yang akan kulakukan." Dia gila, pikirku, siksaan dan ketakutan telah membuat dia gila. "Perempuan itu berkata, "Semua adalah tunggal. Kau tidak percaya itu, kan?" tanyaku. Jo-An berbisik, "Aku mempercayai semua ajaran Sang Rahasia. Aku menuruti ajarannya sejak kecil. Aku tahu itu benar. Tapi bagiku ada suatu tempat di luar semua ajaran itu, suatu tempat di balik kata-kata, suatu tempat di mana kebenaran berada. Tempat di mana semua kepercayaan keluar dari satu sumber. Saudaraku seorang rahib; dan dia pasti akan mengatakan ucapanku ini dosa. Aku belum sampai ke titik itu, tapi di situlah si pertapa bermukim." Aku diam, memikirkan hubungan kata-katanya dengan diriku. Dapat kurasakan ada tiga unsur yang membentuk sifatku, yang bergulung-gulung dalam diriku-seperti tiga ekor ular yang terpisah, masing-masing ular akan saling membunuh jika diberi kesempatan menyerang. Aku tak mengambil salah satu tanpa mengabaikan dua pertiga hidupku yang lain. Satu-satunya cara yaitu terus maju, menguasai pecahan-pecahan ini, dan mencari cara untuk menyatukannya. "Dan kau juga," Jo-An menambahkan, sambil membaca pikiranku. "Itulah yang ingin kuyakini," kataku akhirnya. "Tapi kenyataannya dia berada di tempat spiritualitas yang terdalam, sedangkan aku mungkin lebih praktis. Bagiku semuanya tampak masuk akal." "Itu sebabnya kau yang akan membawa kedamaian." Aku tak ingin mempercayai ramalannya. Rasanya terlalu berlebihan sekaligus terlalu sedikit dibandingkan apa yang kuinginkan dalam hidupku. Hanya saja, kata-kata perempuan itu merasuk di jiwaku dan aku tak bisa menghilangkannya. "Bagaimana dengan orang yang ada di tempat penyainakan, mereka tidak ikut berperang, kan?" "Beberapa orang akan ikut berperang." "Mereka tahu caranya?" "Mereka bisa dilatih. Ada banyak lagi yang dapat mereka lakukan, mendirikan bangunan, mengangkut, dan membimbingmu ke jalan-jalan rahasia." "Seperti jalan ini?" "Benar, para pembakar arang yang membuat jalan ini. Mereka menyembunyikan jalan masuknya dengan tumpukan batu. Mereka punya jalan rahasia untuk melintasi seluruh daerah pegunungan." Petani, gelandangan, pembakar arang-tak seorang pun dari mereka boleh membawa senjata atau bergabung dalam perang antar-klan. Aku ingin tahu berapa banyak petani atau orang seperti Jo-An yang pernah kubunuh di Matsue. Betapa sia-sianya tidak memanfaatkan keberanian dan kecerdasan orang-orang seperti mereka itu. Jika harus melatih dan mempersenjatai mereka, aku pasti mempunyai pasukan yang kubutuhkan. Tapi, maukah para ksatria berperang bersama mereka? Atau mungkin mereka justru akan menganggap aku sebagai gelandangan juga? Aku sedang sibuk berpikir ketika aku melihat kepulan asap dan, tak lama kemudian, aku mendengar suara-suara di kejauhan, bunyi ketukan kampak, gemericik api. Jo-An memperhatikan saat aku memusatkan pendengaran. "Kau mendengarnya?" Aku mengangguk, mendengarkan, dan menghitung jumlah mereka. Dari suaranya aku menduga ada empat orang, mungkin ada satu orang lagi yang tidak bicara, orang yang berjalan dengan langkah berbeda. "Kau tahu aku setengah Kikuta, Tribe. Aku memiliki banyak keahlian mereka." Jo-An tersentak tanpa mampu menahannya. Orang Hidden menganggap kemampuan seperti itu adalah sihir. "Aku tahu itu," balas Jo-An. "Aku memerlukan semua keahlian itu jika aku harus melakukan apa yang kalian harapkan." "Tribe adalah anak setan," gerutunya, sambil langsung menambahkan, "Tapi kau berbeda, tuan." Ucapannya membuatku sadar akan resiko yang sedang dia ambil demi diriku, tidak hanya dari kekuatan manusia, tapi juga dari kekuatan supranatural. Darah Tribe dalam diriku pasti membuat dia menganggap diriku sama berbahayanya seperti goblin atau roh sungai. Aku kembali takjub pada keyakinannya dan betapa dia menyerahkan diri padaku secara utuh. Aroma asap semakin kuat. Sisa-sisa benda terbakar yang terbang menghinggapi pakaian dan kulit kami. Tanah berganti rupa menjadi abu-abu. Jalan setapak ini mengarah ke lahan terbuka antara pepohonan di mana ada beberapa oven pemanggang arang yang diletakkan di atas rerumputan basah. Hanya satu yang masih terbakar, serpihan kemerahan bersinar dari celah-celahnya. Tiga orang sedang membongkar oven-oven yang sudah dingin dan mengumpulkan arangnya. Seorang lagi berlutut di dekat tungku masak di mana ketel beruap tergantung di tiang berkaki-tiga. Jumlah mereka empat orang, tapi aku tetap merasa ada lima orang di sana. Aku mendengar langkah berat di belakangku, dan satu tarikan napas orang itu yang tanpa disengaja mendului sebuah serangan. Kudorong Jo-An ke samping lalu aku melompat memutar untuk menghadapi orang yang hendak menyergap kami. Si penyerang adalah laki-laki paling besar yang pernah aku lihat, kedua lengannya merentang untuk menangkap kami. Satu tangannya sangat besar, satunya lagi buntung. Melihat dia buntung, aku ragu untuk melukainya. Sambil meninggalkan bayangan di jalan setapak, aku menyelinap ke belakangnya, dan memanggilnya agar dia membalikkan badan, lalu aku genggam belati agar dia dapat melihat mata belati itu dengan jelas, sambil mengancam hendak menggorok lehernya. Jo-An berteriak, "Ini aku, bodoh! Ini Jo-An!" Laki-laki yang terdekat berteriak dan para pembakar arang pun berdatangan. "Jangan sakiti dia, tuan," mereka meneriakiku. "Dia tak berniat jahat. Kau hanya membuat dia kaget, itu saja." Raksasa itu pun menurunkan tangan, kemudian berdiri dengan satu tangan terulur menunjukkan sikap menyerah. "Dia bisu," Jo-An memberitahukan. "Meskipun begitu, hanya dengan satu tangan dia sudah sekuat dua ekor kerbau, dan dia juga pekerja keras." Para pembakar arang jelas khawatir aku akan menghukum aset terbaik mereka. Mereka menyembah hingga menyentuh kakiku, memohon ampun. Aku minta mereka bangun untuk menenangkan si raksasa. Mereka semua bangkit, mengucapkan kata-kata sambutan, menepuk-nepuk bahu Jo-An, membungkuk sekali lagi, dan memaksaku duduk di dekat perapian. Salah seorang menuangkan teh dari ketel; belum pernah aku minum teh seperti ini, tapi cukup menghangatkan badaii. Jo-An mengajak mereka semua ke sudut lalu bicara berbisik yang dapat kudengar setiap katanya. Jo-An memberitahukan siapa diriku, yang membuat mereka mendesah dan lebih banyak anggukan, dan bahwa aku harus mencapai Terayama secepat mungkin. Kelompok itu berdebat mengenai rute paling aman dan apakah kami harus berangkat sekarang atau menunggu pagi. Kemudian mereka kembali ke perapian, duduk melingkar dan memandangku dengan mata yang bersinar-sinar di wajah hitam mereka. Hampir sekujur tubuh mereka ditutupi jelaga dan abu, hampir tidak memakai pakaian, namun mereka seperti tidak merasa kedinginan. Mereka berbicara sebagai satu kelompok, dan kelihatannya berpikir dan merasa sebagai satu kesatuan. Aku membayangkan mereka di sini, di hutan ini, mengikuti aturan mereka sendiri, hidup layaknya orang liar, nyaris seperti hewan. "Mereka belum pernah berbicara dengan bangsawan," Jo-An memberitahukan. "Ada yang ingin tahu apakah kau pahlawan Yoshitsune* yang kembali dari tanah daratan. Aku katakan, meskipun kau berkelana di pegunungan seperti Yoshitsune dan dikejar-kejar semua orang, kau akan menjadi pahlawan yang lebih hebat karena dia gagal, sedangkan Tuhan menjanjikan keberhasilan bagimu." "Tuan akan mengijinkan kami menebang pohon di tempat yang kami mau?" tanya seorang laki-laki tua. Mereka tidak berkata kepadaku secara langsung, mereka hanya menyampaikan pada Jo-An. "Banyak hutan yang tak boleh kami datangi. Jika kami menebang pohon di sana... " Dia membuat gerakan memotong lehernya sendiri. "Satu kepala untuk satu pohon, satu tangan untuk satu dahan," ucap lainnya. Dia menggenggam dan mengangkat tangan si raksasa yang dimutilasi. Ujung lengan yang hampir sembuh meninggalkan bekas luka berkerut dan berwarna hitam kelabu, sedangkan bekas-bekas luka abu-abu melintang ke arah belakang atas lengan yang dibakar. "Orang Tohan melakukan ini padanya beberapa tahun lalu. Dia sebenarnya tak mengerti, tapi mereka tetap saja mengambil tangannya." Si raksasa lalu mengulurkan tangan dan mengangguk beberapa kali, wajahnya bingung dan sedih. Klan Otori juga melarang penebangan pohon tanpa terkecuali: aturan itu untuk melindungi hutan, tapi kurasa mereka tak akan memberi hukuman sekejam orang Tohan. Aku bertanya-tanya apa maksud dari melumpuhkan anggota tubuh; apakah hidup manusia tidak lebih berharga dari sebatang pohon? "Lord Otori akan memiliki hak atas seluruh wilayah ini," ujar Jo-An. "Dia akan memerintah dari bentangan laut ke laut. Dialah yang akan membawa perdamaian." Mereka menunduk lagi, bersumpah akan melayaniku, dan aku berjanji akan berusaha membantu mereka, bila saatnya tiba. Kemudian mereka memberi kami makanandaging: beberapa ekor burung kecil dan seekor kelinci kecil. Aku jarang makan daging sehingga sulit mengingat kapan terakhir kali aku menyantapnya, selain ayam rebus di tempat pesumo. Daging ini mereka peroleh seminggu lalu, dan disimpan untuk dimakan pada malam terakhir di gunung. Mereka menyembunyikan daging ini dengan cara dipendam ke dalam tanah agar tidak terlihat pasukan klan yang mungkin datang menyelidiki. Daging ini berasa tanah dan darah. Sementara kami makan, mereka membahas rencana esok hari. Mereka memutuskan bahwa satu orang akan menunjukkan padaku jalan ke perbatasan. Kami akan berangkat saat fajar menyingsing, dan jalan itu dapat ditempuh hanya sehari jika salju belum turun. Angin berganti arah ke utara, dan menahan ancaman cuaca buruk. Mereka berencana membongkar oven terakhir esok pagi dan akan turun gunung di hari berikutnya. Jo-An dapat membantu mereka jika dia tinggal semalam lagi, menggantikan orang yang akan menjadi pemanduku. "Mereka tidak keberatan bekerja denganmu?" tanyaku pada Jo-An kemudian. Aku bingung dengan para pembakar arang ini. Mereka makan daging, artinya mereka tidak mengikuti ajaran Sang Pencerah, mereka tidak mendoakan makanan dengan cara Hidden, dan mereka menerima gelandangan untuk makan dan bekerja bersama, tidak seperti penduduk desa lainnya. "Mereka juga gelandangan," jawab Jo-An. "Mereka membakar mayat dan juga kayu. Tapi mereka bukan orang Hidden. Mereka menyembah roh hutan, khususnya dewa api. Mereka percaya roh itu akan turun gunung bersama mereka esok dan tinggal bersama mereka selama musim dingin untuk menjaga agar rumah mereka tetap hangat. Di musim semi mereka akan menemani roh api kembali ke gunung." Suara Jo-An menunjukkan nada kurang senang. "lAku berusaha mengajak mereka mengikuti ajaran Tuhan Rahasia," katanya. "Tapi mereka mengatakan tidak bisa meniriggalkan tuhan leluhur mereka karena siapa yang akan menyalakan api di oven-oven itu?" "Mungkin semuanya adalah tunggal," kataku, agak menggoda karena daging dan kehangatan yang disediakan dewa api telah meningkatkan semangatku. Dia tersenyum tipis, tapi tidak pernah membicarakan itu bebih lanjut. Dia tiba-tiba saja nampak lelah. Sinar mentari hampir menghilang dan para pembakar arang mengajak kami masuk ke tenda mereka. Tendanya dibangun asal-asalan dari dahan dan ditutupi kulit yang kuduga itu merupakan hasil penukaran arang dengan para penyamak. Kami merangkak masuk, semuanya berhimpitan melawan dingin. Kepalaku yang paling dekat dengan oven terasa cukup hangat, namun punggungku membeku. Dan ketika membalikkan badan, aku merasa kelopak mataku akan tertutup membeku. .Aku tidak tidur, aku hanya berbaring sambil mendengarkan napas orang-orang di sekitarku, dan memikirkan masa depanku. Aku pernah berpikir kalau aku telah me-nerrupatkan diriku di bawah hukuman mati Tribe, di siang hari aku hampir tak berharap hidup hingga malam, tapi sang peramal telah mengembalikan hidupku. Kemampuainku terlambat berkembang: anak-anak lain yang berlatih bersamaku di Matsue sudah menunjukkan bakat mereka diusia delapan atau sembilan tahun. Berapa usia analkku saat menguasai kemampuan itu? Berapa lama waktu berlalu sebelum dia mampu melawanku? Mungkin saat dia berusia enam belas tahun; hampir mendekati seluruh waktu hidupku saat ini. Hitung-hitungan kasar ini menimbulkan harapan pedih padaku. Terkadang aku mempercayai ramalan dan terkadang tidak, dan itulah yang terjadi seumur hidupku. Besok aku akan sampai di Terayama. Aku akan memiliki catatan Shigeru tentang Tribe, dan aku akan menggenggam Jato lagi. Di musim semi aku akan melakukan pendekatan pada Arai. Dengan informasi rahasia tentang Tribe, aku akan meminta bantuannya untuk melawan kedua paman Shigeru. Sudah jelas kalau pertempuran pertamaku adalah melawan mereka. Membalas dendam atas kematian Shigeru dan mengambil warisanku akan menjadi alasan untuk memerangi mereka. Jo-An tidur gelisah, bolak-balik dan mengerang. Dia mungkin kesakitan, meskipun tidak dia tunjukkan pada saat terjaga. Menjelang subuh, dingin agak berkurang dan aku tertidur lelap sebentar, dan terbangun oleh bunyi desis lembut, bunyi yang aku takutkan. Aku merangkak keluar tenda. Dalam cahaya api, dapat kulihat butiran salju berjatuhan, dapat kudengar desis halus saat butiran itu mencair di bara api. Aku membangunkan Jo-An dan para pembakar arang. "Salju turun!" Mereka melompat bangun, menyalakan obor, dan berkemas-kemas. Mereka tak ingin terjebak di gunung seperti juga aku. Arang dari oven terakhir telah dibungkus dengan kulit lembab yang ada di dekat tenda. Mereka berdoa singkat di depan perapian, lalu meletakkan bara itu dalam pot besi untuk di bawa menuruni gunung. Salju masih halus dan berbutir, umumnya tidak mengendap, tapi langsung mencair saat menyentuh tanah. Seiring fajar tiba, langit berwarna kelabu dan mengkhawatirkan, awan penuh dengan salju yang tak lama lagi akan berjatuhan. Angin semakin kencang, dan bila disertai salju lebat, maka akan terjadi badai salju. Tak ada waktu untuk makan, bahkan untuk minum teh. Setelah arang siap, orang-orang itu tak sabar untuk segera pergi. Jo-An berlutut di depanku namun kuangkat dan kupeluk dia. Badannya sekurus dan seringkih kakek-kakek. "Kita akan berjumpa lagi di musim semi," kataku. "Akan kukirim kabar ke jembatan gelandangan." Dia mengangguk, namun seakan tidak sanggup membiarkan aku lepas dari pandangannya. Seseorang memanggul buntalan kain, sedangkan yang lainnya telah berbaris menuruni lereng gunung. Jo-An melakukan gerakan risih, campuran antara salam perpisahan dan pemberkatan. Kemudian dia berbalik dan, sambil agak terhuyung-huyung membawa beban berat, dia pun berjalan pergi. Aku mengawasinya sesaat, dan tanpa sadar aku mengucapkan, dari dalam hati, kata-kata perpisahan kaum Hidden. "Ayo, tuan," si pemandu memanggilku dengan cemas, dan aku berbalik lalu mengikutinya mendaki tebing. Kami mendaki cukup lama. Si Pemandu jalan hanya berhenti sejenak untuk mematahkan ranting sebagai petunjuk jalan pulang. Salju tetap tak berubah, ringan dan kering, namun semakin tinggi mendaki, salju semakin mengendap sampai ke tanah dan pepohonan, semuanya, dihiasi butiran putih tipis. Pendakian yang cepat menghangatkan tubuhku, tapi perutku bernyanyi lapar. Daging yang kumakan semalam memberi rasa kenyang yang palsu di perutku. Sungguh tak mungkin bisa menduga waktu saat ini. Warna kelabu kecoklat-coklatan terlihat merata menghiasi langit, dan tanah mulai mengeluarkan cahaya aneh yang menyesatkan karena pemandangan yang bersalju. Ketika si pemandu berhenti, kami baru setengah jalan mencapai puncak utama barisan pegunungan. Jalan yang kami telusuri kini berkelok-kelok menurun. Lembah di bawah sana bisa terlihat melalui kabut dari butiran salju yang berjatuhan, pohon beech dan cedar mulai memutih. "Aku tidak bisa lebih jauh lagi mendampingimu," dia berkata. "Saranku, kau kembali bersamaku sekarang. Badai salju akan datang. Paling cepat butuh sehari untuk sampai ke biara, bahkan di saat cuaca cerah. Bila meneruskan perjalanan, kau akan mati dalam salju." "Aku tidak mau kembali ke sana lagi," jawabku. "Antar aku sedikit lagi. Aku akan membayarmu." Namun aku tak berhasil membujuknya, dan aku pun tidak benar-benar menginginkannya. Dia nampak gelisah dan kesepian tanpa rekan-rekannya. Kuberi dia separuh uangku yang tersisa dan sebagai balasannya dia memberiku tulang kaki kelinci, dengan sedikit daging yang masih melekat. Dia menggambarkan jalan yang harus kutempuh, dan berusaha memberi beberapa penunjuk jalan. Ada sungai mengalir melalui bukit itu, katanya. Sungai yang menandai wilayah perbatasan. Di situ tidak ada jembatan tapi di satu titik, sungai akan cukup sempit untuk dilompati. Di sungai itu ada roh air dan arusnya pun deras, jadi aku harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalamnya. Juga, karena sungai itu mudah diseberangi hingga sering diawasi, tapi si pemandu mengatakan kecil kemungkinan tempat itu dijaga pada cuaca seperti ini. Setelah melewati perbatasan, aku harus terus ke timur, turun menuju satu kuil kecil. Di sini jalan bercabang. Aku harus mengambil jalan yang ke kanan, jalan yang lebih rendah. Aku harus tetap ke timur, jika tidak ingin mendaki barisan gunung. Karena angin bertiup dari timur laut sehingga aku harus bertahan dari angin yang menerpa bahu kiriku. Dia menyentuh bahuku dua kali untuk menekankan keterangannya, seraya menatap tajam wajahku dari matanya yang sipit. "Kau tidak mirip bangsawan," katanya, raut wajahnya menyungging senyuman. "Tapi, bagaimanapun juga, semoga kau beruntung." Setelah mengucapkan terima kasih, aku lalu menuruni lereng. Sewaktu berjalan, lereng ini serasa menggerogoti tulangku, meretakkan tulang gigiku dan menghisap habis sumsumku. Kini salju sedikit lebih basah dan lebih padat, dan mencair lebih lambat di kepala dan pakaianku. Orang itu benar, aku memang tidak mirip bangsawan. Rambutku, yang tidak dipotong sejak Yuki memangkasnya dengan gaya seniman, menggantung kusut di sekitar telingaku dan aku juga belum bercukur selama berhari-hari. Pakaianku basah kuyup dan kotor. Aroma badanku juga tidak tercium seperti seorang bangsawan. Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali aku mandi-dan tiba-tiba teringat perkumpulan pesumo, saat malam pertama kami meninggalkan Matsue: rumah mandi yang luas, percakapan yang kudengar antara Akio dan Hajime. Aku ingin tahu di mana Yuki sekarang, apakah dia telah mendengar tentang pelarianku. Aku tidak sanggup memikirkan anakku. Bayangan bahwa anakku akan dijauhkan dan diajari untuk membenciku terasa begitu menyakitkan. Aku teringat ejekan Akio; tampaknya Kikuta lebih mengetahui tentang sifatku daripada diriku sendiri. Gemuruh sungai makin kencang terdengar, agaknya itulah satu-satunya bunyi di alam yang ditutupi salju ini. Bahkan burung gagak pun membisu. Salju telah menyelimuti bebatuan di tepi sungai. Sungai itu berasal dari air terjun yang mencurahi karang sebelum masuk ke saluran sempit antara dua karang datar yang menyembul di permukaan bumi. Pepohonan pinus tua yang berpilin-pilin melekat ke sisi tebing, dan seluruh pemandangan yang memutih oleh salju nampak seolah menunggu Sesshu datang untuk melukisnya. Aku menunduk di bawah batu besar di mana ada pohon pinus kecil bergantung ringkih di tanah yang tipis. Kelihatannya lebih mirip semak ketimbang pohon dan pinus ini memberiku sedikit perlindungan. Salju menutupi jalan namun cukup jelas terlihat arah jalan dan tempat untuk melompat ke seberang sungai. Sesaat menatap ke seberang, aku mendengarkan dengan saksama. Pola air di permukaan karang tidak stabil. Terkadang tenang hingga menimbulkan keheningan yang tidak biasa, seolah bukan hanya aku yang sedang mendengarkan. Tak sulit membayangkan ada roh yang berdiam di bawah air, yang berhenti dan mengalir lagi, yang mengejek dan membujuk manusia, yang memikat orang untuk masuk ke sungai. Aku seakan dapat mendengar roh-roh itu bernapas. Kemudian, setelah aku berhasil menepis suara itu, riak dan ocehan sungai mulai terdengar lagi. Aku sadar kalau telah membuang waktu dengan berlindung di semak yang mulai diselimuti salju sambil mendengarkan roh, tapi lambat-laun aku yakin ada orang lain karena mendengar tarikan napas seseorang, tidak jauh dariku. Tidak jauh dari tempatku, ada celah sempit dengan kedalaman sepuluh kaki atau lebih. Aku merasa ada gerakan tiba-tiba dan menyadari seekor bangau putih sedang mencari ikan seperti lupa pada salju. Itu seakan memberi pertanda-simbol Otori di perbatasan Otori-mungkin pesan dari Shigeru kalau aku akhirnya membuat pilihan yang benar. Bangau yang berdiri di sisi sungai yang sama denganlui seperti mencari jalan menyusuri sungai menuju ke arahku. Aku ingin tahu apakah hewan itu mendapatkan mangsa di cuaca yang bersalju ini, pada saat katak bersembunyi di tanah. Bangau itu tampak tenang dan tidak takut, yakiii kalau tak satu pun yang mengancamnya di tempat sunyi ini. Saat aku mengawasinya, sambil merasakan aman yang sama, dan berpikir untuk berjalan ke sungai dan melompat untuk menyeberang, sesuatu mengagetkan bangau itu. Bangau itu kemudian mengulurkan leher untuk menatap ke seberang sungai lalu bersiap-siap terbang. Kepakan sayapnya terdengar begitu kencang lalu terbang dengan hening mengikuti aliran air. Apa yang membuat bangau itu kaget? Aku amati daerah yang sama seperti dilihat bangau itu. Sungai hening sejenak, dan aku mendengar desah napas. Aku menajamkan penciuman, dan di balik hembusan angin dari timur laut, aku mencium bau manusia, samar-samar. Meskipun tidak melihat seorang pun, tapi aku yakin ada yang sedang tiarap dan tidak terlihat karena ditutupi salju. Jika aku langsung melompat ke seberang, dia pasti dapat dengan mudah melumpuhkanku. Jika dia dapat bertahan tanpa terlihat dalam waktu yang cukup lama, berarti dia orang Tribe. Satu-satunya harapanku adalah membuat orang itu kaget dengan melompat lebih jauh ke hulu, di mana lintasan sungai lebih luas. Tak ada gunanya menunggu lebih lama. Aku bernapas dalam-dalam lalu berlari menuruni lereng. Aku mempertahankan langkah sejauh kubisa, berusaha tidak menyentuh salju. Saat aku lolos dari jalan bersalju dan menuju sungai, seseorang bangkit keluar dari salju dari arah sampingku. Pakaian putih menutupi sekujur tubuhnya. Aku lega karena sosoknya kasat mata, dia hanya menyaru saja-mungkin dia bukan Tribe, mungkin dia penjaga perbatasan. Aku lalu melompati jurang gelap yang ada di bawahku. Sungai seperti mengerang lalu terdiam, dan dalam keheningan aku mendengar sesuatu di belakangku, seperti siulan. Saat mendarat, aku berguling ke tanah, berjuang di atas karang es, hampir kehilangan pegangan. Sesuatu yang melayang bersiul lagi di atas kepalaku. Jika aku berdiri, benda itu pasti berhasil mengenai tengkukku. Di depanku, di tanah bersalju, terbentang lubang berbentuk bintang. Hanya Tribe yang menggunakan pisau lempar seperti itu, dan mereka melemparnya beberapa buah, satu demi satu. Aku berguling menghindar, masih tetap menunduk, dan langsung bergerak menghilang. Aku yakin dapat tetap menghilang hingga di hutan, tapi aku lupa kalau jejakku akan terlihat di salju. Untungnya dia juga tergelincir saat melompati sungai. Dia kelihatannya lebih besar dan lebih berat ketimbang diriku dan mungkin bisa berlari lebih cepat, tapi aku berhasil mendahuluinya. Dalam lindungan pepohonan, aku mengirim sosok keduaku ke samping atas lereng, sementara sosokku yang ash berlari menuruni jalan, namun aku sadar kalau aku talc dapat terus berlari. Satu-satunya harapanku yaitu menyergapnya. Di depan ada jalan menikung mengelilingi batu karang besar; cabang pohon tergantung di atasnya. Aku berlari mengitari persimpangan, lalu mundur menapaki kembali jejak kakiku, dan melompat ke cabang. Aku lalu mengeluarkan belati, berharap ada Jato bersamaku. Senjata lain yang kubawa untuk membunuh Ichiro adalali garotte. Tapi Tribe sulit dibunuh dengan senjata mereka sendiri, sama seperti mereka sulit diperdayai dengan trik mereka sendiri. Harapanku satu-satunya hanyalah belai. Aku mengatur napas, bergerak tak kasat mata, mendengar orang itu terhuyung-huyung saat melihat sosok keduaku, kemudian mendengar dia berlari lagi. Merasa hanya memiliki satu kesempatan, aku terjang dia dari atas. Terjanganku membuat dia hilang keseimbangan hingga terjatuh, dan di saat itulah terlihat celah kosong di alat pelindung lehernya lalu kugerakkan belati ke arteri utama tenggorokannya, mendorongnya melintang menembus saluran pernapasan seperti yang pernah Kenji ajarkan. Dia mengeluarkan gerutuan kaget-gerutuan yang sering kudengar dari anggota Tribe yang tidak menyangka akan menjadi korban-dan terhuyung-huyung kemudian terjatuh. Aku melepaskan diri darinya. Dia memegang lehernya, napasnya berdesis gaduh dan darah menyembur. Kemudian dia tidak bergerak untuk selama-lamanya, salju di sekitar wajahnya berubah menjadi merah. Aku memeriksa pakaiannya dan kuambil beberapa belati dan pedang pendeknya yang masih bagus. Dia membawa berbagai macam racun yang juga aku ambil karena aku tidak punya. Aku tidak tahu siapa orang itu. Aku melepaskan sarung tangannya dan melihat telapak tangannya, namun tidak ada garis lurus khusus Kikuta, sejauh yang bisa kulihat, tidak ada tato di badannya. Aku meninggalkan tubuhnya untuk burung gagak dan rubah, membayangkan kalau mayatnya akan menjadi hidangan musim dingin pembuka bagi hewan-hewan itu. Lalu aku pergi secepat dan sehening mungkin, takut kalau ada temannya sedang mengawasi sungai, menungguku. Darahnya mengalir cepat melewatiku; aku merasa hangat karena berlari dan pertarungan singkatku, dan aku sangat senang karena bukan aku yang terbaring tanpa nyawa di salju. Aku agak cemas lantaran Tribe telah menyusulku begitu cepat dan tahu ke mana tujuanku. Apakah mayat Akio telah ditemukan, dan pesan telah dikirimkan dengan berkuda, dari Hagi ke Yamagata? Ataukah Akio masih hidup? Aku mengutuk diriku karena tidak menyempatkan diriku untuk membunuhnya. Mungkin perkelahian tadi telah membuatku ketakutan, membuatku sadar seperti apa rasanya dihantui oleh Tribe sepanjang sisa hidupku. Aku memang menyadarinya, tapi aku murka lantaran mereka mencoba membunuhku di hutan, layaknya hendak membunuh anjing, tapi aku juga senang karena usaha pertama mereka telah gagal. Tribe mungkin telah mengatur pembunuhan ayahku, tapi Kenji mengatakan tak seorang pun bisa mendekati Ayahku jika dia tidak bersumpah untuk tidak membunuh lagi. Aku tahu aku mewarisi semua kemampuannya, bahkan mungkin lebih. Tak akan kubiarkan Tribe berada di dekatku. Akan kulanjutkan pekerjaan Shigeru dan akan kuhancurkan kekuatan mereka. Semua pikiran ini berputar-putar di benakku selagi aku berusaha menembus salju. Mereka memberiku energi dan memperkuat keputusanku untuk bertahan. Setelah menyelesaikan urusan dengan Tribe, akan aku alihkan kemarahanku pada kedua pemimpin Otori, pengkhianat yang lebih besar bagiku. Ksatria berpura-pura seolah-olah kehormatan dan kesetiaan penting bagi mereka, tapi tip-tip muslihat dan kecurangan mereka sedalam dan sekejam Tribe. Kedua orang itu telah mengirim Shigeru menuju kematian dan kini berusaha membuangku. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di depan. Seandainya mereka melihat aku terbenam di timbunan salju, miskin pakaian, miskin senjata, tanpa anak buah, uang atau pun tanah kekuasaan, mereka pasti akan tidur nyenyak, tidak perlu lagi memikirkan ancaman dariku. Aku tidak ingin berhenti untuk istirahat, tidak ada pilihan lain kecuali terus berjalan hingga sampai di Terayama atau aku akan mati di perjalanan. Selama berjalan aku mendengarkan suara-suara di sekitarku. Aku tidak mendengar apa pun selain erangan angin dan desis lembut butiran salju yang berjatuhan menyelimuti bumi. Pada sore harinya, aku seperti mendengar bunyi-bunyian. Bunyi itulah yang ingin sekali aku dengar di atas gunung, saat hujan turun dipenuhi dengan salju. Bunyi itu seperti alunan seruling yang sesunyi angin di pepohonan pinus, secepat butiran salju. Bunyi itu membuat tulangku menggigil, bukan hanya karena pengaruh musik itu, tapi juga rasa takut yang lebih dalam. Aku membayangkan hantu gunung yang berusaha menggoda manusia dan menawannya di bawah tanah selama ribuan tahun. Aku ingin berdoa seperti yang ibuku ajarkan, tapi bibirku membeku, lagipula aku tidak mempercayai kekuatan doa-doa itu. Alunan seruling terdengar kian kencang. Aku berjalan mendekati sumber suara, seakan musik itu menyihir dan menyeretku untuk menghampirinya. Aku mengitari persimpangan dan melihat jalan bercabang. Lalu aku teringat apa yang telah diberitahukan si pemandu dan, memang ada kuil kecil yang terlihat samar-samar, tiga jeruk yang tergeletak di depannya bersinar cemerlang. Di belakang kuil ada gubuk kecil yang berdinding kayu dan beratapkan jerami. Rasa takutku langsung lenyap dan aku nyaris tertawa terbahak-bahak. Bukan hantu yang aku dengar, melainkan biarawan atau pertapa yang mengasingkan diri ke gunung untuk mencari pencerahan. Kini aku mencium bau asap. Kehangatannya menyeretku tanpa bisa ditahan. Aku membayangkan bara api akan dapat mengeringkan kakiku yang basah, mencairkan kakiku yang beku seperti balok es. Aku hampir-hampir dapat merasakan kehangatan di wajahku. Pintu gubuk itu dibiarkan terbuka agar cahaya dapat masuk dan asal dapat keluar. Si peniup seruling tak mendengar, juga tidak melihatku. Dia hanyut dalam alunan musiknya yang sedih. Aku bisa menduga siapa dia, bahkan sebelum melihatnya. Aku pernah dengar musik yang sama setiap malam saat aku berduka di makam Shigeru. Orang itu adalah Makoto, biarawan muda dari kuil Terayama. Dia duduk bersila dengan mata terpejam. Dia sedang meniup seruling bambu, dan ada sebuah seruling yang lebih kecil diletakkkan di atas bantal yang ada di dekatnya. Sebuah tungku arang yang berasap ada di dekat pintu. Di belakang gubuk ada tempat tidur yang diangkat. Sebuah tongkat berkelahi yang terbuat dari kayu tersandar di dinding. Aku melangkah masuk-bahkan dengan adanya tungku, ruangan ini hanya sedikit lebih hangat daripada di luar-dan aku berkata perlahan, "Makoto?" Dia tidak membuka mata maupun berhenti meniup seruling. Aku memanggil lagi. Musik pun terputus-putus dan dia menarik seruling dari bibirnya. Dia berbicara dalam satu bisikan, lesu. "Jangan menggangguku. Berhentilah menyiksa diriku. Maafkan aku. Maafkan aku." Dia tidak menengadah. Saat dia meniup seruling lagi, aku lalu berlutut di depannya dan menyentuh bahunya. Dia membuka mata, memandangku dan, yang membuatku sangat kaget, dia melompat berdiri, melempar serulingnya ke samping. Dia melangkah mundur, mengambil tongkat dan menggenggamnya dengan sikap mengancam. Matanya penuh penderitaan, wajahnya kurus, seakan tidak pernah makan dan minum. "Jangan ganggu aku," dia berkata, suaranya rendah dan parau. Aku berdiri. "Makoto," kataku pelan. "Ini aku. Otori Takeo." Ketika aku maju selangkah ke arahnya, dia langsung mengayunkan tongkat ke bahuku. Aku sempat menangkis, dan untungnya ruangan ini kecil sehingga dia tidak dapat memukul sekuat tenaga, kalau tidak dia pasti berhasil menghancurkan tulang bahuku. Rasa kaget pasti membuat tangannya bergetar sehingga tongkatnya terjatuh. Dia menatap kedua tangannya dengan takjub, lalu menatapku yang jatuh terduduk. "Takeo?" katanya. "Kamu nyata? Ini bukan hantumu?" "Cukup nyata untuk jatuh terpukul," kataku, sambil bcrdiri dan melenturkan lengan. Setelah yakin tak ada bertanya seperti itu. Nanti akan kuceritakan semuanya. Sementara ini, ya, kau bisa mempercayaiku. Jika kau tidak mempercayai orang lain, percayalah aku." Nada suaranya penuh emosi. Dia lalu berpaling. "Akan kuhangatkan sup," ucapnya. "Maaf, aku tidak punya sake maupun teh." Aku teringat bagaimana Makoto menentramkan hatiku dari kesedihan yang amat sangat setelah kematian Shigeru. Dialah yang menentramkan hatiku saat aku tersiksa oleh penyesalan, dan mendukungku hingga kesedihanku berganti amarah, dan sampai kedua perasaanku mereda. "Aku tidak bisa tinggal bersama Tribe," kataku. "Aku meninggalkan mereka, dan mereka akan terus mengejarku sampai mereka berhasil membunuhku." Makoto mengambil panci dari sudut ruangan dan dengan hati-hati meletakkannya di tungku. Dia menatap aku lagi. "Mereka ingin aku mengambil catatan Shigeru tentang Tribe," ceritaku. "Mereka mengirimku ke Hagi. Aku diharuskan membunuh guruku, Ichiro, dan menyerahkan catatan itu kepada mereka. Tapi catatan itu tidak ada di sana." Makoto hanya tersenyum, masih tidak bicara. "Itulah alasannya aku harus ke Terayama. Di sanalah catatan itu di simpan. Kau tahu itu, kan?" "Pasti kami sudah berikan kepadamu seandainya kau tidak memilih untuk pergi bersama Tribe," jawab Makoto. "Kewajiban pada Shigeru yang memaksa kami untuk tidak mengambil resiko. Dia mempercayakan catatannya pada kami karena dia tahu biara kami adalah salah satu dari sedikit wilayah di Tiga Negeri yang tak bisa disusupi Tribe." Makoto menuangkan sup ke mangkuk lalu menyodorkannya kepadaku. "Hanya ada satu mangkuk. Aku tidak menduga akan kedatangan tamu. Dan orang terakhir yang kuharapkan adalah kau." "Mengapa kau di sini?" tanyaku. "Apakah kau hendak menghabiskan musim dingin di sini?" Aku tidak yakin dia akan mampu bertahan hidup di sini. Mungkin memang dia tidak ingin hidup. Aku minum seteguk sup. Rasanya panas dan asin, dan hanya itu yang dapat kukatakan. Nampaknya sup ini adalah satu-satunya makanan yang tersisa. Apa yang terjadi pada pemuda bersemangat yang pernah aku kenal di Terayama? Apa yang membuat dia mengasingkan diri seperti ini, seperti orang yang putus asa? Aku menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhku dan bergeser mendekati api. Seperti biasa aku memasang telinga. Angin semakin kencang. Terkadang satu hembusan angin membuat lampu berkedip, membuat bayangan yang fantastis di dinding. Setelah pintu ditutup, gubuk ini terasa lebih hangat. Pakaianku mulai kering. Aku mengosongkan mangkuk dan menyerahkannya kembali pada Makoto. Dia lalu mengisi, meneguk, dan menaruhnya di lantai. "Sisa hidupku kini berubah menjadi lebih lama," dia berkata, memandangku, menatap ke bawah. "Sulit bagiku mengatakan padamu, Takeo, karena banyak hal yang berkaitan denganmu. Namun karena Sang Pencerah telah mengirimmu kemari, jadi aku berusaha mengatakannya. Kehadiran dirimu telah mengubah segalanya. Penampakan dirimu terus membayangiku, kau selalu hadir dalam mimpiku. Aku berjuang mengatasi obsesiku ini." Makoto tersenyum mencela dirinya sendiri. "Sejak kecil aku berusaha meninggalkan dunia indrawi. Satu-satunya keinginanku adalah pencerahan. Aku mendambakan kesucian. Aku tidak mengatakan kalau aku belum pernah berhubungan-kau tahu seperti apa jadinya bila laki-laki tinggal bersama tanpa seorang perempuan pun. Terayama tidak terkecuali. Tapi aku tidak pernah jatuh cinta pada siapa pun. Aku belum pernah terobsesi seperti apa yang kurasakan padamu." Sekali lagi senyum menghiasi bibirnya. "Aku tak akan mengatakan alasannya. Selain tidak penting, aku juga tidak yakin kalau aku tahu. Setelah kematian Lord Shigeru, kau seperti kehilangan akal karena kesedihan. Aku tergerak oleh penderitaanmu. Aku ingin menentramkan hatimu." "Kau telah menentramkan diriku," kataku, pelan. "Bagiku itu tidak menyenangkan! Aku tidak menyadari betapa kuat pengaruh dirimu padaku. Aku senang atas apa yang aku rasakan, dan aku pun bersyukur atas pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya, tapi aku juga membencinya. Aku membuat semua perjuangan rohaniku nampak seperti kebohongan belaka. Aku datangi Kepala Biara dan memberitahukan kalau aku hendak meninggalkan biara dan kembali ke dunia. Dia menyarankan aku bepergian sejenak untuk memikirkan lagi keputusanku. Temanku yang di Barat, Mamoru, mengundangku. Kau tahu aku bisa bermain seruling. Aku diundang untuk bergabung dengan Mamoru dan lainnya dalam mementaskan drama Atsumori." Dia terdiam. Angin menghempaskan hujan salju ke dinding. Lampu bekerjap begitu hebat, nyaris padam. Aku tidak tahu apa yang akan Makoto katakan selanjutnya, namun jantungku berdebar lebih cepat dan denyut nadiku semakin kencang. Bukan karena hasrat, tapi rasa takut mendengarkan apa yang tidak ingin aku dengar. Makoto berkata, "Temanku tinggal di kediaman Lord Fujiwara." Aku menggelengkan kepala. Belum pernah aku dengar nama itu. "Dia kerabat kaisar yang diasingkan dari ibukota. Wilayahnya berbatasan dengan Shirakawa." Hanya mendengar nama Kaede disebut, aku seperti sedang dipukul di perut. "Kau bertemu dengannya?" Dia mengangguk. "Aku diberitahu kalau dia sedang sekarat," kataku. Begitu kencangnya detak jantungku sehingga terasa seperti akan melompat keluar dari tenggorokan. "Dia memang sakit parah, tapi sudah pulih. Tabibnya Lord Fujiwara yang menyelamatkannya." "Dia masih hidup?" Keremangan lampu nampak lebih terang hingga gubuk ini terasa penuh cahaya. "Kaede masih hidup?" Makoto mengamati wajahku, wajahnya menunjukkan kepedihan. "Ya, dan aku sangat bersyukur, karena jika dia mati, akulah penyebabnya." Aku mengerenyitkan alis, berusaha menebak maksud kata-katanya. "Apa yang terjadi?" "Orang di kediaman Fujiwara mengenalnya sebagai Lady Otori. Mereka percaya dia telah menikah secara rahasia di Terayama, di hari Lord Shigeru ziarah ke makam adiknya, di hari kita bertemu. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di rumah Lord Fujiwara, aku pun tidak diberitahu tentang pernikahannya. Aku tercengang sewaktu dia diperkenalkan sebagai Lady Otori kepadaku. Aku mengira kau telah menikah dengannya, dan kau ada di sana. Aku telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya aku membuka diriku pada kekuatan dan obsesiku padamu, tapi aku juga membongkar kebohongan Kaede di depan ayahnya." "Mengapa dia mengaku begitu?" "Mengapa perempuan mengaku telah menikah padahal dia belum menikah? Dia hampir mati karena keguguran." Aku tak bisa berbicara. Makoto berkata, "Ayahnya bertanya padaku tentang pernikahan itu. Aku tahu pernikahan itu tidak berlangsung di Terayama. Aku berusaha tidak menjawab secara langsung tapi dia keburu yakin. Aku tak tahu kejadian berikutnya, tapi otak ayahnya sangat tidak stabil dan dia sering berbicara tentang bunuh diri. Dia akhirnya membelah perutnya di depan Lady Shirakawa, dan mungkin rasa kaget yang menyebabkan dia keguguran." Aku berkata, "Itu anakku. Dia seharusnya menjadi isteriku. Suatu saat nanti." Pada saat aku mendengar kata-kataku, pengkhianatan diriku pada Kaede justru nampak semakin besar. Maukah dia memaafkanku? "Begitulah yang kuduga," kata Makoto. "Tapi kapan? Apa yang kalian pikirkan waktu itu? Seorang perempuan dari derajat dan keluarga sepertinya?" "Kami memikirkan kematian. Saat itu adalah malam kematian Shigeru, saat kejatuhan Inuyama. Kami tak ingin mati.... " Aku tidak mampu melanjutkan. Setelah beberapa saat, Makoto melanjutkan, "Aku tak sanggup hidup lagi. Nafsu telah menyeretku lebih dalam ke dunia yang penuh penderitaan dan aku tak mungkin lari darinya. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan pada makhluk hidup, meskipun hanya seorang perempuan. Tapi di saat yang bersamaan, rasa cemburuku berharap dia mati karena aku tahu kau mencintainya dan karena dia pun mencintaimu. Kau mengerti, aku tidak menyembunyikan apa-apa darimu. Aku telah membeberkan sisi buruk diriku kepadamu." "Aku adalah orang terakhir yang akan menyalahkanmu. Tindakanku jauh lebih kejam." "Tapi kau milik dunia ini, Takeo, kau hidup di tengahtengahnya. Aku ingin berbeda. Setelah kejadian itu, aku kembali ke Terayama dan meminta ijin kepala biara agar diijinkan mengasingkan diri ke gubug ini. Aku hendak mengembangkan permainan serulingku dan menghilangkan nafsu dalam diriku untuk melayani Sang Pencerah, meskipun aku tidak berharap mendapatkan pencerahan dari-Nya karena aku merasa tidak layak mendapatkannya." "Kita semua hidup di dunia," ujarku. "Di mana lagi tempat untuk tinggal selain di dunia ini?" Saat bicara, aku mendengar suara Shigeru: sebagaimana sungai itu selalu berada di luar pintu rumah, begitu pula dunia ini. Dunia tempat kita tinggal. Makoto menatapku, wajahnya tiba-tiba terlihat lega, matanya lebih cemerlang. "Itukah pesan yang harus aku dengar? Itukah alasannya kau dikirim kemari?" "Aku saja tidak memahami hidupku," jawabku. "Bagaimana aku bisa memahami hidupmu? Namun hal itulah yang pertama kali aku pelajari dari Shigeru. Begitulah yang terjadi di dunia ini, dunia tempat kita tinggal." "Kalau begitu, anggap saja ini perintah darinya," ujar Makoto, dan aku melihat semangatnya kembali mengalir. Tadi dia seperti hendak menyerahkan diri pada kematian, tapi kini dia bersemangat lagi. "Kau berniat menjalankan keinginan Lord Shigeru?" "Ichiro menyuruhku membalas dendam pada kedua paman Shigeru dan mengambil warisanku, dan aku hendak melaksanakannya. Tapi aku belum tahu caranya. Selain itu, aku harus menikahi Lady Shirakawa untuk memenuhi keinginan Shigeru." "Lord Fujiwara hendak menikahinya," kata Makoto dengan hati-hati. Aku ingin membuang ucapan Makoto. Aku tak percaya Kaede akan menikahi orang lain. Kata-kata terakhirnya padaku adalah: Aku tak akan pernah mencintai orang lain kecuali kau. Dan sebelumnya, dia berkata, Aku hanya aman bila bersamamu. Aku tahu reputasinya, bahwa setiap laki laki yang menyentuhnya akan mati. Aku telah tidur bersamanya dan masih hidup. Aku telah memberinya seorang anak. Namun aku telah mengabaikannya, dia hampir mati, dia telah kehilangan anak kami-akankan dia memaafkan aku? Makoto melanjutkan, "Sebenarnya Lord Fujiwara lebih menyukai laki-laki. Tapi kelihatannya dia terobsesi pada Lady Shirakawa. Dia menawarkan pernikahan demi memberi Lady Shirakawa perlindungan. Tahta Shirakawa tampaknya tidak menjadi perhatian Lord Fujiwara. Klan Shirakawa akan lenyap dengan cara yang mengenaskan." Saat aku tidak menanggapi, dia menggerutu, "Bangsawan ini seorang kolektor. Lady Shirakawa akan menjadi salah satu benda miliknya. Dan koleksi Lord Fujiwara tak akan melihat sinar matahari. Diperlihatkan hanya pada beberapa teman istimewa saja." "Itu tak boleh terjadi!" "Pilihan apalagi yang dia punya? Beruntung dia tidak terhina sama sekali, untuk bertahan dari kematian laki-laki yang hendak memilikinya saja sudah cukup memalukan. Akhir-akhir ini ada sesuatu yang tidak wajar pada dirinya. Orang-orang mengatakan dia menghukum mati dua orang abdi ayahnya ketika mereka menolak mengabdi. Dia membaca dan menulis seperti laki-laki. Dan tampaknya dia sedang menyusun pasukan bersenjata untuk mengambil alih Maruyama di musim semi ini." "Mungkin untuk melindungi diri," kataku. "Seorang perempuan?" balas Makoto, mencemooh. "Mustahil." Aku merasa kagum pada Kaede. Aku dan dia akan menjadi sekutu yang kuat! Jika kami menikah, kami akan menguasai separuh wilayah Seishuu, dan Maruyama akan memberi semua sumberdaya untuk mengalahkan para pemimpin Otori. Berarti hanya wilayah Tohan, yang saat ini dikuasai Arai, yang akan menghalangi wilayah kami yang terbentang dari laut ke laut seperti isi ramalan. Sekarang ini sudah musim dingin, semua itu harus menunggu hingga musim semi. Aku merasa letih, meskipun diriku membara karena ketidaksabaran. Aku takut Kaede akan membuat keputusan yang tidak dapat ditarik lagi sebelum aku bertemu dengannya. "Kau akan menemaniku ke biara?" Makoto mengangguk. "Kita akan berangkat setelah terang." "Kau akan menetap di sini selama musim dingin bila tidak bertemu denganku?" "Aku tidak tahu," jawabnya. "Aku mungkin akan mati di sini. Mungkin kau yang telah menyelamatkanku." Kami berbincang-bincang hingga larut, setidaknya dia yang berbicara, seakan kehadiran makhluk hidup telah membuka kunci keheningan selama berminggu-minggu. Makoto menceritakan latar belakangnya; dia lahir dari keluarga ksatria tingkat rendah yang melayani Klan Otori sampai perang Yaegahara. Kekalahan Otori memaksa mereka untuk bersumpah setia kepada Tohan. Dia anak kelima dari keluarga ksatria yang miskin. Sejak kanak-kanak dia giat belajar, dan dia juga ketertarikannya pada agama telah dipupuk. Ketika keluarganya semakin susah, dia dikirim ke Terayama. Saat itu dia berumur sebelas tahun. Kakaknya yang berusia tiga belas tahun juga diharapkan menjadi biarawan, namun dia lari dan tidak terdengar lagi kabarnya. Kakak sulung Makoto terbunuh dalam perang Yaegahara, ayah mereka meninggal tidak lama sesudah itu. Kedua kakak perempuannya menikah dengan ksatria Tohan, dan telah bertahun-tahun Makoto tidak mendengar kabar dari mereka. Ibunya masih hidup di pedesaan bersama dua kakak laki-lakinya yang selamat. Mereka tidak lagi menganggap diri mereka sebagai bagian dari keluarga ksatria. Makoto mengunjungi ibunya sekali atau dua kali setahun. Kami berbincang-bincang dengan lancar, dan aku teringat betapa aku merindukan teman seperti ini saat melakukan perjalanan bersama Akio. Makoto selalu bertindak dengan penuh pertimbangan, sifat yang berlawanan dengan sifat nekadku. Kelak aku tahu kalau dia kuat dan berani, masih seorang ksatria, biarawan dan juga pelajar. Dia juga bercerita tentang ketakutan dan kemarahan penduduk Yamagata dan Terayama ketika mendengar kematian Shigeru. "Kami telah dipersenjatai dan disiapkan untuk memherontak. Iida pernah mengancam hendak menghancurkan biara kami, dia menyadari kalau kami semakin kaya dan kuat. Dia mengetahui kebencian penduduk pada Tohan dan dia ingin menghentikan pemberontakan apa pun sejak dini. Kau sudah melihat bagaimana penduduk begitu menghormati Shigeru. Rasa kehilangan dan juga kesedihan mereka atas kematian Shigeru sangat luar biasa. Belum pernah aku menyaksikan hal seperti itu. Kekacauan yang selama ini Iida takuti terjadi sebelum Shigeru mati, dan bahkan lebih dahsyat saat mendengar berita kematiannya. Pemberontakan itu terjadi tanpa direncanakan. Mantan ksatria Otori, penduduk kota yang dipersenjatai tombak, bahkan petani dengan clurit dan batu, bergerak menuju kastil. Kami ikut menyerang waktu mendengar kabar kematian Iida dan kemenangan Arai di Inuyama. Pasukan Tohan dipaksa mundur, dan kami mulai mengejar mereka sampai ke Kushimoto. "Kami bertemu denganmu di jalan, kau membawa kepala Iida. Sejak itu orang-orang mulai bercerita tentang keberanianmu menyelamatkan Lord Shigeru. Dan mereka mulai menduga-duga identitas orang yang mereka sebut Malaikat Yamagata." Makoto meniup bara terakhir. Lampu sudah lama padam. "Saat kita kembali ke Terayama, kau tidak mirip seorang pahlawan. Kau begitu kehilangan dan berduka, sama seperti semua orang yang kutemui. Kau menarik perhatianku sejak pertama kita bertemu, tapi aku merasa keanehanmu-berbakat tapi lemah; pendengaranmu mirip pendengaran hewan. Aku kaget sewaktu kau ditawari untuk kembali ke Terayama dan aku bingung oleh keyakinan Shigeru padamu. Aku sadar kau tidak seperti yang terlihat, aku melihat keberanian yang kau miliki dan mengamati sekilas kekuatan emosimu. Aku jatuh cinta padamu. Seperti yang kukatakan, hal ini belum pernah terjadi padaku. Tadi aku aku belum tahu kenapa aku tertarik padamu, tapi kini aku sudah mengatakannya." Setelah beberapa saat, dia menambahkan, "Aku tidak akan membicarakannya lagi." "Tidak ada bahayanya," jawabku. "Justru sebaliknya. Aku perlu teman bicara lebih dari apa pun di dunia ini." "Selain tentang pasukan?" "Hal itu harus menunggu hingga musim semi." "Akan kulakukan apa pun untuk membantumu." "Bagaimana dengan panggilan hidupmu, pencarianmu untuk pencerahan?" "Membantumu merupakan panggilan hidupku," katanya. "Apa lagi yang menyebabkan Sang Pencerah membawamu ke sini selain untuk mengingatkan bahwa kita hidup di tengah-tengah dunia ini? Satu ikatan kekuatan besar terjadi di antara kita. Dan kini aku sadar kalau aku tidak harus melawannya." Api di tungku hampir padam. Aku tak bisa lagi melihat wajah Makoto. Di balik selimut tipis, aku menggigil. Aku ingin tahu apakah aku bisa tertidur, apakah aku akan bisa tidur lagi, apakah aku akan berhenti berusaha mendengarkan napas pembunuh bayaran. Di dunia yang begini kejam, pengabdian Makoto telah menyentuhku. Aku tak dapat memikirkan kata-kata yang cocok untuk diucapkan. Aku meraih tangannya, aku menggenggamnya singkat dengan penuh syukur. "Maukah kau berjaga jaga saat aku tidur?" "Tentu saja." "Nanti bangunkan aku, kita harus bergantian tidur sebelum kita berangkat." Makoto mengangguk. Aku membungkus tubuh dalam selimut kedua dan berbaring. Sinar redup datang dari perapian. Aku dapat mendengar bisikan bara api yang nyaris padam. Di luar angin mulai reda. Atap gubuk berderit: beberapa makhluk kecil gemerisik di jerami. Seekor burung hantu berteriak sedangkan seekor tikus diam tak bergerak. Aku melayang dalam tidur yang tak lelap, dan bermimpi ada anak-anak yang tenggelam. Aku terjun lagi dan lagi ke air hitam beku namun tak mampu menyelamatkan mereka. Hawa dingin membuatku terbangun. Mentari mulai menyinari gubug. Makoto duduk dalam posisi meditasi. Napasnya begitu lambat sehingga aku hampir tidak mendengarnya, meskipun aku tahu dia amat waspada. Aku mengawasinya beberapa saat. Ketika dia membuka mata, aku mengalihkan pandanganku. "Seharusnya kau bangunkan aku." "Aku baik-baik saja. Aku tidak butuh tidur lama." Lalu dia bertanya dengan curiga. "Kenapa kau tidak pernah menatapku?" "Aku bisa membuatmu tertidur. Itu merupakan salah satu kemampuan Tribe yang kuwarisi. Seharusnya aku mampu mengendalikannya, namun aku sering membuat orang tertidur tanpa sengaja. Jadi aku tak ingin menatap langsung mata mereka." "Maksudmu, keahlianmu bukan hanya pendengaran? Ada yang lainnya?" "Aku bisa menghilang-cukup lama untuk membuat lawanku kebingungan atau untuk menyelinap melewati penjaga. Dan aku bisa berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan. Kami menyebutnya penggunaan sosok kedua." Saat mengatakan itu, aku mengamati Makoto tahu melihat reaksinya. Dia agak tersentak. "Kedengarannya lebih mirip iblis ketimbang malaikat," dia berkomat-kamit. "Apakah semua orang Tribe dapat melakukan itu?" "Masing-masing orang memiliki keahlian yang berbeda. Tampaknya aku mewarisi lebih banyak dari yang seharusnya." "Aku tidak tahu apa-apa tentang Tribe, bahkan aku tak tahu kalau mereka ada sampai kepala biara membicarakan dirimu dan hubunganmu dengan mereka ketika kau datang bersama Shigeru di musim panas lalu." "Banyak orang menganggap kemampuan ini adalah sihir," ujarku. "Benarkah?" "Aku tidak tahu. Semua itu datang dengan sendirinya. Aku tidak mencarinya. Tapi latihan mampu mempertajam kemampuanku ini." "Mungkin seperti keahlian lainnya yang dapat diguiiakan untuk kebaikan maupun kejahatan," dia berkata perlahan. "Tribe menggunakannya untuk tujuan pribadi," ujarku. "Itulah mengapa mereka tak ingin membiarkan aku hidup. Jika kau bersamaku, berarti kau juga dalam bahaya. Kau sudah siap?" Makoto mengangguk. "Ya, aku siap. Meskipun begitu, apakah ancaman ini tidak membuatmu gelisah? Sebagian besar orang akan lemah karena rasa takut." Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku sering digambarkan sebagai orang yang tak kenal takut, tapi sebenarnya itu terlalu berlebihan karena aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki manusia biasa. Lagi pula ketidaktakutanku itu hanya datang kadang-kadang dan diperlukan energi untuk dapat mempertahankannya. Aku mengetahui rasa takut sebaik laki-laki mana pun juga. Hanya saja ku tidak ingin memikirkannya. Aku berdiri dan mengambil pakaianku yang belum kering benar dan terasa lengket di kulit saat dikenakan. Aku keluar hendak membuang air kecil. Udara dingin dan lembab, namun salju telah berhenti dan yang terhampar di tanah hanyalah lelehannya. Tak ada jejak kaki di sekitar gubug dan kuil kecuali jejak kakiku yang hampir tertutup salju. Lintasan jalan menghilang ke lembah. Gunung dan hutan hening kecuali bunyi angin. Di kejauhan dapat kudengar jeritan burung gagak, dan dari jarak lebih dekat, beberapa burung kecil berkicau nan memilukan. Tak terdengar tanda-tanda keberadaan manusia, tak ada bunyi kapak atau batang kayu, tak ada bunyi lonceng biara, tidak juga gonggongan anjing. Mata air kuil mengeluarkan bunyi rendah, bunyi yang dalam. Aku mencuci muka dan tangan di air yang membeku lalu meminumnya. Kami tidak sarapan pagi itu. Makoto mengemasi sedikit barang bawaannya, menyelipkan serulingnya ke ikat pinggangnya, dan mengambil tongkat. Hanya itu senjatanya. Kuberikan dia pedang pendek yang kuambil dari penyerangku kemarin, dan dia tempatkan di sisi seruling yang ada di ikat pinggangnya. Saat kami berangkat, beberapa butiran salju melayang turun dan terus berjatuhan sepanjang pagi. Meskipun salju yang menutupi jalan tidak terlalu tebal, namun beberapa kali kami tergelincir di atas lapisan es atau terperosok di lubang setinggi lutut. Pakaianku pun langsung basah lagi seperti semalam. Jalan mulai menyempit; kami berjalan berjejer dengan langkah sedang; nyaris tanpa bicara. Makoto kelihatannya tak memiliki bahan pembicaraan lagi, sedangkan aku sibuk memperhatikan suara dan bunyi-untuk mendengarkan napas, tongkat patah, petikan busur, siulan pisau yang dilempar. Aku seperti hewan liar yang selalu merasa terancam, selalu merasa diburu. Cahaya memudar sehingga terlihat berwarna abu-abu mutiara, bertahan seperti itu cukup lama, lalu mulai menghitam. Butiran salju jatuh lebih deras, mulai beterbangan dan mengendap. Sekitar sore hari, kami berhenti untuk minum di sungai kecil, tapi tak lama setelah berhenti, dingin datang menyergap, sehingga kami tidak berlama-lama lagi. "Inilah sungai utara yang mengalir melewati biara," Makoto menjelaskan. "Bila kita ikuti jalan ini, tidak lama lagi kita akan sampai." Tampaknya perjalanan kali ini jauh lebih mudah dibanding saat aku meninggalkan Hagi. Aku mulai bisa lebih lantai karena Terayama tidak jauh lagi, dan ada teman di perjalanan. Kami akan mencapai biara, dan aku akan aman di sana selama musim dingin. Namun ocehan sungai menenggelamkan suara-suara lain sehingga aku tidak menyadari kehadiran beberapa orang. Ada dua orang laki-laki menghampiri kami dari arah hutan, seperti serigala. Tapi mereka hanya mengantisipasi satu orang-aku-dan kehadiran Makoto membuat mereka kaget. Namun mereka menganggap dia seorang biarawan yang tidak berbahaya, sehingga mereka mendekatinya terlebih dulu, berharap agar dia lari ketakutan. Makoto menjatuhkan orang pertama dengan satu pukulan di kepala, pukulan yang pasti telah meretakkan kepala orang itu. Seorang lagi membawa pedang panjang yang membuat aku kaget karena anggota Tribe tidak biasa membawa pedang. Aku menghilang saat dia mengayunkan pedang ke arahku, lalu aku muncul dari bawah jangkauannya dan menebas tangannya yang memegang pedang, mencoba melumpuhkannya. Belatiku menggores sarung tangannya; kutusuk lagi dan kubiarkan bayanganku muncul di kakinya. Tusukan kedua tepat mengenai sasaran dan darah mulai menetes dari pergelangan tangan kirinya saat dia mengayunkan pedang. Sosok keduaku lenyap dan aku, masih keadaan menghilang, melompat menimpanya, mencoba untuk mengiris lehernya, sambil berharap ada Jato sehingga dapat melawannya dengan sepatutnya. Dia tidak bisa melihatku, tapi dia menarik lenganku dan berteriak ketakutan. Aleu merasakan diriku mulai terlihat dan dia pun langsung menyadarinya. Dia menatap wajahku seakail melihat hantu, matanya melebar ketakutan dan gemetar. Di saat yang sama, Makoto memukulnya dengan tongkat dari belakang. Orang itu jatuh seperti kerbau, membawaku jatuh bersamanya. Aku berjuang keluar dari bawah tubuhnya, lalu menarik Makoto bersembunyi di batu karang, waspada seandainya ada penyerang lain di balik bukit. Apa yang paling kutakutkan adalah pemanah. Tapi hutan terlalu lebat untuk dapat memanah dari jauh. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Makoto bernapas kencang, matanya bersinar. "Kini aku sadari kemampuanku!" "Kau juga cukup mahir! Terima Kasih." "Siapa mereka?" Aku dekati kedua mayat itu. Orang yang pertama adalah Kikuta-dapat kukenali dari tangannya-sedangkan orang yang kedua memakai simbol Otori di balik baju bajanya. "Dia seorang ksatria," kataku, sambil menatap simbol burung bangau. "Itu menjelaskan pedangnya. Orang yang satunya lagi berasal dari Tribe-Kikuta." Aku tidak mengenal orang Tribe itu, tapi sudah pasti kami bersaudara, terikat oleh garis telapak tangan kami. Ksatria Otori itu membuatku gelisah. Apakah dia berasal dari Hagi? Apa yang dia lakukan bersama pembunuh dari Tribe ini? Tampaknya kabar kepergianku ke Terayama telah menyebar. Aku memikirkan Ichiro. Aku berdoa agar dia tidak disiksa untuk mengorek keterangan. Apakah Jo-An atau salah seorang gelandangan yang mengkhianatiku? Mungkin kedua orang ini sudah ke biara lebih dulu dan akan ada lebih banyak lagi yang menantiku di sana. "Kau benar-benar menghilang tadi," kata Makoto. "Aku hanya dapat melihat jejak kakimu di salju. Luar biasa." Ketika menyeringai, wajahnya berubah. Sulit dipercaya bila dia adalah orang yang sama dengan si pemain seruling yang putus asa di malam sebelumnya. "Sudah lama aku tidak bertarung. Alangkah menakjubkan. Bertaruh dengan maut justru membuat hidupku jadi begitu indah." Salju tampak lebih putih, dan hawa dingin semakin menusuk. Aku kelaparan, merindukan kenyamanan mandi air panas, makanan, dan sake. Kami melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Kami memang membutuhkannya; sekarang ini angin lebih kencang dan salju turun lebih deras. Aku mensyukuri kehadiran Makoto karena di saat-saat akhir, di saat jalan semakin kabur, dia sangat mengenal jalannya dan tidak pernah berhenti. Kini biara telah dibangun dinding kayu yang mengelilingi bangunan utama dan penjaga menghadang kami. Makoto menyahuti dan mereka menyambut kedatangannya dengan gembira. Mereka nampak lega karena Makoto telah memutuskan untuk kembali. Setelah mereka menutup gerbang dan kami telah berada di pos jaga, mereka menatapku penuh selidik, tak yakin apakah mereka mengenaliku atau tidak. Makoto berkata, "Lord Otori Takeo mencari perlindungan di sini selama musim dingin. Maukah kalian memberitahukan kepala biara kalau dia ada di sini?" ' Salah seorang berlari menyeberangi halaman. Karena berlari melawan arah angin, sehingga badannya menjadi putih oleh salju sebelum sampai di beranda. Atap besar di aula utama telah diselimuti salju, cabang pohon cherry dan plum yang tak berdaun sarat dengan bunga salju. Beberapa penjaga mengisyaratkan kami untuk duduk di dekat perapian. Seperti juga Makoto, mereka adalah biarawan muda, bersenjatakan panah, tombak dan tongkat panjang. Teh dan pakaian kami beruap, menciptakan kehangatan yang nyaman. Aku mencoba melawannya; aku belum ingin bersantai. "Ada yang kemari mencariku?" "Beberapa orang asing terlihat di gunung ini tadi pagi. Mereka menyusuri biara lalu masuk ke hutan. Kami tidak tahu kalau mereka sedang mencarimu. Kami justru mencemaskan Makoto-kami mengira mereka itu banditnamun cuaca terlalu buruk untuk menyuruh orang keluar untuk mengejar mereka. Lord Otori datang di waktu yang tepat. Jalan yang kalian turuni tadi tidak mungkin lagi dilewati. Biara kini tertutup hingga musim semi." "Suatu kehormatan bagi kami atas kedatanganmu," seorang biarawan berkata malu-malu, dan mereka saling bercerita singkat kalau mereka mendapat petunjuk yang jelas tentang kedatanganku. Setelah beberapa waktu berlalu, seorang biarawan datang dengan tergesa-gesa. "Kepala biara senang atas kedatangan Lord Otori," ujarnya, "dan memintamu mandi dan makan dulu. Beliau akan menemuimu setelah doa malam." Makoto menghabiskan tehnya, membungkuk resmi padaku dan berkata bahwa dia harus bersiap-siap untuk doa malam, seakan dia telah seharian di biara bersama biarawan lainnya, dan bukannya berjuang menembus badai salju dan membunuh dua orang. Sikapnya tenang resmi. Aku tahu di balik sikapnya ada hati teman sejati namun di tempat ini, dia adalah biarawan, sementara aku harus belajar untuk menjadi pemimpin. Angin berdesir mengelilingi atap biara, salju melayang turun tanpa belas kasih. Aku berhasil tiba dengan selamat di Terayama. Musim dingin ini merupakan kesempatan untuk membentuk ulang hidupku. Aku diantar ke salah satu kamar tamu oleh pemuda yang membawa pesan pada kepala biara. Di musim semi dan musim panas, kamar-kamar ini akan dipenuhi pengunjung dan peziarah, namun kini sepi. Meskipun jendela ditutup untuk menghindari angin, namun dinginnya kamar masih terasa menggigit. Angin saat merintih menembus celah dinding, dan salju melayang melalui celah dinding yang lebih besar. Biarawan yang sama menunjukkan jalan ke rumah mandi kecil yang dibangun di atas mata air panas. Aku melepaskan pakaianku yang basah dan kotor, rnenggosok sekujur tubuhku lalu aku berendam di air panas. Rasanya bahkan lebih menyenangkan dari yang kubayangkan. Aku memikirkan orang yang mencoba untuk membunuhku dalam dua hari terakhir ini dan senang karena aku masih tetap hidup. Air beruap dan berbuih di sekelilingku. Aku bersyukur atas air yang mengalir dari gunung, membasahi tubuhku yang sakit, dan mencairkail tungkai kaki dan lenganku yang beku. Aku memikirkan pegunungan yang sering memuntahkan abu dan api ataLi melontarkan batu sehingga bangunan pun menjadi seperti ranting, dan orang-orang pun merasa tidak berdaya bagaikan serangga yang merangkak dari kayu yang terbakar. Gunung ini bisa saja mencengkram dan membekukan diriku hingga mati, tapi sebaliknya, gunung justru memberiku air yang menghangatkan. Kedua lenganku memar akibat perkelahian tadi dan menimbulkan goresan luka panjang dan dalam di leherku. Aku pasti terkena pedangnya. Pergelangan tangan kananku yang terkadang terasa mengganggu sejak dipelintir Akio di Inuyama, kini terasa kuat. Badanku lebih kurus, namun bentuknya menjadi bagus setelah melakukan perjalanan jauh. Dan kini aku pun bersih. Aku mendengar langkah kaki di ruangan luar dan seorang biarawan berteriak bahwa dia membawa pakaian kering dan sedikit makanan. Aku bangkit dari bak air, kulitku bersinar kemerahan karena air panas, lalu aku mengelap tubuhku hingga kering kemudian aku berlari kembali sepanjang jalanan papan, sambil melewati salju, menuju kamar. Kamarku kosong; pakaianku tergeletak di lantai: cawat bersih, pakaian dalam berlapis kapas, pakaian luar yang terbuat dari sutra yang dilapisi kapas dan juga sabuk. Pakaianku berwarna plum gelap dengan pola ungu lebih gelap, simbol Otori keperakan ada di bagian punggung. Kuletakkan pakaian itu dengan perlahan, seraya menikmati sentuhan sutra. Sudah lama aku tidak memakai busana bermutu sebaik ini. Aku ingin tahu mengapa berida ini ada di biara dan siapa yang meninggalkannya di sins. Apakah Shigeru? Aku merasakan kehadirannya menyelimutiku. Hal pertama yang akan kulakukan pagi nanti adalah berziarah ke makamnya. Dia akan memberitahukan cara untuk balas dendam. Aroma makanan membuatku sadar betapa laparnya aku. Hanya dalam sekejap kuhabiskan semua makanan. Setelah makan, aku lalu berlatih dan kuakhiri dengan meditasi agar kehangatan setelah mandi air panas tidak cepat hilang. Selain angin dan salju, aku mendengar lantunan doa dari aula utama biara. Malam bersalju, kamar sepi dengan kenangan dan hantunya, kata-kata sutra yang jernih, semuanya menyatu dan menghasilkan sensasi manis-pedih nan indah. Andaikan aku dapat mengekspresikan sensasi itu, andaikan aku lebih menaruh perhatian ketika Ichiro mengajariku puisi. Aku tidak sabar ingin memegang kuas: Jika aku tidak bisa menunjukkan perasaanku dalam katakata, setidaknya aku bisa mengatakannya melalui gambar. Datanglah kemari, begitulah yang diucapkan rahib tua, bila semuanya telah selesai.... Sebagian diriku berharap dapat menghabiskan sisa hidupku di tempat yang tenang ini. Tapi bahkan di tempat ini pun aku mendengar rencana perang; para biarawan dipersenjatai dan biara dibentengi. Keadaan jauh dari selesai justru baru saja dimulai. Lantunan doa berakhir dan aku mendengar langkah kaki lembut saat biarawan berbaris keluar untuk makan, lalu mereka akan tidur hingga lonceng tengah malam membangunkan mereka. Ada langkah kaki mendekati kamarku dari arah serambi dan biarawan yang sama menggeser pintu terbuka. Dia membungkuk dan berkata, "Lord Otori, kepala biara ingin bertemu denganmu sekarang." Aku berdiri dan mengikutinya menyusuri beranda. "Siapa namamu?" "Norio, tuan," jawabnya dan berbisik menambahkan, "Aku lahir di Hagi." Dia tidak berkata apa-apa lagi, biara melarang orang berbicara yang tidak penting. Kami berjalan mengitari taman yang telah dipenuhi salju, melewati aula makan di mana biarawan berbaris rapih dalam keadaan berlutut dengan hening, masing-masing ada semangkuk makanan di depannya. Kami lalu melewati aula utama yang tercium aroma dupa dan lilin, di tempat inilah sosok patung emas duduk bercahaya dalam keremangan, menuju persimpangan ketiga. Di sini terdapat serentetan ruangan kecil yang digunakan sebagai tempat kerja atau belajar. Dari jauh dapat kudengar bunyi klik tasbih, bisikan kata-kata sutra. Kami berhenti di luar ruangan pertama, dan Norio memanggil ke dalam dengan nada rendah, "Lord Abbot, tamu Anda sudah di sini." Aku merasa malu saat melihatnya, karena dialah si rahib tua itu yang dulu pernah mengundangku saat aku datang bersama Shigeru, dalam balutan pakaian yang sama seperti ketika aku datang dulu. Aku mengira dia sesepuh di biara ini, bukan kepala biara. Aku begitu terbungkus oleh urusanku sendiri waktu itu sehingga aku tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Aku berlutut hingga dahiku menyentuh lantai. Sesantai seperti dulu, dia menghampiriku, memintaku duduk tegak dan memelukku. Kemudian dia duduk dan mengamatiku, wajahnya yang bersinar menyungging senyuman. Aku membalas senyumnya, merasakan kegembiraannya yang tulus. "Lord Otori," ucapnya. "Aku senang kau kembali pada kami dengan selamat. Aku selalu memikirkanmu selama ini. Kau telah melalui masa-masa kelam." "Semua itu belum berakhir, dan aku hendak meminta perlindunganmu selama musim dingin ini. Tampaknya semua orang mengejarku sehingga aku memerlukan tempat yang aman sambil menyiapkan diri." "Makoto telah menceritakan sedikit tentang posisimu. Kau selalu disambut di sini." "Aku harus mengatakan tujuanku. Aku bermaksud mengambil warisanku dari Otori dan menghukum orangorang yang bertanggungjawab atas kematian Lord Shigeru. Hal ini mungkin dapat membahayakan biara." "Kami sudah siap," dia menjawab dengan tenang. "Kau memperlakukan aku sangat baik, meskipun aku tidak layak menerimanya." "Kupikir kau tahu bahwa kami memiliki ikatan dengan Otori, dan kami berhutang budi padamu. Dan juga karena kami yakin pada masa depanmu." Lebih dari yang aku yakini, pikirku tanpa mengeluarkan kata-kata tersebut. Aku merasa wajahku merona. Sulit dipercaya, seorang kepala biara masih memuji-mujiku, setelah semua kesalahan yang kuperbuat. Aku merasa seperti penipu yang memakai jubah Otori, dengan rambut pendek, tanpa uang, harta, anak buah, maupun pedang. "Semua upaya diawali dengan satu tindakan," dia berkata, seolah-seolah dapat membaca pikiranku. "Dan tindakan pertamamu sudah benar, yaitu datang kemari." "Guruku, Ichiro, yang mengirimku. Dia akan kemari pada musim semi nanti. Dia menasihatiku agar mencari perlindungan Lord Arai. Aku harus memulai dari awal." Di sekitar mata Kepala Biara agak berkerut saat tersenyum. "Tidak, Tribe tak akan membiarkanmu hidup. Kau kini jauh lebih rentan. Kau tidak tahu siapa musuhmu. Tapi, kau mengetahui kekuatan mereka." "Seberapa jauh kau tahu tentang mereka?" "Shigeru pernah mengatakannya dan sering meminta nasihatku. Pada kunjungannya yang terakhir, kami bicara banyak tentangmu." "Aku tidak mendengarnya." "Dia mengatakan semua itu di dekat air terjun agar kau tidak bisa mendengarnya. Setelah itu kami pindah ke ruangan ini." "Tempat kalian membahas perang." "Dia ingin memastikan kalau biara dan kota ini akan bangkit bila lida mati. Keinginannya untuk membunuh lida pun masih bercabang, dia takut kau akan tertangkap. Seperti yang diketahui, ternyata kematian Shigeru yang memicu pemberontakan yang tidak mampu kami cegah, meskipun kami ingin melakukannya. Selain itu, Arai bersekutu dengan Shigeru, bukan dengan Otori. Jika dia mampu mengambil alih wilayah ini, maka dia akan melakukannya. Perang akan terjadi di musim panas ini." Setelah diam sejenak, dia melanjutkan, "Otori hendak mengambil tanah Shigeru dan mengumumkan bahwa pengangkatanmu sebagai Otori tidak sah. Belum puas dengan merencanakan kematian Shigeru, mereka juga ingin menjelek-jelekkan citranya. Itulah alasannya aku senang kau hendalc menuntut hakmu." "Apakah Klan Otori akan menerimaku?" aku mengulurkan tangan, telapak tanganku terlentang. "Aku tertanda sebagai Kikuta." "Kita akan bicarakan itu nanti. Kau akan kaget betapa banyak orang yang menanti kepulanganmu. Kau akan melihatnya musim semi nanti. Orang-orang akan datang mencarimu." "Ada seorang ksatria Otori mencoba membunuhku," kataku, tak yakin. "Makoto sudah ceritakan. Saat ini Klan Otori memang terpecah-belah. Shigeru tahu itu dan dia menerimanya. Keretakan itu bukan akibat perbuatan Shigeru-benih-benih perpecahan mulai muncul ketika dia menuntut kekuasaan setelah kematian ayahnya." "Kurasa kedua paman Shigeru yang bertanggung jawab atas kematiannya," ujarku, "Namun semakin aku belajar, semakin aku kaget karena mereka membiarkannya tetap hidup dalam waktu lama." "Takdir yang menentukan panjang-pendeknya hidup kita," jawabnya. "Pemimpin Otori takut pada penduduk mereka sendiri. Para petani mereka tidak mudah berubah oleh sifat dan tradisi. Mereka tak pernah benar-benar menurut, seperti halnya petani di bawah kekuasaan Tohan. Shigeru mengenal dan menghormati para petani itu, dan hasilnya, dia mendapatkan rasa hormat dan cinta mereka. Itulah yang melindunginya. Kini kesetiaan mereka dialihkan kepadamu." "Mungkin saja," kataku, "tapi ada masalah yang lebih serius: aku kini di vonis mati oleh Tribe." Raut muka Kepala Biara tetap tenang, wajahnya terlihat berwarna gading di bawah cahaya lampu. "Sudah kuduga kalau itulah alasan lain kau kemari." Aku menduga dia akan melanjutkan ucapannya tapi ternyata dia diam. Dia menatapku dengan pandangan yang penuh harapan. "Lord Shigeru menyimpan beberapa catatan," kataku, sambil berbicara hati-hati di ruangan kedap suara ini. "Catatan mengenai Tribe dan kegiatan mereka. Kuharap kau bisa memberikannya kepadaku." "Semua itu disimpan di sini untukmu," dia menjawab. "Akan kusuruh orang mengambilnya. Dan ada satu lagi yang kusimpan untukmu." "Jato," ujarku. Dia mengangguk. "Kau akan memerlukannya kelak." Dia memanggil Norio dan menyuruhnya ke ruangan penyimpanan dan mengambil sebuah peti dan pedang. "Shigeru tidak ingin mempengaruhi keputusan apa pun yang kau ambil," dia berkata, sementara aku mendengar langkah kaki Norio mengitari beranda biara. "Dia menyadari kalau dua sisi sifatmu akan menyebabkan terbelahnya kesetiaanmu. Dia cukup siap jika kau memilih sisi Kikuta. Bila demikian, tak seorang pun akan mendapatkan catatannya kecuali aku. Tapi karena kau memilih sisi Otori, maka catatan itu menjadi milikmu." "Aku telah menjual beberapa bulan dalam hidupku kepada Tribe," kataku, dengan sisa-sisa rasa jijik pada diriku sendiri. "Tak ada kemuliaan dalam pilihanku ini kecuali setelah aku melakukan apa yang menjadi keinginan Lord Shigeru. Bahkan sebenarnya ini bukan pilihan karena hidupku bersama Tribe telah berakhir. Mengenai sisi Otori, aku ini hanyalah anak angkat dan kelak akan dipertanyakan oleh semua orang." Sekali lagi, senyum menyinari wajahnya, matanya bercahaya oleh kearifan. "Keinginan Shigeru juga merupakan alasan yang baik." Aku merasa dia tahu sesuatu yang akan dibagi padaku kelak, tapi seiring pikiran yang terlintas itu, aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku tak bisa menahan rasa tegang karena itu adalah langkah Norio, agak berat kali ini-dia membawa peti dan pedang. Dia menggeser pintu agar terbuka lalu melangkah masuk sambil berlutut. Dia meletakkan peti dan pedang itu di lantai. Aku tidak memalingkan kepala tapi aku mendengar bunyi lembut dari dua benda itu. Denyut jantungku kian cepat, senang bercampur takut, karena aku akan menggenggam Jato lagi. Norio menutup pintu di belakangnya, dan sambil berlutut lagi dia meletakkan benda-benda berharga ini di depan Kepala Biara. Kedua benda ini dibungkus kain tua sehingga kekuatan isinya tersamarkan. Kepala Biara lalii mengeluarkan Jato dari kain pembungkusnya kemudian dia sodorkan kepadaku dengan dua tangan. Kuambil dengan cara yang sama, mengangkatnya ke atas kepala, dan membungkuk pada Kepala Biara, merasakan dinginnya sarung pedang yang sudah akrab di hatiku. Tak sabar aku menarik Jato dari sarungnya dan membangunkan suara bajanya, namun aku tak akan melakukan itu di hadapan Kepala Biara. Aku letakkan Jaw dengan hormat di sampingku sementara Kepala Biara membuka peti. Aroma pahit keluar dari peti itu. Aku langsung mengenalinya. Sesungguhnya peti itu yang kubawa dalam pengawasan Kenji saat berjalan ke biara, yang semula kupikir hadiah untuk kepala biara. Tidak tahukah Kenji apa isi peti ini? Kepala Biara membuka penutupnya-tidak terkunci dan aroma pahit semakin kuat. Dia mengambil salah satu gulungan kertas dan menyerahkannya padaku. "Kau harus baca ini lebih dulu. Begitulah amanat Shigeru." Saat aku mengambilnya, dia berkata dengan penuh perasaan, "Tidak kusangka saat ini akan tiba juga." Kutatap matanya. Kedua cekungan di wajah tuanya tampak secemerlang dan sehidup mata anak remaja. Dia membalas tatapanku dan aku tahu dia tidak akan kalah oleh daya kantuk Kikuta. Di kejauhan terdengar lonceng kecil berdentang tiga kali. Di benakku, aku seperti dapat melihat para biarawan berdoa dalam meditasi. Aku merasakan kekuatan spiritual dari tempat suci ini, kekuatan yang terpusat dan tercermin dalam pesona rahib tua di depanku ini. Sekali lagi aku merasakan gelombang rasa syukur, padanya, pada keyakinannya, pada Surga dan berbagai tuhan berbeda yang, meskipun bukan kepercayaanku, tapi tampaknya telah mengambil hidupku menjadi canggung jawab dan asuhan mereka. "Bacalah," dia mendesak. "Sisanya bisa kau pelajari nanti, tapi baca ini sekarang." Aku membuka gulungan kertas, mengerutkan dahi ke naskah ini. Aku mengenali tulisan Shigeru, aku mengenal nama-nama dalam tulisannya. Namaku ada di dalamnya, tapi sepertinya tidak masuk akal. Mataku naik turun membaca barisan kalimat; aku membuka gulungan sedikit lagi dan menemulcan namaku di antara lautan nama. Naskah ini adalah daftar silsilah seperti yang pernah Gosaburo ajarkan padaku di Matsue. Setelah menangkap maksudnya, aku pelajari lagi lebih dalam. Aku kembali ke tulisan pendahuluan dan membacanya sekali lagi dengan hati-hati. Kemudian aku membacanya untuk yang ketiga kalinya. Aku menatap Kepala Biara. "Benar ini?" Dia tertawa lembut. "Sepertinya benar. Kau tidak melihat wajahmu sendiri sehingga kau tidak melihat bukti di sana. Tanganmu memang Kikuta, tapi wajahmu Otori. Ibu dari ayahmu bekerja sebagai mata-mata Tribe. Tohan mempekerjakannya dan mengirimnya ke Hagi saat ayah Shigeru, Shigemori, beranjak dewasa. Kemudian terjalinlah hubungan yang tidak disetujui Tribe. Ayahmulah hasilnya. Nenekmu pastilah sangat cerdik: dia tak mem-beritahu siapa pun; dia lalu menikahi sepupunya dan anak itu dibesarkan sebagai Kikuta. "Shigeru dan ayahku kakak-beradik? Shigeru adalah pamanku?" "Sulit bagi orang lain untuk menyangkalnya, terutama melihat wajahmu. Waktu Shigeru pertama kali melihatmu, ia terkesima oleh kemiripanmu dengan adiknya, Takeshi. Tentu saja, dua orang kakak beradik akan sangat mirip. Sekarang, bila rambutmu dibiarkan lebih panjang, kau akan menjadi tiruan Shigeru saat dia muda." "Bagaimana dia menemukan ini semua?" "Beberapa keterangan dia peroleh dari dokumen keluarga. Ayahnya menduga kalau perempuan itu sedang hamil, dan sebelum meninggal dia menceritakan rahasia ini pada Shigeru. Sisanya, Shigeru yang mencari sendiri. Dia menelusuri jejak ayahmu sampai ke desa Mino dan mengetahui kalau saudaranya mempunyai seorang anak. Ayahmu pasti juga menderita konflik batin yang sama sepertimu. Meskipun dibesarkan sebagai Kikuta dan memiliki berbagai keahlian, bahkan berada di tingkat tertinggi golongan Tribe, dia masih berusaha lari dari mereka. Ini artinya ayahmu berdarah campuran dan dia tidak memiliki fanatisme Tribe sejati. Shigeru telah mengumpulkan berbagai catatan tentang Tribe sejak dia berteman dengan Muto Kenji. Mereka bertemu di Yaegahara; Kenji terjebak dalam pertempuran itu dan menyaksikan kematian Shigemori." Kepala Biara menatap Jato sekilas. "Dialah yang memperoleh kembali Jato dan memberikan pada Shigeru. Mereka mungkin telah menceritakan hal ini padamu." "Kenji pernah menyinggung hal itu," kataku. "Kenji menolong Shigeru meloloskan diri dari pasukan Iida. Waktu itu mereka masih muda; mereka pun akhirnya bersahabat. Selain bersahabat, boleh dibilang mereka bertukar informasi tentang banyak hal tanpa disengaja. Aku tidak yakin kalau Kenji mengetahui betapa misterius dan lihainya Shigeru itu." Aku terdiam. Pengungkapan ini membuatku heran, meskipun masuk akal. Darah Otori dalam diriku yang memiliki keinginan kuat untuk membalas dendam sewaktu keluargaku dibantai di Mino, darah ini pula yang telah membentuk ikatanku dengan Shigeru. Sekali lagi aku berduka pada Shigeru, berharap aku tahu hal ini lebih awal, tapi aku pun gembira karena dia dan aku berbagi keturunan yang sama, karena aku bagian dari Otori. "Berita ini memastikan kalau aku telah mengambil keputusan yang tepat," kataku akhirnya, dalam suara tercekat oleh emosi. "Tapi jika aku bangsawan Otori, seorang ksatria, maka aku harus belajar lebih banyak lagi." Aku menunjuk ke gulungan kertas di dalam peti. "Bahkan kemampuan membacaku pun masih buruk!" "Kau bisa belajar selama musim dingin ini," jawab Kepala Biara. "Makoto akan membantumu menulis dan membaca. Di musim panas kau akan pergi ke Arai untuk berlatih perang. Sementara ini, kau harus mempelajari teorinya, dan terus berlatih pedang." Dia berhenti sesaat dan tersenyum lagi. Kurasa ada kejutan lain yang dia simpan untukku. "Aku yang akan mengajarimu," ujarnya. "Sebelum melayani Sang Pencerah, aku dianggap ahli dalam masalah ini. Nama duniaku adalah Matsuda Shingen." Aku pernah mendengar nama itu. Matsuda adalah salah seorang ksatria paling termahsyur pada generasi sebelumnya, seorang pahlawan bagi pemuda Hagi. Kepala Biara tertawa ringan saat melihat rasa takjub di wajahku. "Kurasa kita akan menikmati musim dingin ini. Banyaknya latihan akan membuat kita tetap hangat. Ambil barang-barang ini, Lord Otori. Kita akan mulai latihan besok pagi. Bila kau tidak sedang belajar, kau akan bergabung dengan para biarawan untuk meditasi. Makoto akan membangunkanmu pada saat Waktu Macan*." Aku membungkuk dengan penuh rasa syukur. Dia melambaikan tangan menyuruhku pergi. "Kami hanya membayar hutang budi padamu." "Tidak," kataku. "Aku yang berhutang budi padamu. Akan kulakukan apa pun yang kau minta. Aku adalah pelayanmu." Aku berada di pintu ketika dia memanggil, "Mungkin memang ada satu hal lagi." Sambil berbalik, aku berlutut. "Apa saja!" "Panjangkan rambutmu!" dia berkata sambil tertawa. Masih kudengar tawanya saat aku mengikuti Norio kembali ke kamar. Norio membawakan peti, sedangkan aku memegang Jato. Angin agak berkurang, salju mulai lebih cair dan deras. Salju pun terdengar halus, menyelimuti gunung, mengucilkan biara dari dunia. Di dalam kamar, kasur tidur telah dibentangkan. Aku berterima kasih kepada Norio dan mengucapkan selamat malam. Dua lampu menerangi kamarku. Aku tarik Jato dari sarungnya dan memandangi mata pisaunya yang tajam, seraya memikirkan api yang telah menempanya hingga menjadi gabungan ketajaman yang lembut, kuat dan mematikan. Lipatan-lipatan di bajanya menunjukkan pola mirip-ombak yang indah. Benda ini adalah hadiah Shigeru, seperti juga nama dan hidupku. Kugenggam pedang ini dengan dua tangan dan melakukan gerakan yang Shigeru ajarkan padaku di Hagi. Jato pun bernyanyi tentang darah dan perang.* DELAPAN KAEDE telah pulang dari tempat nun jauh, lepas dari pemandangan serba merah yang dikelilingi api dan darah. Dia telah menyaksikan bayang-bayang menakutkan selama demam; kini, ia membuka mata dalam keremangan rumah orangtuanya yang terasa akrab. Seringkali, ketika menjadi tawanan di kastil Noguchi, ia bermimpi sedang berada di rumahnya sendiri, namun tak lama kemudian ia radar kalau dia masuh di kastil. Saat ini ia masih terbaring, matanya tertutup, namun ia merasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk di bagian bawah perutnya, dan berpikir mengapa dia bermimpi mencium aroma daun moxa. "Dia sudah siuman!" Suara laki-laki, suara orang asing, mengagetkannya. Kaede merasa ada sentuhan di keningnya dan ia tahu itu adalah tangan Shizuka, tangan yang dingin dan kokoh itulah yang terlintas di benaknya selain rasa takut. Tampaknya hanya itu yang bisa ia ingat. Sesuatu telah terjadi pada dirinya, namun ia mengelak untuk memikirkannya. Ia teringat saat ia jatuh. Ia pasti terjatuh dari Raku, kuda abu-abu pemberian Takeo. Ya, ia pasti telah terjatuh dan kehilangan anaknya. Mata Kaede bersimbah air mata. Ia sadar sedang tidak berpikir jernih, tapi ia juga tahu anaknya telah tiada. Ia merasakan tangan Shizuka tidak di keningnya lagi, tapi kemudian pelayannya itu kembali dan menempelkan kain hangat untuk mengelap wajah Kaede. "Lady!" ujar Shizuka, "Lady Kaede." Kaede mencoba menggerakkan tangan, tapi tangannya tidak bisa digerakkan. Di tangannya terasa ada sesuatu yang ditusuk-tusuk. "Jangan bergerak dulu," kata Shizuka. "Tabib dari Lord Fujiwara, Ishida, sedang merawatmu. Kau akan sembuh. Jangan menangis, Lady." "Kondisi ini normal," Kaede mendengar tabib itu berkata. "Mereka yang nyaris mendekati kematian selalu menangis ketika pulih, entah karena bahagia atau sedih. Aku tak pernah tahu." Kaede pun tak tahu. Ketika berhenti menitikkan air mata, ia pun tertidur. Selama beberapa hari ia tidur, bangun, makan sedikit, dan tidur lagi. Lalu tidurnya berkurang, namun ia tetap berbaring dengan mata tertutup sambil mendengarkan berbagai kegiatan di rumah. Ia mendengar suara Hana yang telah mendapatkan kembali kepercayaan diri, suara lembut milik Ai, nyanyian dan omelan Shizuka pada Hana yang terus mengikuti sambil berusaha menyenangkan. Inilah kediaman para perempuan-tanpa laki-laki-perem puan yang menyadari bahwa mereka di ambang jurang kehancuran namun masih mampu bertahan. Musim gugur lambat-laun berubah menjadi musim dingin. Satu-satunya laki-laki di rumah ini adalah si tabib yang menempati paviliun tamu dan setiap hari datang melihat kondisi Kaede. Laki-laki itu bertubuh kecil dan cekatan, dengan jari yang panjang dan suara pelan. Kaede mulai mempercayainya, merasa kalau tabib itu tidak menghakiminya. Tabib itu tidak menilai baik atau buruk tentang dirinya, sesungguhnya dia memang tidak memikirkan halhal seperti itu. Tabib itu hanya menginginkan kesembuhan dirinya. Ichida menggunakan teknik-teknik yang dia pelajari dari tanah daratan, dengan menggunakan jarum perak dan emas, serta salep daun mugwort yang dioleskan di kulit, dan teh rebus dari kulit pohon willow. Dia adalah orang pertama dari tanah daratan yang pernah Kaede temui. Terkadang Kaede berbaring dan mendengar dia sedang bercerita pada Hana tentang hewan yang pernah dia lihat, paus raksasa di laut, dan beruang serta harimau di darat. Ketika Kaede mampu bangun dan berjalan keluar, Ishida menyarankan agar dilakukan upacara bagi anak yang telah meninggal. Kaede pun dibawa ke biara dengan tandu, dan ia berlutut di depan kuil untuk menyembah Jizo, dewa penjaga bayi air yang mati sebelum dilahirkan. Ia berduka atas hidup anaknya yang begitu singkat. Aku tidak akan melupakanmu, Kaede berjanji dalam hati, dan berdoa akan melewati cara yang lebih aman lain kali. Ia merasakan arwah anaknya aman sampai ia bisa melanjutkan hidup ini. Kaede pun melakukan doa yang sama bagi anak Shigeru, menyadari bahwa dialah satu-satunya orang selain Shizuka yang mengetahui masa singkat keberadaan anak itu. Air mata Kaede berlinang lagi, tapi ketika kembali ke rumah, ia merasakan beban yang berat sudah terangkat. "Kau harus melanjutkan hidupmu," kata tabib Ishida. "Kau masih muda, kelak kau akan menikah dan punya anak lagi." "Aku ditakdirkan untuk tidak menikah," jawab Kaede. Ishida tersenyum, menganggap Kaede sedang bergurau. Tentu saja, pikir Kaede, ucapannya hanya gurauan. Perempuan yang berada di posisinya, di klasnya selalu menikah, atau dinikahkan dengan siapa pun yang dianggap dapat menjadi sekutu yang menguntungkan. Tapi pernikahan seperti itu direncanakan oleh orangtua atau pemimpin klan atau penguasa lain, dan dirinya tanpa disangka-angka terbebas dari mereka semua. Ayahnya telah tiada. Klan Seishuu, klan yang membawahi keluarga Maruyama dan Shirakawa, terlalu sibuk mengurus kericuhan yang terjadi setelah jatuhnya Tohan serta kemunculan Arai yang tak diduga. Siapa yang akan memberitahukan apa yang harus ia lakukan? Apakah Arai? Haruskah ia bersekutu dan mengakui Arai sebagai atasannya? Lalu apa untung-ruginya? "Kau tampak sangat serius," kata tabib itu. "Boleh aku tahu apa yang menyita pikiranmu. Kau seharusnya rileks." "Aku harus memutuskan apa yang akan kulakukan," ujar Kaede. "Sebaiknya kau jangan melakukan apa pun hingga kau lebih kuat. Musim dingin sudah dekat. Kau harus beristirahat, makan yang cukup, dan berhati-hati agar tidak kedinginan." Aku harus mengkonsolidasi wilayahku, menghubungi Sugita Hiroki di Maruyama dan menyatakan maksudku untuk mengambil tahta warisanku, dan mencari uang dan makanan bagi anak buahku, pikir Kaede, namun ia tidak mengatakannya pada Ishida. Ketika Kaede semakin kuat, ia mulai memperbaiki rumah sebelum salju tiba. Semuanya dibersihkan, alas lantai baru dihamparkan, jendela diperbaiki, genteng dan sirap diganti. Taman dirawat kembali. Ia hanya memiliki sedikit uang untuk membayar semua itu, tapi ia mendapatkan orang yang mau bekerja dengan janji pembayaran di musim semi, dan setiap harinya ia belajar lebih banyak tentang bagaimana satu tatapan atau nada bicara bisa membuatnya meraih pengabdian mereka. Kaede masuk ke ruangan ayahnya untuk memanfaatkan buku-buku yang ada dengan bebas. Ia membaca dan melatih setiap waktu, sampai Shizuka, yang cemas akan kesehatannya, membawa Hana untuk datang mengganggu. Kemudian Kaede pun bermain dengan adiknya, mengajarinya membaca dan menulis. Di bawah asuhan Shizuka yang tegas, keliaran Hana mulai berkurang. Dia pun haus belajar seperti halnya Kaede. "Kita harusnya terlahir sebagai laki-laki," Kaede menghela napas panjang. "Sehingga ayah bangga," ujar Hana. Lidahnya ditekan di gigi atas saat dia berkosentrasi pada huruf-huruf. Kaede tidak menjawab. Ia tak pernah membicarakan ayahnya dan berusaha talc memikirkan itu. Kaede bahkan tidak bisa lagi membedakan secara jelas antara apa yang sebenarnya terjadi saat ayahnya mati dan bayangan akibat demam dalam sakitnya. Ia tidak bertanya pada Shizuka maupun Kondo, ia takut pada jawabannya. Ia hendak ke biara, melakukan upacara berduka, dan memesan nisan batu yang bagus untuk makam ayahnya, namun ia masih takut pada hantu ayahnya yang melayang-layang dalam demamnya. Meskipun berpegang pada pikiran, Aku tidak melakukan sesuatu kesalahan, Kaede tidak dapat mengingat ayahnya tanpa denyutan rasa malu yang ditutupinya dengan marah. Ayahku lebih membantuku saat dia mati daripada hidup, Kaede memutuskan, dan biarlah orang tahu kalau ia sedang berusaha memulihkan nama Shirakawa atas permintaan ayahnya. Ketika Shoji datang setelah masa berduka dan mulai memeriksa dokumen serta catatan keuangan, Kaede merasa ada ketidaksenangan dalam sikap Shoji. Kondisi keuangan yang parah dimanfaatkan Kaede untuk marah-marah agar laki-laki itu takut. Sulit dipercaya semua urusan dibiarkan rusak begitu parah. Tampaknya mustahil untuk menjamin kecukupan makanan bagi adik, pelayanan serta pengawal, apalagi untuk orang lain. Itulah kekhawatiran utama Kaede. Bersama Kondo, Kaede memeriksa baju besi dan persenjataan, dan memberi instruksi untuk perbaikan yang diperlukan atau pemesanan barang pengganti. Ia mulai mengandalkan pengalaman dan penilaian Kondo. Laki-laki itu mengusulkan agar ia menentukan ulang batas wilayah untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan juga untuk meningkatkan kemampuan bertarung pengawal. Kaede menyetujuinya, instingnya memberi tahu kalau ia harus menjaga agar anak buahnya tetap bekerja dan bersemangat. Untuk pertama kalinya ia bersyukur atas tahun-tahunnya di kastil Noguchi, karena ia menyadari betapa banyak yang dipelajarinya tentang para pengawal dan persenjataan. Sejak itu, Kondo sering kali berkuda keluar ditemani lima atau enam orang, sekaligus memanfaatkan perjalanan mereka untuk membawa pulang informasi. Kaede menyuruh Kondo dan Shizuka membiarkan beberapa informasi terdengar di antara para laki-laki: seperti persekutuan dengan Arai, rencana untuk mengambil alih Maruyama di musim semi mendatang, serta kemungkinan adanya perbaikan dan kesejahteraan. Kaede belum bertemu Lord Fujiwara sejak ia sembuh, meskipun orang itu mengiriminya hadiah burung puyuh, buah persimmon yang dikeringkan, sake, dan pakaian berlapis kapas yang hangat. Ishida telah kembali ke rumah bangsawan itu dan Kaede yakin tabib itu akan memberitahukan kesehatan dirinya yang membaik karena tabib itu pasti tidalc berani menyimpan rahasia dari sang bangsawan. Kacde tidak mau menemui Fujiwara. Ia merasa malu karena telah menipu orang itu, tapi ia lega karena tak harus bertatap muka lagi dengannya. Minat Fujiwara membuat ia takut dan jijik, seperti ketidaksukaannya pada kulit putih dan mata elang laki-laki itu. "Dia itu sekutu yang berguna," kata Shizuka. Mereka sedang di taman, mengawasi digantinya lentera batu yang rusak. Kala itu, hari dingin namun cerah. Kaede sedang mengamati sepasang burung ibis di sawah. Bulu musim dingin mereka yang berwarna merah muda kontras menyinari bumi putih. "Selama ini dia memang baik padaku," ujar Kaede. "Aku berhutang nyawa padanya, melalui tabib Ishida. Tapi bukan masalah bagiku bila tidak lagi melihatnya." Burung ibis saling mengejar melalui kubangan yang ada di sudut sawah, paruh berlekuk mereka mengadukaduk air lumpur. "Lagipula," Kaede menambahkan, "Aku telah cacat di matanya. Dia pasti membenciku kini." Shizuka tak memberitahukan tentang keinginan bangsawan itu untuk menikahi Kaede. "Kau harus segera memutuskan," kata Shizuka pelan. "Bila tidak, kita akan kelaparan sebelum musim semi." "Aku enggan mendekati siapa pun," ujar Kaede. "Aku tak boleh terlihat seperti pengemis, putus asa dan miskin. Aku harus ke Arai pada akhirnya, namun kurasa itu bisa menunggu hingga musim dingin berakhir." "Aku yakin burung mulai bersiap-siap sebelum musim dingin," kata Shizuka. "Arai akan mengutus orang kemari, kuharap." "Dan bagaimana denganmu, Shizuka?" kata Kaede. Pilar sudah tepat di posisinya dan lentera baru sudah pada tempatnya. Malam ini ia akan menyalakannya sehingga taman akan terlihat cantik di bawah langit yang cerah. "Apa yang akan kau lakukan? Kurasa kau tak akan bersamaku selamanya, kan? Kau pasti punya urusan lain. Bagaimana dengan anak-anakmu? Kau pasti merindukan mereka. Dan bagaimana tanggung jawabmu pada Tribe?" "Tak ada yang lebih penting saat ini selain menjaga kepentinganmu," balas Shizuka. "Apakah mereka akan ambil anakku seperti mereka mengambil Takeo?" tanya Kaede, lalu segera menambahkan, "Oh, jangan di jawab, tak ada gunanya sekarang." Ia merasa air matanya mengancam hendak menetes dan ia pun menekan bibirnya keras-keras. la terdiam sejenak, "Kurasa kau tetap mengirim kabar tentang tindakan dan keputusanku juga, kan?" "Aku sering mengirim pesan pada pamanku. Misalnya, waktu kau sakit parah. Dan aku akan mengabari bila ada perkembangan baru, apa pun itu: semisal kau memutuskan untuk menikah lagi, hal-hal semacam itu." "Aku tak akan lakukan hal itu." Seiring cahaya sore mulai pupus, bulu merah jambu burung ibis bersinar lebih terang. Sore itu sangat syahdu. Kini para pekerja telah selesai, taman tampak lebih tenang. Dalam keheningan, Kaede mendengar lagi janji dewi putih. Bersabarlah. Aku tak akan menikah kecuali dengan Takeo, Kaede bersumpah lagi. Aku akan bersabar. Hari itu adalah hari terakhir matahari bersinar. Cuaca beranjak lembab dan dingin. Beberapa hari kemudian Kondo kembali dari tugas kelilingnya di tengah-tengah badai hujan. Seraya bergegas turun, dia memanggil para perempuan penghuni rumah. "Ada beberapa orang asing di jalan, anak buah Lord Arai, jumlahnya lima atau enam orang, berkuda." Kaede menyuruhnya mengumpulkan sebanyak mungkin laki-laki, untuk memberi kesan bahwa ia mempunyai banyak pengikut. "Katakan pada pelayan untuk menyiapkan makanan," perintah Kaede pada Shizuka. "Usahakan agar semua yang kita miliki terlihat mewah. Kita harus terlihat makmur. Bantu aku mengganti pakaian, dan panggil adik-adikku. Setelah itu kau harus bersembunyi." Kaede lalu mengenakan kimono pemberian Fujiwara yang paling mewah sambil mengingat seperti yang sering ia lakukan, hari ketika ia menjanjikan kimono ini akan diberikan pada Hana. Dia akan mendapatkan kimono ini bila sudah pas di badannya, pikirnya, dan aku bersumpah bahwa aku ada di sana untuk melihat dia memakai kimono ini. Hana dan Ai masuk ke kamar, Hana berceloteh kegirangan, dan melompat-lompat agar tetap hangat. Ayame mengikuti dengan membawa tungku. Kaede terperanjat ketika melihat penuhnya arang di tungku itu: mereka pasti akan lebih kedinginan ketika anak buah Arai pergi. "Siapa yang datang?" tanya Ai gugup. Sejak kematian ayah mereka dan sakitnya Kaede, dia menjadi lebih rapuh seakan pukulan beruntun itu membuat dia lemah. "Anak buah Arai. Kita harus memberi kesan bagus. Itulah kenapa aku meminjam pakaian Hana dulu." "Jangan dikotori, kak," Hana berkata, sambil menjerit saat Ayame menyisir rambutnya. Biasanya ia memakai kimono itu dengan mengikatnya ke belakang. Bila tidak diikat akan lebih panjang dari ukuran tubuh Hana. "Apa yang mereka inginkan?" Ai nampak pucat. "Kuharap mereka akan mengatakannya pada kita," jawab Kaede. "Apakah aku juga harus ikut menyambut mereka?" Ai menawar. "Ya, pakailah kimono pemberian Lord Fujiwara yang lain dan bantulah Hana berpakaian. Kita semua harus ada di sini ketika mereka tiba." "Mengapa?" Hana berkata. Kaede tidalc menjawab. Ia pun tidak tahu alasannya. Ia tiba-tiba mendapat bayangan mereka bertiga di rumah sunyi ini, tiga anak perempuan Lord Shirakawa, terpencil, cantik, berbahaya... itulah yang harus mereka tampilkan di hadapan para ksatria utusan Arai. "Sang Pengampun, Sang Pengasih, bantulah aku," Kaede berdoa pada Dewi Putih, saat Shizuka mengikatkan tali pinggang dan merapikan rambutnya. Kaede lalu mendengar derap kuda di sisi luar gerbang, juga mendengar Kondo berteriak selamat datang. Suaranya mantap mencerminkan nada sopan dan percaya diri, dan Kaede bersyukur atas kemahiran bersandiwara Tribe dan berharap dirinya dapat berperan sama baiknya. "Ayame, tunjukkan paviliun kita kepada para tamu," perintah Kaede. "Sajikan mereka teh dan makanan. Sajikan teh terbaik dan perangkat minum yang paling bagus. Bila mereka selesai makan, mintalah pemimpin mereka datang menemuiku. Hana, bila kau sudah siap, datang dan duduklah di sebelahku." Shizuka membantu Ai memakai kimono, dan dengan cepat menyisiri rambutnya. "Aku akan bersembunyi di tempat aku bisa mendengarkan," bisiknya. "Tutuplah jendela sebelum pergi," ujar Kaede. "Kita akan memasuki matahari terakhir." Karena hujan telah reda dan matahari menyorotkan sinar keperakan tak menentu ke taman dan ke dalam ruangan. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Hana, sambil berlutut di samping Kaede. "Ketika tamu masuk, kita harus membungkuk bersamaan. Dan tampillah secantik mungkin dan duduk tanpa bergerak saat aku bicara." "Itu saja?" Hana kecewa. "Amati mereka; pelajari mereka tanpa menunjukkannya dengan jelas. Kau dapat menceritakan padaku apa yang kau pelajari tentang mereka setelah itu. Kau juga, Ai. Kalian tidak boleh bereaksi apa pun-kalian harus diam seperti patung." Ai datang dan berlutut di sisi lain Kaede. Dia gemetar namun tetap mampu menenangkan diri. Sinar mentari mengalir ke dalam ruangan, melatari butiran debu yang menari dan menyinari ketiga gadis. Gemuruh air terjun di taman yang baru dijernihkan kian keras akibat hujan. Terlihat sebuah bayangan menyala biru saat burung kingfisher menyelam dari batu karang. Dari ruang tamu terdengar suara-suara bergumam. Kaede merasa dapat mencium aroma mereka yang tak biasa. Ini membuatnya tegang. Ia meluruskan punggung, pikirannya berubah beku. la harus menghadapi kekuatan mereka dengan kekuatannya sendiri. Ia mendengar Ayame mengatakan bahwa Lady Shirakawa akan menerima mereka sekarang. Tak lama kemudian, pemimpin mereka dan salah satu pendampingnya mendekati rumah utama kemudian melangkah ke beranda. Ayame berlutut di tepi beranda dan si pendamping turut berlutut di luar. Waktu laki-laki lainnya melintasi pintu, Kaede membiarkan orang itu melihat mereka bertiga, dan kemudian membungkuk hingga dahinya menyentuh lantai. Hana dan Ai juga melakukannya tepat di saat bersamaan. Ketiga gadis itu duduk tegak bersamaan. Ksatria itu duduk dan memperkenalkan diri, "Saya Akita Tsutomu dari Inuyama. Saya utusan Lord Arai." Kaede membungkuk dan tetap seperti itu, kemudian berkata, "Selamat datang Lord Akita. Aku menghargai kedatanganmu yang telah menempuh perjalanan sulit, dan juga pada Lord Arai karena telah mengutusmu. Aku tidak sabar untuk mengetahui apa yang dapat kulayani beliau." Kaede lalu menambahkan, "Silakan duduk tegak." Akita mengangkat kepala, sementara Kaede menatap lurus ke arahnya. Ia tahu perempuan harus menjaga mata mereka tetap menunduk di depan laki-laki, namun ia tidak merasa dirinya seorang perempuan. Ia bertanya-tanya di dalam hati apakah ia akan menjadi perempuan kembali. Ia menyadari kalau Hana dan Ai juga menatap dengan cara yang sama, sorot misterius, sulit terbaca. Akita Tsutomu sudah separuh baya, rambutnya masih hitam namun mulai menipis. Hidungnya kecil, agak bengkok, seperti paruh burung sehingga membuat wajahnya terlihat serakah, namun diimbangi oleh bibir agak tebal yang menarik. Noda-noda memenuhi pakaian orang itu yang terbuat dari bahan berkualitas bagus. Tangannya persegi, jarinya pendek, dengan ibu jari yang renggang, kuat. Kaede menduga dia pastilah orang yang realistis, sekaligus perencana yang licik. Tak ada yang bisa dipercaya pada orang ini. "Lord Arai menanyakan kesehatan lady," dia berkata, seraya menatap mereka semua, lalu kembali menatap Kaede. "Menurut kabar, lady kurang sehat." "Aku sudah pulih," Kaede menjawab. "Sampaikan rasa terima kasihku pada Lord Arai atas perhatiannya." Laki-laki itu agak mengangkat kepala. Dia nampak gelisah, seolah-olah dia lebih suka berada di rumah yang di kelilingi laki-laki ketimbang perempuan, tidak terlalu yakin bagaimana cara bicara. Kaede ingin tahu berapa banyak yang orang itu dengar tentang keadaannya, apakah orang itu tahu penyebab penyakitnya. "Kami turut berduka mendengar kematian Lord Shirakawa," dia melanjutkan. "Lord Arai mencemaskan kurangnya perlindungan bagi Anda dan ingin menjelaskan bahwa beliau ingin bersekutu dengan Anda." Hana dan Ai saling bertukar pandang, lalu memulai lagi tatapan tanpa suara mereka. Tampaknya ini membuat Akita lebih gelisah. Orang itu membasahi kerongkongannya. "Itulah alasannya Lord Arai ingin mengundang Anda beserta adik-adik Anda ke Inuyama untuk membahas persekutuan dan masa depan lady." Tak mungkin, pikir Kaede, kemudian berkata sambil tersenyum samar. "Tak ada yang memberiku kesenangan terbesar seperti ini. Namun kondisiku belum cukup kuat untuk melakukan perjalanan jauh dan, karena kami masih berkabung, tidak pantas rasanya kami bepergian. Saat ini adalah akhir tahun. Kami akan berkunjung ke Inuyama di musim semi. Sampaikan pada Lord Arai bahwa aku ingin persekutuan ini tidak retak. Aku berterimakasih atas perlindungan beliau. Aku akan tetap mengabarkan setiap keputusanku." Sekali lagi tatapan antara Hana dan Ai menyala menembus ruangan ibarat kilat. Sungguh mencengangkan, pikir Kaede dan tiba-tiba saja ia ingin tertawa. Akita berkata, "Saya harus memaksa Lady Shirakawa ikut bersama saya." "Tak mungkin," jawab Kaede, membalas tatapan laki-laki itu dan menambahkan, "Kau tidak berhak memaksa aku melakukan apa pun." Kemarahan Kaede mengejutkan laki-laki itu. Rona merah menyebar di lehernya dan merambat naik ke tulang pipinya. Hana dan Ai mencondongkan badan ke depan, dan tatapan mereka semakin kuat. Matahari bergerak ke balik awan, menggelapkan ruangan, dan kemudian terjadi hujan mendadak. Rangkaian lonceng angin bambu mendendangkan nada hampa. Akita berkata, "Maaf. Tentu saja Anda harus melakukan apa yang terbaik bagi Anda." "Aku akan ke Inuyama di musim semi ini," Kaede mengulangi. "Sampaikan itu pada Lord Arai. Kau boleh menginap malam ini, tapi kau harus pergi esok pagi agar tiba di Inuyama sebelum musim dingin." "Lady Shirakawa." Akita Tsutomu membungkuk. Saat dia mundur dengan berlutut, Kaede bertanya, "Siapa saja yang mendampingmu?" Kaede berkata kasar, membiarkan ketidaksabarannya terdengar dalam suaranya, instingnya mengatakan bahwa ia telah menguasai orang itu. Sesuatu mengenai tempat ini, adik-adiknya, dan sikapnya sendiri telah membuat orang itu gentar. Kaede seakan mencium ketakutan orang itu. "Keponakan saya Sonoda Mitsuru, dan tiga orang pengawal." "Tinggalkan keponakan Anda di sini. Dia bisa membantu tugasku selama musim dingin dan mendampingi kami ke Inuyama. Dialah yang akan menjadi jaminan atas kejujuranmu." Laki-laki itu menunduk, terperanjat karena permintaan itu, tapi, pikir Kaede, laki-laki mana pun di posisinya akan menuntut hal yang sama. Bila pemuda itu ada di sini, pamannya kemungkinan kecil akan menipu atau sebaliknya, memfitnahnya di depan Arai. "Kepercayaan di antara kita adalah simbol rasa percaya pada Lord Arai," kata Kaede, suaranya lebih tidak sabar saat melihat orang itu ragu-ragu. "Saya tidak melihat alasan mengapa keponakanku tidak boleh tinggal di sini," Akita menyerah. Aku punya tawanan, pikir Kaede, dan merasa takjub atas sensasi kekuatan yang ia peroleh. Kaede membungkuk, Hana dan Ai menirunya, sedangkan laki-laki itu diam tak berdaya di hadapan mereka. Hujan masih turun ketika Akita pergi, namun matahari berjuang untuk menampakkan diri, mengubah tetesan air yang melekat di dahan yang tak berdaun dan dedaunan di akhir musim gugur menjadi serpihan warna pelangi. Sebelum memasuki kamar tamu, Akita berbalik untuk melihat mereka kembali. Ketiga orang gadis itu duduk tak bergerak hingga Akita hilang dari pandangan. Matahari pun menghilang dan hujan menetes. Ayame berdiri dari tempat dia duduk di kegelapan dan menutup jendela. Kaede memeluk Hana. "Apakah aku melakukannya dengan baik?" Hana bertanya dengan tatapan penuh perasaan. "Sungguh cerdas, nyaris seperti sihir. Tapi pandangan apa di antara kalian tadi?" "Kami seharusnya tidak melakukan itu," kata Ai, malu. "Sungguh kekanak-kanakan. Kami biasa melakukannya saat Ibu atau Ayame sedang mengajari kami. Hana yang memulainya. Kami tidak pernah melakukan itu di depan ayah. Sedangkan melakukan tindakan ini di depan seorang ksatria besar.... " "Itulah yang terjadi," Hana berkata, tertawa. "Dia tidak menyukainya, kan? Kedua matanya bergerak-gerak panik dan dia mulai gelisah." "Dia hampir sejajar dengan bangsawan besar," Kaede berkata. "Arai pasti telah mengutus orang yang berasal dari kelas yang lebih tinggi." "Jadi kau akan memenuhi permintaannya? Apakah kita akan ikut dengannya ke Inuyama?" "Meskipun Arai yang datang, aku tidak akan melakukan itu," balas Kaede. "Aku akan selalu membuat dia menungguku." "Mau tahu apa lagi yang kuperhatikan?" tanya Hana. "Katakan." "Lord Akita takut padamu, kak." "Matamu sungguh tajam," kata Kaede sambil tertawa. "Aku tidak mau pergi," Ai berkata. "Aku tidak akan meninggalkan rumahku ini." Kaede menatap adiknya dengan iba. "Kelak kau akan menikah. Kau harus pergi ke Inuyama tahun depan dan tinggal di sana selama beberapa waktu." "Apakah aku juga akan menikah?" tanya Hana. "Mungkin saja," jawab Kaede. "Banyak orang yang ingin menikahimu." Demi kepentingan persekutuan denganku, pikir Kaede sedih karena ia harus memanfaatkan adiknya seperti itu. "Aku mau pergi asalkan Shizuka ikut bersama kita," Hana mengumumkan. Kaede tersenyum dan memeluknya lagi. Tak ada guna mengatakan pada Hana kalau Shizuka tak aman pergi ke Inuyama selama Arai di sana. "Pergi dan minta Shizuka kemari. Ayame, sebaiknya kau lihat makanan apa yang dapat disajikan pada tamu malam ini." "Aku lega kau menyuruh mereka pergi besok," ujar Ayame. "Kita tak bisa memberi makan mereka lebih lama lagi. Mereka terbiasa makan enak." Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala. "Walau harus kukatakan, Lady Kaede, ayahmu pasti tak menyetujui tindakanmu ini." "Kau tidak perlu mengatakannya," Kaede langsung menjawab. "Dan jika kau ingin tetap di rumah ini, jangan pernah mengatakan itu lagi." Ayame tersentak mendengarnya. "Lady Shirakawa," dia berkata lemah, lalu mundur sambil berlutut. Shizuka datang membawa lampu karena hari hampir gelap. Kaede menyuruh adik-adiknya pergi mengganti pakaian. "Seberapa banyak yang kau dengar?" tanya Kaede ketika kedua adiknya telah pergi. "Cukup banyak, dan Kondo memberitahukan apa yang Lord Akita katakan setelah kembali ke paviliun. Dia pikir ada kekuatan supernatural di rumah ini. Kau membuatnya gentar. Dia mengibaratkan kau dengan laba-laba musim gugur, keemasan dan mematikan, yang merajut jaring kecantikan untuk memikat laki-laki." "Cukup puitis," Kaede menanggapi. "Ya, Kondo juga beranggapan begitu!" Kaede bisa membayangkan sinar sinis di mata Kondo. Kelak, janjinya pada diri sendiri, Kondo tidak akan menatap dengan sinis. Kondo akan menganggap dirinya secara serius. Mereka semua akan begitu, semua laki-laki yang merasa sangat kuat. "Dan tawananku, Sonoda Mitsuru, apakah dia juga takut?" "Tawananmu!" Shizuka tertawa. "Betapa beraninya kau mengusulkan itu?" "Apakah aku salah?" "Tidak, justru sebaliknya, itu membuat mereka percaya kalau kau jauh lebih kuat dari yang mereka duga. Anak muda itu agak cemas ditinggal di sini. Di mana kau akan menaruhnya?" "Shoji dapat membawa pemuda itu ke rumahnya. Aku tidak mau dia di sini." Kaede berhenti, lalu melanjutkan dengan sisa-sisa nada pedih, "Dia akan mendapat perlakuan yang lebih baik ketimbang aku dulu. Tapi bagaimana denganmu? Dia tak akan membahayakanmu, kan?" "Arai pasti tahu aku masih bersamamu," kata Shizuka. "Aku tidak melihat bahaya dari pemuda ini. Pamannya, Lord Akita, pasti akan berhati-hati agar tidak membuatmu kesal. Kekuatanmu yang melindungiku-melindungi kita semua. Arai mungkin berharap kau sedang bingung dan putus asa mencari pertolongannya. Tapi dia akan mendengar cerita yang jauh berbeda. Sudah aku katakan, burung-burung akan berkumpul." "Jadi, siapa lagi yang akan datang?" "Aku yakin ada yang datang dari Maruyama sebelum awal musim dingin, sebagai jawaban atas pesan Kondo." Kaede pun berharap seperti itu, pikirannya sering kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Lady Maruyama, dan janji yang ia buat. Ayahnya pernah mengatakan kalau ia harus berjuang untuk mendapatkan tahta warisan itu, namun ia tidak tahu siapa musuhnya atau bagaimana cara berperang. Siapa yang akan mengajarinya melakukan itu; siapa yang akan menjadi pemimpin perang atas namanya? Kaede mengucapkan salam perpisahan pada Akita dan anak buahnya keesokan harinya, merasa bersyukur karena masa inap yang singkat. Kaede kemudian memanggil Shoji menitipkan keponakan Akita padanya. Kaede menyadari pengaruhnya pada pemuda itu- dia tak bisa melepaskan tatapannya dan juga gemetar di depan Kaede-tapi pemuda itu tidak membuatnya tertarik sama sekali, selain sebagai tawanannya. "Buatlah pemuda itu sibuk," Kaede memerintahkan Shoji. "Perlakukan dia dengan baik dan penuh hormat, tapi jangan biarkan dia tahu banyak tentang urusan kita." Beberapa minggu kemudian muncul serombongan orang di depan gerbang. Kabar tentang Kaede yang sedang mencari prajurit telah disebar. Mereka datang sendiri, berdua dan bertiga, tapi tidak dalam kelompok besar. Mereka ini adalah orang yang pemimpinnya mati atau dicabut kekuasaannya, menjadi sisa-sisa pasukan yang tersebar. Kaede dan Kondo yang memutuskan apakah akan menerima atau tidak-ia tak ingin mendapatkan bandit atau orang bodoh-tapi, banyak di antara mereka yang tidak ditolak karena sebagian besar adalah para petarung yang berpengalaman dan akan menjadi kekuatan inti pasukannya bila musim semi tiba. Meskipun begitu, Kaede cemas tak mampu memberi makan dan mempertahankan mereka semua selama musim dingin yang panjang. Beberapa hari kemudian, sebelum titik balik matahari, Kondo datang membawa kabar yang sedang Kaede nanti-nantikan. "Lord Sugita dari Maruyama datang bersama beberapa orang anak buahnya." Kaede menyambut mereka dengan gembira. Mereka sangat menghormati Lady Maruyama dan terbiasa melihat perempuan sebagai pemimpin. Kaede memperlihatkan rasa senang saat bertemu Sugita, mengenang saat perjalanan ke Tsuwano. Orang ini dulu meninggalkan rombongan Kaede dan Lady Maruyama untuk kembali ke Maruyama guna meyakinkan wilayahnya tidak diserang dan tidak direbut selama kepergian sang Lady. Dengan diliputi rasa sedih akan kematian pemimpinnya, Sugita memohon agar amanat Lady Maruyama dapat dipenuhi. Sebagai orang yang sangat realistis, dia juga membawa beras dan beberapa persediaan lain. "Aku tak mau menambah bebanmu," dia mengatakan pada Kaede. "Itu bukanlah beban berat sehingga kami tak bisa memberi makan teman lama," Kaede berbohong. "Hampir semua orang kesulitan di musim salju ini," balas Sugita muram. "Badai, kematian Iida, kampanye Arai-panen yang gagal." Kaede mengundang Sugita makan bersama, kegiatan yang tidak pernah dilakukannya dengan siapa pun karena ia menyerahkan urusan itu pada Shoji dan Kondo. Mereka berbincang-bincang singkat tentang kejadian di Inuyama, lalu membahas tentang kepemimpinan Maruyama. Dia memperlakukan Kaede dengan hormat, dengan keakraban penuh kasih sayang seolah-olah dia adalah paman atau sepupu. Kaede merasa nyaman bersamanya: Orang ini tidak terancam oleh keberadaan dirinya. Bahkan sebaliknya, dia menanggapi Kaede dengan serius. Setelah selesai makan dan hidangan telah dibereskan, Sugita berkata, "Tuanku ingin kau yang memimpin Maruyama. Aku gembira mendapat pesan bahwa kau hendak menerima warisanmu. Aku kemari untuk memberitahukan kalau aku akan membantumu: kami semua akan membantumu. Kita seharusnya mulai merencanakan sebelum musim panas." "Begitulah niatku, dan aku memerlukan semua bantuan yang bisa kudapat," balas Kaede. "Aku belum tahu bagaimana mengaturnya. Apakah aku langsung mengambil alih tanah Maruyama? Milik siapakah wilayah itu kini?" "Milikmu," katanya. "Kaulah pewarisnya dan itu pula yang menjadi harapan kami. Namun beberapa orang akan mengklaimnya: pesaing utamamu adalah saudara tiri Lady Maruyama yang menikahi sepupu Lord Iida. Arai tak mampu melengserkannya dan dia pun memiliki pasukan besar-gabungan antara pasukan Tohan yang kabur dari kastil Noguchi ketika mengalami kejatuhan, dan para pembelot Seishuu yang tidak melihat alasan mengapa mereka harus mematuhi Arai. Mereka semua menghabiskan musim dingin di barat jauh, tapi mereka akan bergerak ke Maruyama musim semi ini. Bila tidak bertindak cepat dan berani, wilayah Maruyama akan direbut dan dihancurkan." "Aku telah berjanji pada Lady Naomi untuk mencegah hal itu terjadi," kata Kaede, "Tapi waktu itu aku tak tahu apa yang kujanjikan dan bagaimana mewujudkannya." "Banyak orang yang bersedia membantumu," kata Sugita, seraya mencondongkan badan ke depan dan berbisik. "Aku diutus oleh tetua untuk meminta agar kau datang, dan segera. Maruyama makmur selama dipimpin Lady Naomi; kami semua mendapatkan cukup makanan dan bahkan orang paling miskin pun bisa memberi makan anaknya. Kami mengadakan hubungan dagang dengan tanah daratan, membuka tambang perak dan tembaga, dan mendirikan banyak industri kecil. Persekutuan antara Lord Arai, Lord Otori Shigeru dan Maruyama pasti akan memperluas kemakmuran di seluruh wilayah Tengah. Kami ingin menyelamatkan persekutuan ini sejauh yang kami mampu." "Aku berencana mengunjungi Lord Arai musim semi ini," ujar Kaede. "Untuk meresmikan persekutuan kami." "Kalau begitu, salah satu tugasmu yaitu membujuknya untuk mengakui hakmu atas Maruyama. Hanya Arai yang cukup kuat untuk memaksa saudara tiri Lady Naomi dan suaminya agar mundur tanpa berperang. Dan jika terjadi perang, hanya pasukan Arai yang cukup besar untuk mengalahkan mereka. Kau harus bergerak cepat; segera setelah jalan kembali dibuka, kau harus ke Inuyama, lalu datanglah ke kami dengan dukungan Arai." Dia menatap Kaede, kemudian tersenyum samar dan berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud memerintah. Tapi, kuharap kau mempertimbangkan saranku." "Aku terima saranmu," kata Kaede. "Itu sudah aku pikirkan, dan dengan dukunganmu, aku semakin berani melakukannya." Mereka lalu membicarakan berapa banyak pengawal yang dapat dikumpulkan dan Sugita juga bersumpah tidak akan menyerahkan Maruyama pada siapa pun kecuali dirinya. Sugita memberitahukan bahwa dia akan pulang esok karena ingin tiba di Maruyama sebelum tahun baru. Kemudian dia berkata santai, "Sungguh disayangkan Otori Takeo sudah mati. Andai kau menikahinya, nama dan hubungannya dengan Otori akan membuatmu lebih kuat." Jantung Kaede seakan berhenti berdetak, jatuh dari dada ke perut. "Aku tidak mendengar kabar tentang kematiannya," kata Kaede, berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. "Kabar itu sedang dibicarakan orang-orang. Aku tidak mengetahui rinciannya. Kurasa itulah alasan paling jelas untuk menjelaskan menghilangnya dia. Mungkin saja berita itu hanya rumor." "Mungkin," kata Kaede. Kemudian ia berpikir, mungkin dia sudah mati di tanah lapang atau di gunung dan aku tak akan pernah tahu kuburannya. "Aku lelah, Lord Sugita. Maafkan aku." "Lady Shirakawa." Dia membungkuk lalu berdiri. "Kita akan tetap berhubungan selama cuaca mengijinkan. Aku menantimu di Maruyama pada musim panas; kekuatan klan akan mendukung klaimmu. Jika ada yang berubah, aku akan mengabari bagaimanapun caranya." Kaede pun menjanjikan hal serupa, ia tidak sabar menanti kepergian Sugita. Setelah yakin Sugita sudah di paviliun tamu, Kaede memanggil Shizuka yang sedang berjalan mondar-mandir. Kaede langsung mencengkram bahu Shizuka dengan dua tangan. "Kau sembunyikan sesuatu dariku?" "Lady?" Shizuka menatap dengan kaget. "Apa maksud lady? Ada apa?" "Sugita memberitahukan bahwa Takeo sudah mati." "Itu hanya rumor." "Tapi kau tahu?" "Ya. Tapi aku tidak percaya. Jika dia mati, kita pasti diberitahu. Kau begitu pucat! Duduklah. Kau tidak boleh lelah, jangan sampai kau sakit lagi. Akan kusiapkan alas tidur." Shizuka membimbing Kaede dari ruangan utama ke kamar tidur. Kaede merosot ke lantai, jantungnya masih berdebar-debar. "Aku takut dia mati sebelum bertemu denganku." Shizuka berlutut di samping Kaede, membuka ikat pinggangnya, dan membantunya melepaskan kimono. "Aku akan memijat kepalamu. Duduklah." Dengan gelisah Kaede menggerakkan kepala dari satu sisi ke sisi lain, sambil menjambak rambutnya, kemudian mengepalkan tangannya. Pijatan Shizuka di kepala Kaede tidak berhasil membuat ia tenang, justru mengingatkan sore penuh penderitaan di Inuyama dan kejadian yang mengikutinya. Kaede pun demam. "Kau harus mencari tahu, Shizuka, aku harus memastikan kebenaran kabar itu. Kirim pesan pada pamanmu. Suruhlah Kondo. Dia harus pergi sekarang juga." "Kukira kau sudah lupa padanya," gerutu Shizuka sambil terus memijat kulit kepala Kaede. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sudah berusaha, tapi begitu mendengar namanya, semua kenangan kembali muncul. Kau ingat ketika aku pertama kali melihatnya di Tsuwano? Aku langsung jatuh cinta padanya. Demam pun melandaku. Demam itu-dan yang sekarang ini adalah suatu pesona gaib, penyakit yang tidak bisa disembuhkan." Shizuka merasakan kening Kaede panas. Merasa ketakutan, gadis itu bertanya, "Perlukah kupanggil Ishida?" "Aku tersiksa oleh cinta," kata Kaede pelan. "Ishida tidak dapat berbuat apa-apa." "Cinta itu mudah diredakan," jawab Shizuka santai. "Tapi cintaku hanyalah padanya. Tak satu pun, tak seorang pun bisa menyembuhkannya. Aku memang harus berusaha hidup tanpa dia. Aku memang memiliki kewajiban pada keluargaku yang harus aku lakukan. Tapi, jika dia sudah mati, kau harus mengatakannya padaku." "Aku akan mengirim surat untuk Kenji," janji Shizuka. "Akan kusuruh Kondo mengantarnya besok, meskipun kita tidak akan mendapat orang untuk menggantikannya.... " "Suruh dia," perintah Kaede. Shizuka membuat ramuan yang terdiri dari ranting pohon willow yang ditinggalkan Ishida, dan membujuk Kaede meminumnya, tapi Kaede selalu tidur gelisah, dan pada pagi hari ia terlihat lesu dan demam. Ishida datang. Sambil menggunakan moxa dan jarum-jarumnya, dia mengomeli Kaede dengan halus karena tidak menjaga diri. "Sakitnya tidak serius," dia memberitahukan Shizuka, kemudian mereka melangkah keluar. "Sehari atau dua hari lagi dia akan sembuh. Dia sangat sensitif dan terlalu memaksakan diri. Dia harus segera dinikahkan." "Dia hanya setuju pada satu orang-dan itu mustahil," kata Shizuka. "Ayah dari mendiang anaknya?" Shizuka mengangguk. "Kemarin, ketika mendengar rumor tentang kematian dambaan hatinya itu, dia langsung demam." "Ah." Mata Ishida menatap jauh, berpikir. Shizuka ingin tahu apa atau siapa yang sedang tabib itu pikirkan. "Aku mencemaskan bulan-bulan ke depan ini," ujar Shizuka. "Setelah kita tertutup salju, aku cemas dia akan semakin bermuram durja." "Aku membawa surat dari Lord Fujiwara. Dia ingin Lady Kaede mengunjunginya selama beberapa hari. Perubahan suasana mungkin dapat mengembalikan semangat dan mengalihkan perhatiannya." "Lord Fujiwara sangat baik dan sangat perhatian." Secara otomatis Shizuka mulai menggunakan kata-kata terima kasih dalam bahasa resmi sewaktu dia menerima surat itu. Dia benar-benar menyadari laki-laki di sampingnya ini, dan tangan mereka bersentuhan singkat. Tatapan kosong di mata tabib itu telah memercikkan sesuatu dalam diri Shizuka. Selama Kaede sakit, mereka menghabiskan waktu bersama dan dia mulai mengagumi kesabaran dan keahlian tabib itu. Ishida sangat baik, tidak seperti kebanyakan laki-laki yang dia kenal. "Kau akan datang lagi besok?" tanya Shizuka, menatap sekilas ke arah Ishida. "Tentu saja. Kau boleh titip surat balasan Lady Kaede padaku. Kau akan menemaninya ke kediaman Fujiwara?" "Tentu saja!" Shizuka mengulangi ucapan orang itu sambil bercanda. Ishida tersenyum dan menyentuh lagi lengan Shizuka dengan sengaja. Tekanan jari-jemari Ishida membuat Shizuka bergetar. Rasanya sudah lama sekali sejak dia bersama laki-laki. Shizuka tiba-tiba merasakan keinginan kuat untuk terus memegang tangan Ishida. "Sampai jumpa besok," ucap Ishida, matanya hangat, seakan-akan mengenali perasaan Shizuka dan berbagi rasa dengannya. Shizuka lalu memakai sandal dan berlari memanggil pelayan pembawa tandu dengan ceria. Kondisi Kaede semakin membaik, dan di malam hari ia peroleh kembali energinya. Ia tetap berbaring tenang seharian, hangat di bawah tebalnya tumpukan selimut, di samping tungku yang Ayame dinyalakan, sambil memikirkan masa depannya. Takeo mungkin sudah tiada, anaknya pun sudah tiada: hati Kaede hanya ingin ikut dengan mereka ke dunia berikutnya, tapi akalnya berkata bahwa sungguh lemah bila ia membuang hidupnya dan mengabaikan orang-orang yang bergantung padanya: seorang perempuan mungkin akan bertindak seperti itu, tapi laki-laki di posisinya tak akan melakukannya. Shizuka benar, pikirnya, hanya ada satu orang yang dapat menolongku saat ini. Aku ingin tahu apa yang bisa kuperoleh dari Lord Fujiwara. Shizuka memberikan surat yang Ishida bawa pagi itu. Fujiwara juga mengirim hadiah tahun baru, kue mochi, ikan sarden kering, manisan chestnut, kobumaki* dan sake. Hana dan Ai sibuk di dapur untuk membantu persiapan perayaan. "Dia menyanjungku dalam suratnya, dia menulis dalam bahasa laki-laki yang menyatakan kalau dia tahu aku akan memahaminya," kata Kaede. "Tapi banyak sekali huruf yang aku belum ketahui." Kaede menghela napas panjang. "Begitu banyak yang perlu aku pelajari. Apakah satu musim dingin akan cukup untuk mempelajarinya?" "Kau akan pergi ke kediaman Lord Fujiwara?" "Kurasa begitu. Dia mungkin akan mengajariku. Menurutmu dia mau melakukannya?" "Tak ada yang lebih dia inginkan," kata Shisuka datar. "Semula kupikir dia tidak ingin lagi melakukan apa pun untukku, tapi ternyata dia nyatakan dalam suratnya kalau dia menunggu kesembuhanku. Kini aku sudah agak baikan- hampir pulih." Suara Kaede terdengar ragu. "harus sehat. Aku harus mengurus kedua adikku, wilayah serta anak buahku." "Seperti yang pernah aku katakan, Fujiwara adalah sekutu terbaikmu dalam hal ini." "Mungkin bukan yang terbaik: hanya dia. Tapi aku kurang mempercayainya. Apa yang dia inginkan dariku?" "Apa yang kau inginkan dari dia?" balas Shizuka. "Sederhana saja. Di satu sisi, belajar, di lain sisi, uang dan makanan untuk membentuk pasukan bersenjata dan memberi mereka makan. Tapi, apa yang akan aku tawarkan sebagai imbalannya?" Shizuka hendak menyampaikan keinginan Fujiwara untuk menikahi Kaede, namun dia memutuskan untuk tidak mengatakannya, takut mengganggu Kaede hingga demam lagi. Biarlah bangsawan itu yang mengatakan sendiri. Dia yakin Fujiwara akan mengatakannya. "Dia menyapaku sebagai Lady Shirakawa. Aku malu bertemu dengannya setelah aku membohonginya." "Dia pasti sudah tahu keinginan ayahmu," ujar Shizuka. "Setiap orang tahu kalau ayahmu mengangkatmu sebagai pewarisnya. Kami telah meyakinkan hal itu." Kaede menatap Shizuka sekilas untuk melihat apakah orang kepercayaannya itu sedang berolok-olok, tapi wajah gadis itu serius. "Tentu saja aku harus melakukan seperti apa yang ayahku minta," Kaede menyetujui. "Tidak ada hal lain yang Lord Fujiwara perlu ketahui kalau begitu. Kepatuhan seorang anak harus diutamakan." "Itulah perkataan Kung Fu Tzu," ujar Kaede. "Lord Fujiwara tak perlu tahu apa pun meskipun aku curiga dia ingin tahu lebih banyak, bila dia masih tertarik padaku." "Pasti," Shizuka meyakinkan, seraya berpikir kalau Kaede kini lebih cantik dari sebelumnya. Penyakit dan duka telah menghilangkan jejak-jejak kekanak-kanakan dan memberinya ekspresi yang dalam dan misterius. Mereka merayakan tahun baru dengan hadiah yang Fujiwara berikan dan menyantap mie gandum yang Ayame simpan di akhir musim panas lalu. Di malam hari mereka berjalan ke biara dan mendengarkan untaian doa rahib dan dentang lonceng yang menyuarakan agar manusia membuang nafsu duniawi. Kaede merasa perlu berdoa untuk membebaskan semua nafsunya dan memurnikan diri, namun ia tak dapat menghapus keinginannya agar Takeo tetap hidup, juga uang dan kekuatan. Hari berikutnya, para perempuan di kediaman Shirakawa mengambil lilin, dupa, lentera, jeruk mandarin yang berkerut, manisan chestnut, dan buah persimmon kering, lalu mereka berjalan ke gua di mana Sungai Shirakawa muncul dari lubang-lubang bawah tanah. Mereka melakukan upacara di depan batu karang yang telah diubah air sehingga bentuknya mirip Dewi Putih. Tak seorang laki-laki pun boleh ke tempat ini; jika mereka datang, gunung akan meletus, dan Shirakawa akan musnah. Sepasang orang tua tinggal di balik kuil dekat pintu masuk guahanya perempuan tua itu saja yang masuk membawa sesembahan pada sang dewi. Kaede berlutut di karang lembab seraya mendengarkan kata-kata kuno yang ia hampir tidak tahu artinya. Ia berdoa meminta bantuan ibunya dan juga Lady Maruyama. Ia menyadari betapa berarti tempat suci ini baginya. Ia merasa seakan sang dewi sedang mengawasi. Keesokan harinya Kaede pergi ke kediaman Fujiwara. Hana, yang kecewa karena tidak diajak, menangis terisak-isak sewaktu mengucapkan selamat tinggal pada Kaede, dan juga pada Shizuka. "Aku kan hanya pergi beberapa hari," kata Kaede. "Mengapa aku tidak boleh ikut?" "Lord Fujiwara tidak mengundangmu. Lagipula, kau tak akan suka di sana. Kau harus berlaku sopan, bicara dalam bahasa resmi, dan duduk diam seharian." "Apakah kau tidak menyukainya?" "Kurasa begitu," Kaede menghela napas. "Setidaknya kalian akan makan enak di sana," ujar Hana, lalu menambahkan dengan nada merindu, "Daging burung!" "Kalaupun kami makan di sana, itu berarti akan lebih banyak makanan untukmu di sini," balas Kaede. Kenyataannya, itulah salah satu alasan mengapa ia ingin pergi beberapa waktu, karena tak peduli berapa seringnya ia melihat ruangan penyimpanan makanan dan menghitung hari-hari musim dingin, tetap saja mereka akan kehabisan makanan sebelum musim semi tiba. "Dan harus ada yang menghibur Mitsuru di rumah Shoji," Shizuka menambahkan. "Kau harus jamin dia tidak terlalu rindu kampung halamannya." "Ai dapat melakukannya," jawab Hana ketus. "Dia menyukai Hana." Kaede pun menyadari itu. Ai tidak mengakui kalau dia memiliki perasaan khusus pada pemuda itu, tapi dia memang malu mengakui hal seperti itu-dan lagi, pikir Kaede, apa gunanya perasaan dalam urusan jodoh? Ai akan segera ditunangkan. Tahun baru ini dia akan berusia empat belas tahun. Mungkin saja jodohnya adalah Sonoda Mitsuru, bila pamannya, Akita, merestui. Dan pernikahan mungkin saja dilaksanakan, tapi Kaede tak akan menyerahkan adiknya dengan murah. Dalam setahun orang-orang akan antri untuk melamar keluarga Shirakawa, Kaede berkata pada diri sendiri. Ai agak merona karena ucapan Hana. "Jaga dirimu, kak," katanya, memeluk Kaede. "Jangan mencemaskan kami. Aku akan mengurusi segalanya." "Kami kan tidak pergi jauh," jawab Kaede. "Kau harus memanggil bila kau merasa aku diperlukan di sini." Kaede tidak bisa berhenti untuk menambahkan. "Dan jika ada pesan untukku, bila sudah Kondo kembali, segera kabarkan kepadaku." Mereka tiba di kediaman Lord Fujiwara menjelang sore. Hari mulai hangat dan berawan, namun sewaktu mereka di perjalanan, angin bergerak ke timur laut dan suhu udara menurun. Mamoru menyambut, dan menyampaikan salam dari sang bangsawan, lalu membimbing mereka, bukan ke kamar tamu di mana mereka tinggal sebelumnya. Mereka diajak ke paviliun yang lebih kecil, yang tidak terlalu banyak hiasan tapi bagi Kaede paviliun ini lebih indah, dengan kesederhanaan yang anggun dan warna-warnanya yang tenang. la bersyukur atas perhatian ini, karena ia takut melihat bayang-bayang kemarahan ayahnya di kamar tempat rahasia dirinya terungkap. "Lord Fujiwara merasa Lady Shirakawa akan memilih beristirahat dulu petang ini," kata Mamoru perlahan. "Beliau akan temui Anda besok, jika kau tidak keberatan." "Terima kasih," ujar Kaede. "Sampaikan pada Lord Fujiwara kalau aku sangat berhutang budi padanya. Akan kupenuhi apa pun keinginannya." Kaede menyadari adanya ketegangan. Mamoru telah menggunakan namanya tanpa rasa sungkan, menatap sekilas ke arahnya sewaktu ia tiba, seolah-olah pemuda itu mencoba melihat perubahan yang terjadi, namun setelah itu dia tidak menatap Kaede sama sekali. Tapi, Kaede sudah tahu seberapa banyak yang dapat Mamoru lihat tanpa perlu memperhatikan. Kaede lalu menegakkan punggung dan melihat Mamoru dengan tatapan meremehkan. Membiarkan pemuda itu mengamati dirinya sesukanya sebagai tokoh untuk peran yang ia mainkan di panggung. Mamoru tidak lebih dari seorang peniru. Kaede tidak peduli apa yang pemuda itu pikirkan. Ia hanya peduli pada apa yang Fujiwara pikirkan. Dia pasti jijik padaku, pikir Kaede, tapi jika dia sampai mengerenyitkan alis, aku akan pergi dan tak akan mau melihatnya lagi, tak peduli dia bisa berguna bagiku. Kaede lega karena pertemuan ditunda. Ishida datang menemui dan memeriksa detak jantung serta mata Kaede. Dia mengatakan hendak menyiapkan ramuan teh baru untuk membersihkan darah dan memperkuat perut, dan meminta Shizuka ke ruangannya esok hari untuk mengambil ramuan itu. Berendam di bak mandi bukan hanya membuat Kaede hangat karena hangatnya air, tapi juga karena rasa cemburu pada banyaknya kayu yang tersedia untuk memanasi air. Setelah itu, hidangan diantar ke kamar mereka oleh pelayan yang datang hampir tidak bersuara. "Inilah hidangan musim dingin tradisi bangsawan," seru Shizuka ketika melihat makanannya, ikan bream dan cumi, belut panggang dengan perilla hijau, acar mentimun dan akar teratai yang diasinkan, jamur hitam yang langka dan burdoc yang ada di nampan-nampan yang mengkilap. "Ini yang mereka makan di ibukota. Aku penasaran berapa banyak perempuan yang menyantap hidangan seperti ini!" "Segalanya serba luar biasa di sini," balas Kaede. Betapa mudahnya, pikirnya, mendapatkan kemewahan dan cita rasa bila punya uang! Ketika hendak beristirahat sehabis makan, terdengar ketukan di pintu. "Pasti pelayan yang hendak menyiapkan alas tidur," kata Shizuka dan berjalan ke pintu. Tapi ketika membuka pintu, Mamoru yang berdiri di luar. Terlihat salju di rambutnya. "Maaf," katanya. "Tapi, salju pertama tahun ini mulai turun. Lord Fujiwara mengharapkan kunjungan Lady Shirakawa. Pemandangan dari paviliun ini sangatlah indah." "Ini kediaman Lord Fujiwara," kata Kaede. "Dan aku tamunya. Keinginannya adalah keinginanku juga." Mamoru lalu pergi. Kaede mendengar pemuda itu bicara pada pelayan. Tak berapa lama, dua pelayan datang membawa kimono merah berlapis kapas yang hangat lalu mereka pakaikan pada Kaede. Ditemani Shizuka, ia pergi ke beranda. Kulit hewan menutupi bantal-bantal untuk alas duduk. Lentera-lentera digantungkan di pepohonan, menyinari butiran salju yang berjatuhan. Tanah telah memutih. Bebantuan di taman terbentang di bawah dua pohon pinus yang tumbuh dengan pola susunan indah yang rendah, seakan membingkai pemandangan itu. Di balik kedua pohon itu, terdapat kumpulan gunung yang majal terlihat melalui salju yang melayang-layang. Kaede terpana oleh keindahan alam di hadapannya, oleh murninya keheningan. Lord Fujiwara berjalan begitu pelan hingga Kaede dan Shizuka hampir tidak menyadari kedatangannya. Mereka berdua berlutut di hadapannya. "Lady Shirakawa," dia berkata. "Aku sangat berterima kasih. Pertama karena kau berkenan mengunjungi tempatku yang sederhana ini, dan kedua karena memenuhi keinginanku untuk berbagi pemandangan salju pertama bersamamu." "Silakan duduk tegak," dia menambahkan, "Kau harus membalut tubuhmu; kau tidak boleh kedinginan." Beberapa pelayan berbaris di belakang Lord Fujiwara dengan membawa tungku, sake, cangkir, dan mantel kulit. Mamoru mengambil mantel dan memakaikan ke bahu Kaede, kemudian satu mantel lagi dia pakaikan ke tubuh Fujiwara. Kaede mengusap bulu kulit hewan dengan rasa senang bercampur takut. "Kulit-kulit ini berasal dari tanah daratan," Fujiwara memberitahukan setelah mereka bertukar salam resmi. "Ishida membawanya sewaktu dia pergi ke sana." "Kulit hewan apa ini?" "Semacam beruang, kurasa." Kaede tak dapat membayangkan beruang yang begitu besar. Ia mencoba membayangkan beruang yang sedang berada di habitatnya, begitu jauh dan asing bagi Kaede. Hewan itu pasti kuat, bergerak lambat, ganas, namun laki-laki berhasil membunuh dan mengulitinya. Ia bertanya tanya apakah roh beruang ini masih terkekang di kulitnya dan apakah roh itu akan marah karena ia memanfaatkan kehangatannya. "Ishida pastilah pemberani dan pandai sehingga mampu melakukan perjalanan yang berbahaya seperti itu." "Dia haus akan pengetahuan, kurasa. Dan semuanya sudah terbayar dengan kesembuhanmu, Lady Shirakawa." "Aku berhutang nyawa padanya," kata Kaede pelan. "Karena itu juga, dia lebih berharga bagiku disbanding nilai dia sebenarnya." Kaede menangkap nada ejekan bangsawan itu, bukan rasa jijik. Bahkan, dia nyaris terdengar melontarkan pujian yang berlebihan. "Sungguh indah salju pertama ini," ujar Kaede. "Tapi, di penghujung musim dingin, kita tak sabar menunggunya mencair." "Salju membuatku bahagia," ujar Lord Fujiwara, "Aku menyukai putihnya dan caranya membungkus bumi. Di bawah salju, semuanya menjadi bersih." Mamoru menuangkan sake, kemudian menghilang dalam kegelapan. Para pelayan pun mengundurkan diri menjauh. Kaede dapat merasakan ilusi kesunyian seakan tidak ada yang hadir kecuali mereka berdua, tungku yang menyala, kulit hewan yang berat, dan salju. Setelah menyaksikan salju dalam keheningan selama beberapa saat, Fujiwara memanggil pelayan untuk membawakan lampu. "Aku ingin melihat wajahmu," dia berkata sambil mencondongkan badannya dan menatap Kaede seperti dia menatap harta koleksinya. Kaede mengangkat mata dan memandang melewati Fujiwara ke arah salju yang berjatuhan, melayang-layang dalam cahaya lentera, menghalangi pegunungan, memudarkan dunia luar. "Kini kau lebih cantik," dia berkata pelan. Kaede seperti mendengar nada lega dalam suara bangsawan itu. Kaede sadar jika penyakit merusak kecantikan dirinya, Fujiwara akan menarik diri dengan sopan dan tak akan menemuinya lagi. Mereka semua boleh mati kelaparan di Shirakawa tanpa ada rasa iba dari laki-laki itu. Alangkah dinginnya dia, pikir Kaede dengan gemetar ketakutan. Kaede hanya menatap ke belakang Fujiwara, membiarkan salju mengisi matanya. Ia akan membeku, seperti es, seperti porselen kaca. Dan jika Fujiwara menginginkannya, dia harus membayar dengan harga tinggi. Fujiwara minum, mengisi mangkuknya dan minum lagi, matanya tidak beranjak dari wajah Kaede. Keduanya diarn tak bersuara. Tapi tiba-tiba dia berkata, "Tentu saja kau harus menikah." "Aku tidak berniat untuk menikah," balas Kaede, tapi kemudian ia takut bicara terlalu terang-terangan. "Sudah kuduga kau akan mengatakan itu karena kau selalu berbeda pendapat tentang dunia. Tapi dalam semua kondisi praktis, kau harus menikah. Tak ada pilihan lain." "Reputasiku tidak bagus," ujar Kaede. "Terlalu banyak laki-laki mati karena menginginkan diriku. Aku tak ingin ada lagi yang mati karena diriku." Kaede merasakan ketertarikan Fujiwara kian dalam, memperhatikan lengkungan di bibir laki-laki itu menaik. Tapi bukan nafsu, Kaede tahu itu. Kepulan emosinya sama seperti yang Kaede sadari selama ini, keingintahuan yang membara, yang dikendalikan secara hati-hati untuk mengetahui semua rahasia dirinya. Fujiwara memanggil Mamoru, dan memintanya untuk menyuruh pergi para pelayan. "Di mana pendamping perempuanmu?" dia bertanya pada Kaede. "Katakan padanya untuk menunggumu di dalam. Aku ingin bicara denganmu secara pribadi." Kaede lalu bicara pada Shizuka. Setelah diam sejenak, Fujiwara melanjutkan. "Apakah kau cukup hangat? Kau tidak boleh sakit lagi. Ishida mengatakan kau mudah terserang demam." Sudah pasti Ishida akan mengatakan semua tentang diriku, pikir Kaede saat menjawab, "Terima kasih, aku cukup hangat saat ini. Tapi, maaf bila aku tidak bisa berlama-lama. Aku mudah lelah." "Tidak akan lama," dia berkata. "Masih banyak hari di hadapan kita, kuharap, bahkan selama musim dingin ini. Namun ada sesuatu di malam ini; salju, kehadiranmu... inilah kenangan yang akan mengendap selamanya di hati kita." Dia ingin menikahiku, pikir Kaede kaget, diikuti rasa gelisah. Jika dia menawarkan pernikahan, bagaimana aku bisa menolaknya? Dengan menggunakan istilah "dalarn semua kondisi praktis" pernikahan ini terasa sangat masuk akal. Ini suatu kehormatan yang jauh lebih besar dari yang ia layak dapatkan, ini akan menyelesaikan semua masalah keuangan dan makanan, dan akan menjadi persekutuan yang paling menguntungkan. Tapi ia tahu Lord Fujiwara hanya tertarik pada laki-laki, dia tidak cinta maupun berhasrat pada dirinya. Kaede berdoa agar orang ini tidak melamarnya, karena ia tidak tahu cara menolaknya. Kaede takut pada keinginan Lord Fujiwara yang selalu mengambil apa pun yang dia inginkan dengan segala cara. Kaede ragu akan kekuatan dirinya untuk bisa mengabaikan Fujiwara. Ini bisa dianggap hinaan bagi orang seperti dia, seorang bangsawan yang ada hubungan keluarga dengan kaisar, orang yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan Shirakawa. "Aku belum pernah melihat beruang," kata Kaede mengalihkan pembicaraan, sambil menarik kulit beruang yang berat itu lebih dekat ke tubuhnya. "Ada beberapa ekor beruang kecil di gunung-seekor beruang pernah datang ke taman ini setelah musim dingin. Aku menangkap dan memasukkannya ke kandang, namun beruang itu merana dan mati. Tapi beruangnya tidak sebesar beruang ini. Kelak, Ishida akan menceritakan perjalanannya pada kita. Kau suka?" "Sangat suka. Dialah satu-satu orang yang sampai di tanah daratan yang pernah kutemui." "Pelayarannya itu berbahaya. Selain badai, seringkali terjadi pertempuran dengan perompak." Kaede merasa lebih suka bertemu selusin beruang atau dua puluh perompak ketimbang tinggal bersama orang mengerikan ini. Kaede tidak bisa memikirkan kata-kata untuk diucapkan. Ia merasa tidak bertenaga untuk bergerak. "Mamoru dan Ishida telah memberitahukan apa yang orang-orang katakan tentangmu, bahwa keinginan pada dirimu akan membawa kematian." Kaede diam. Aku tidak perlu malu, pikirnya. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia mengangkat mata dan menatap Fujiwara dengan wajah tenang dan pandangan yang tegas. "Menurut Ishida, ada seorang pemuda yang menginginkan dirimu, dan dia masih hidup." Kaede merasa jantungnya terpilin-pilin dan melompat, seperti ikan yang tersadar kalau dagingnya tertusuk pisau juru masak. Mata Fujiwara bekerjap. Otot kecil berkedut di pipinya. Dia berpaling dari Kaede lalu menatap salju. Dia mengatakan apa yang seharusnya tak boleh dia katakan, pikir Kaede, Aku akan mengatakan padanya, tapi dia harus membayarnya. "Siapa dia?" bisik Fujiwara. Malam begitu hening, yang terdengar hanyalah desis lembut salju, angin di pohon pinus, dan gemericik air. "Lord Otori Takeo," jawab Kaede. "Ya, hanya dia yang selamat," jawabnya, membuat Kaede bertanya-tanya apa yang baru saja ia berikan dan apa yang bangsawan ini ketahui tentang Takeo. Fujiwara mencondongkan badan, wajahnya bergerak-gerak dalam cahaya lampu. "Ceritakan padaku." "Aku dapat menceritakan banyak hal," kata Kaede lambat. "Tentang pengkhianatan terhadap Lord Shigeru dan kematiannya, dan pembalasan dendam Lord Takeo dan apa yang terjadi di malam kematian Iida. Tapi semua cerita itu ada harganya. Apa imbalan yang akan kau berikan?" Fujiwara tersenyum, dan dengan nada berunding dia berkata, "Apa yang Lady Shirakawa inginkan?" "Aku membutuhkan uang untuk membayar pasukan dan peralatan perang mereka, dan juga makanan." Dia nyaris tertawa. "Sebagian besar perempuan akan meminta kipas baru atau kimono. Tapi kau selalu membuatku terkejut." "Apakah kau menyanggupi?" Kini Kaede merasa tidak rugi karena keberaniannya. "Ya, aku terima. Untuk cerita tentang Iida, aku akan membayarnya dengan uang. Untuk cerita tentang Shigeru, akan kubayar dengan beras. Sedangkan untuk cerita tentang pemuda yang masih hidup-menurutku dia masih hidup-apa yang kau minta untuk cerita tentang Takeo?" Suara Lord Fujiwara berubah saat menyebut nama itu, seolah-olah bangsawan itu sedang mengecapnya di mulutnya, dan Kaede kembali bertanya-tanya apa yang dia tahu tentang Takeo. "Ajari aku," jawab Kaede, "Banyak sekali yang perlu aku pelajari. Ajari aku seolah-olah aku laki-laki." Fujiwara mengangguk setuju. "Senang sekali dapat meneruskan ajaran ayahmu." "Tapi semua ceritaku harus tetap menjadi rahasia di antara kita. Seperti harta koleksimu, tidak satu pun boleh disiarkan. Aku hanya akan mengungkapkan semua ini kepadamu. Tak seorang pun boleh diberitahu." "Itu akan membuat semua ceritamu lebih berharga, lebih diinginkan." "Tak seorang pun pernah mendengarnya," bisik Kaede. "Dan sekali kuceritakan, aku tak mau membicarakannya lagi." Angin semakin kencang dan hujan salju bertiup ke beranda, butirannya mendesis saat menyentuh lampu dan tungku. Kaede dapat merasakan hawa dingin merambat, berjumpa dengan hati dan jiwanya yang dingin. Ia tak sabar untuk segera meninggalkan Fujiwara, meski ia tak akan bergerak sampai laki-laki itu membebaskannya. "Kau kedinginan," dia berkata, lalu menepuk tangan. Para pelayan muncul dan membantu Kaede berdiri seraya mengangkat mantel kulit tebal dari tubuhnya. "Aku menantikan ceritamu," kata Fujiwara, lalu mengucapkan selamat malam dengan keramahan yang dibuatbuat. Kaede masih bergelut dengan pikirannya, bertanyatanya apakah dia tadi tidak membuat kesepakatan dengan iblis dari neraka. Kaede berdoa agar Fujiwara tidak melamarnya. Kaede tidak ingin terkurung di rumah yang indah nun mewah ini, disembunyikan seperti harta karun yang tak boleh dilihat orang lain. Di akhir minggu, Kaede pulang ke rumahnya. Salju pertama telah mencair dan membeku, ruas jalan pun tertutup es meskipun masih tetap dapat dilewati. Untaian tetesan es bergelantungan di tepi atap rumah, berkilauan dan cemerlang saat terkena sinar mentari. Fujiwara menepati janjinya. Dia seorang guru yang keras dan tegas, dia juga telah menyiapkan beberapa tugas untuk Kaede kerjakan di rumah. Dia pun telah mengirimkan makanan. Siang hari dihabiskan dengan belajar dan malam hari dengan cerita. Kaede mengetahui, melalui insting, apa yang Fujiwara ingin dengar dan Kaede berusaha menceritakan dengan detail: warna bunga, kicau burung, kondisi cuaca, sentuhan tangan, aroma kimono, bagaimana sinar lampu jatuh di wajahnya. Dan hasrat yang bergejolak dan konspirasi yang sebelumnya telah ia ketahui maupun yang ia tahu kemudian. Kaede menceritakan dengan nada yang jernih, tidak menunjukkan rasa malu, sedih atau pun menyesal. Bangsawan itu enggan membiarkannya pulang, namun Kaede menggunakan kedua adiknya sebagai alasan. Lord Fujiwara ingin agar Kaede tinggal lebih lama, tapi Kaede menolaknya dengan halus. Semua orang tampaknya ingin agar Kaede tidak pulang. Perlakuan para pelayan pun berubah. Mereka menahan seakan-akan ia bukan sekedar tamu istimewa. Mereka selalu meminta ijin dan pendapatnya, tapi Kaede sadar kalau mereka lakukan itu atas perintah Fujiwara. Kaede lega saat meninggalkan bangsawan itu, dan saat di rumah, saat ia melihat makanan, kayu bakar dan uang yang Fujiwara kirim, ia bersyukur telah terhindar dari kelaparan. Malam itu Kaede berbaring sambil berpikir, Aku terjebak. Aku tak akan pernah bisa lolos darinya. Tapi apa lagi yang dapat kulakukan? Kaede tertidur di larut malam sehingga ia terlambat bangun keesokan harinya. Shizuka sudah tak ada di kamar. Kaede memanggilnya dan Ayame datang membawa teh. Dia menuangkan teh untuk Kaede. "Shizuka sedang bersama Kondo," katanya. "Kondo datang semalam." "Suruh Shizuka menemuiku," kata Kaede. Ia melihat teh yang ada di depannya seakan-akan ia tidak tahu harus diapakan. Setelah minum seteguk, Kaede letakkan mangkuk di nampan, lalu mengambilnya lagi. Kedua tangannya terasa beku. Ia menggenggam mangkuk di antara kedua tangannya, mencoba menghangatkan tangan. "Lord Fujiwara yang mengirim teh ini," kata Ayame. "Sekotak penuh. Enakkah?" "Jemput Shizuka!" bentak Kaede marah. "Minta dia segera datang!" Tak lama kemudian Shizuka masuk dan berlutut di depan Kaede. Wajahnya muram. "Ada apa?" tanya Kaede, "Apakah dia mati?" Mangkuk yang sedang ia pegang bergetar sehingga teh tumpah. Shizuka mengambil mangkuk itu dari tangan Kaede, kemudian menggenggam erat kedua tangan Kaede. "Jangan tegang. Jangan sampai kau sakit. Dia tidak mati. Tapi dia telah meninggalkan Tribe dan mereka mengeluarkan perintah untuk melawannya." "Apa artinya itu?" "Kau ingat apa yang Takeo katakan di Terayama? Jika dia tidak pergi bersama Kenji dan Ketua, maka dia tak akan dibiarkan hidup. Seperti itulah." "Mengapa?" ujar Kaede gelisah, "Mengapa? Aku tak mengerti." "Itulah Tribe. Kepatuhan adalah segalanya." "Lalu kenapa dia meninggalkan mereka?" "Aku kurang jelas. Ada perseteruan, pelanggaran kesepakatan. Dia dikirim untuk suatu misi namun dia tidak pernah kembali." Shizuka berhenti. "Kondo menduga dia mungkin berada di Terayama. Jika memang dia di sana, maka dia akan aman selama musim dingin ini." Kaede menarik tangannya dari Shizuka, lalu berdiri. "Aku akan ke sana." "Tidak mungkin," ujar Shizuka. "Jalan sudah tertutup salju." "Aku harus menemuinya!" Kaede berkata, matanya menyala-nyala di wajahnya yang pucat. "Jika dia pergi dari Tribe berarti dia akan menjadi Otori lagi. Dan jika dia sudah menjadi Otori, maka kami bisa menikah!" "Lady!" Shizuka pun berdiri. "Kegilaan apa ini? Kau tidak boleh mengejarnya begitu saja! Andai pun jalan tidak tertutup salju, ini masih tidak masuk akal. Akan jauh lebih baik bila kau melakukan apa yang pernah kau katakan, menikahi Fujiwara. Itulah yang Lord Fujiwara inginkan." Kaede berjuang untuk memperoleh kembali kendali dirinya. "Tak seorang pun dapat menghentikanku untuk pergi ke Terayama. Sebenarnya, aku harus ke sana... untuk ziarah... untuk bersyukur pada Sang Pengasih karena telah menyelamatkan nyawaku. Aku telah berjanji untuk ke Inuyama, pada Arai, segera setelah salju mencair. Aku harus mampir ke biara saat di perjalanan nanti. Meskipun Fujiwara ingin menikahiku, aku tak bisa memutuskan sebelum bicara dengan Lord Arai. Oh, Shizuka, berapa lama lagi musim semi tiba?"* SEMBILAN HARI-HARI di musim dingin berjalan lambat. Setiap bulan Kaede datang ke kediaman Lord Fujiwara selama seminggu dan menceritakan kisah hidupnya di malam hari, saat salju berjatuhan atau bulan bersinar dingin di taman yang telah beku. Lord Fujiwara banyak bertanya sehingga Kaede sering mengulang beberapa bagian ceritanya. "Kisahmu bisa dipentaskan," ujarnya lebih dari sekali. "Mungkin aku yang akan menulis kisahmu ini." "Kau tak boleh mempertontonkannya di depan orang lain," balas Kaede. "Tidak, kepuasannya justru pada penulisannya. Aku akan berbagi bersamamu, tentu saja. Kita mungkin akan menampilkannya sekali-kali untuk kesenangan kita dan setelah itu, para aktornya akan dibunuh." Lord Fujiwara melontarkan pernyataannya tanpa ekspresi sehingga Kaede makin takut. Seiring setiap cerita berulang, wajah Kaede kini lebih mirip topeng, gerakannya lebih diatur, seolah-olah ia tak berhenti memerankan hidupnya di panggung yang diciptakan Fujiwara secara seksama seperti dia membangun teaternya dengan sempurna di mana Mamoru dan pemuda lain memainkan peran mereka. Di siang hari, bangsawan itu menepati janjinya untuk mengajari Kaede seolah-olah gadis itu laki-laki. Dia menggunakan bahasa laki-laki pada Kaede. Kadangkala menyenangkan bagi Fujiwara melihat Kaede memakai pakaian Mamoru, dengan rambut diikat di belakang. Peran itu membuat Kaede kelelahan, namun ia belajar banyak. Fujiwara pun memenuhi janjinya yang lain, yaitu mengirim makanan dan menyerahkan uang pada Shizuka di setiap akhir kunjungan. Kaede menghitungnya dengan antusias sama seperti saat ia sedang belajar. Ia melihat itu sebagai pertukaran yang adil untuk inasa depannya, yang bisa memberinya kebebasan dan kekuasaan. Di awal musim semi, cuaca dingin menggigit telah membekukan bunga plum. Kaede semakin tak sabar karena hari terasa kian panjang; udara yang kian dingin dan kebekuan yang bertambah keras, diikuti salju segar, hampir membuatnya gila. Pikirannya kalut, panik seperti burung yang terjebak di dalam rumah, tapi tidak ia menunjukkan perasaannya pada siapa pun, tidak juga pada Shizuka. Pada saat hari cerah, ia pergi ke istal dan mengamati Raku ketika Amano membiarkan kuda itu berjalan di padang rumput yang becek. Kuda itu seperti menatap dengan pandangan bertanya-tanya ke laut timur, sambil menginderai angin yang menusuk. "Tidak lama lagi," Kaede berjanji pada Raku. "Tidak lama lagi kita akan bepergian." Akhirnya bulan purnama di bulan ketiga mengambil alih, dan bersama dengan itu datang angin hangat dari selatan. Kaede terbangun oleh bunyi tetesan air dari pinggiran atap yang bercucuran menembus taman, yang berlomba turun di air terjun. Dalam tiga hari salju pun usai, dan bumi terbentang, telanjang dan berlumpur, menunggu untuk diisi dengan suara dan warna-warni. "Aku harus pergi sebentar," Kaede memberitahukan Lord Fujiwara di waktu kunjungan terakhirnya. "Lord Arai menyuruhku datang ke Inuyama." "Kau hendak meminta restunya untuk men ikah?" "Masalah itu harus dibahas dengan Lord Arai lebih dulu," gumam Kaede. "Bila begitu adanya, aku ijinkan kau pergi." Bibir laki-laki itu agak melengkung namun senyum yang tidak sampai di mata. Sebulan terakhir ini Kaede sibuk melakukan persiapan sambil menunggu salju mencair, ia bersyukur atas uang yang Fujiwara berikan. Seminggu sesudahnya, ia berangkat di pagi cerah, dingin, matahari muncul dan bersembunyi di balik awan yang berkejaran, angin dari timur terasa menggigit dan kencang. Hana memohon diijinkan ikut. Awalnya Kaede memang berniat mengajaknya, tapi rasa takut melanda dirinya. Ia takut Arai akan menjadikan adiknya sebagai tawanan. Sekarang ini Hana lebih aman di rumah. Kaede tidak mengakui, bahkan pada dirinya sendiri, jika memang Takeo ada di Terayama, ia mungkin tidak akan ke ibukota. Sedangkan Ai memang tidak mau ikut, dan Kaede tidak membawa tawanannya, Mitsuru, karena masih berguna sebagai jaminan. Kaede mengajak Kondo, Amano, dan enam laki-laki lainnya. Ia ingin bergerak cepat, selalu menyadari bahwa hidup ini singkat dan betapa berharganya waktu. Ia memakai pakaian laki-laki dan menunggang kuda. Raku melewati musim dingin dengan baik, tanpa kehilangan berat badan. Kaede merasa kalau Raku melangkah dengan keberanian yang menyamai dirinya. Raku sudah mulai menanggalkan bulu musim dinginnya dan rambut kelabu kasarnya melekat di pakaian Kaede. Shizuka ikut dalam rombongan, disertai pelayan dari rumah, Manami. Shizuka memutuskan ikut sampai di Terayama dan, sementara Kaede akan melanjutkan perjalanan ke Ibukota, dia akan mengunjungi rumah kakeknya di daerah pegununungan yang ada di balik kota Yamagata untuk menengok anak-anaknya. Manami yang gesit dan pintar dengan cepat menyibukkan diri untuk mengurusi makanan dan tempat tidur mereka di selama di penginapan. Dia menuntut makanan hangat dan air yang hangat, menawar harga, mengomeli pelayan penginapan dan selalu berhasil mendapatkan keinginannya. "Aku tak perlu mencemaskan siapa yang akan mengurusimu setelah aku pergi nanti," ujar Shizuka di malam ketiga, setelah mendengar Manami mengomeli pelayan penginapan karena menyediakan tempat tidur yang bermutu rendah dan penuh kutu busuk. "Kurasa lidah Manami bisa menghentikan raksasa yang marah." "Aku tetap akan merindukanmu," ujar Kaede. "Aku merasa kaulah sumber keberanianku. Aku tidak tahu bagaimana diriku nanti tanpa dirimu. Siapa lagi yang akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua kebohongan dan kepura-puraan?" "Kurasa kau bisa mengetahuinya dengan cukup baik," balas Shizuka. "Lagipula Kondo akan menemanimu. Tanpa kehadiranku, kau akan memperlihatkan kesan lebih baik di depan Arai!" "Apa yang mesti kuharapkan dari Arai?" "Dia selalu mendukungmu. Dia akan selalu membantumu. Arai orang yang baik hati dan setia, kecuali pada saat dia merasa terhina atau dibohongi." "Dia orang yang gampang meledak, kurasa," kata Kaede. "Benar, bahkan sampai bisa bertindak keras. Dia orang yang meledak-ledak di setiap ucapannya, bernafsu dan keras kepala." "Kau sangat mencintainya?" kata Kaede. "Aku masih remaja waktu itu. Dialah kekasih pertamaku. Aku sangat mencintainya, dan dia pun pasti mencintaiku dengan caranya sendiri. Dia mempertahankan aku selama empat belas tahun." "Aku akan memintanya untuk memaafkanmu," seru Kaede. "Aku tak tahu mana yang lebih aku takutkan, pengampunannya atau kemurkaannya," Shizuka mengakui, sambil memikirkan tabib Ishida yang bijaksana, hubungan mereka yang sangat menyenangkan selama musim dingin. "Kalau begitu, aku tidak akan menyebut namamu." "Terkadang memang lebih bijak bila tidak mengatakan apa-apa," Shizuka sepakat. "Lagipula, Arai lebih mengutamakan pernikahanmu dan persekutuan yang akan dia hasilkan." "Aku tak akan menikah sebelum berhasil melindungi Maruyama," jawab Kaede. "Dan Arai harus membantuku dalam hal itu." Tapi sebelumnya aku harus bertemu Takeo, pikir Kaede. Jika dia tidak ada di Terayama, aku akan melupakannya. Itu akan menjadi pertanda bahwa memang itulah yang seharusnya terjadi. Oh Surga yang pengasih, hadirkan Takeo di sana! Seiring jalan menanjak di barisan pegunungan, mencairnya salju makin jelas terlihat. Timbunan salju yang belum mencair masih menutupi sebagian besar jalan dan seringkali membeku di kaki. Kaki kuda yang dibungkus jerami sehingga mereka berjalan lambat dan ini membuat ketidaksabaran Kaede memuncak. Pada suatu sore mereka tiba di penginapan yang terletak di kaki gunung suci, di tempat ini Kaede pernah beristirahat saat pertama kali mengunjungi biara bersama Lady Maruyama. Di sini mereka bermalam sebelum melanjutkan jalan mendaki terakhir esok. Kaede tidur gelisah, pikirannya penuh dengan rombongan orang-orang dalam perjalanannya yang sebelumnya yang kini nama-nama mereka terdaftar dalam buku besar kematian. la teringat hari tatkala mereka berkuda bersama, bagaimana semua orang terlihat gembira, padahal mereka sedang merencanakan pembunuhan. Ia tidak mengetahui itu; dia masih gadis hijau yang sedang jatuh cinta. Ia merasakan gelombang iba bercampur hina pada dirinya yang polos, yang tak tahu apa-apa. Kini ia telah berubah, namun cinta itu tetap sama. Cahaya memucat di balik jendela dan beberapa ekor burung memanggil-manggil. Ruangan terasa sesak tak yang tertahankan. Manami mendengkur halus. Kaede bangun dengan perlahan lalu mengenakan jubah hangatnya, dan menggeser pintu yang menghadap ke halaman penginapan. Dari balik dinding ia mendengar kuda mengetuk-ngetukkan kaki. Ia mendengar salah seekor kuda meringkik tanda mengenali sesuatu. Pengawal pasti sudah bangun, pikirnya, dan mendengar langkah kaki berputar melalui pagar. Kaede melangkah ke balik jendela lagi. Pemandangan diselimuti kabut. Satu sosok menuju ke halaman. Kaede berpikir, Itu dia. Tapi kemudian Kaede berpikir lagi, tidak mungkin. Takeo muncul dari kabut ke arah Kaede. Kaede berjalan ke beranda dan, ketika mengenali Takeo yang datang, Kaede lalu menatap wajah kekasihnya itu. Kaede berpikir, dengan rasa syukur dan lega, Tenang saja. Dia hidup. Dia mencintaiku. Takeo melangkah ke beranda tanpa bersuara, lalu berlutut. Kaede juga berlutut. "Duduklah tegak," bisik Kaede. Takeo mengangkat kepala, dan mereka pun saling berpandangan. Tatapan Kaede seperti hendak menelan Takeo, namun Takeo membalas tatapannya tidak secara langsung. Mereka duduk dengan rikuh. Takeo berkata pada akhirnya, "Aku melihat Raku. Aku tahu kau pasti di sini, tapi aku tidak percaya." "Kudengar kau ada di sini. Dalam bahaya besar, tapi masih hidup." "Bahaya itu tidak terlalu besar," kata Takeo. "Bahaya terbesarku adalah dirimu-bila kau tidak memaafkanku." "Tak mungkin aku tidak memaafkanmu," jawab Kaede langsung. "Selama kau tidak meninggalkanku lagi." 'Aku mendengar kabar kau akan menikah. Berita itu menghantuiku selama musim dingin ini." "Memang ada orang yang ingin melamarku: Lord Fujiwara. Tapi kami belum- menikah, tidak juga bertunangan." "Kalau begitu, kita harus segera menikah. Apakah kau kemari untuk mengunjungi biara?" "Itulah tujuanku. Setelah itu aku akan ke Inuyama." Kaede mengamati wajah Takeo. Dia nampak lebih dewasa, tulang pipinya lebih menonjol. Rambutnya lebih pendek, tidak diikat ke belakang seperti ksatria, namun terjuntai menutupi keningnya, tebal dan mengkilap. "Aku akan mengutus orang untuk menemanimu ke biara. Aku akan menemuimu di tempat menginap bagi tamu perempuan di biara petang ini. Ada banyak hal yang perlu direncanakan. Jangan tatap mataku," Takeo menambahkan. "Aku tidak ingin kau tertidur." "Aku tidak keberatan," balas Kaede. "Aku jarang tidur. Buatlah aku tertidur hingga petang agar waktu dapat berlalu dengan cepat. Ketika aku tertidur sebelum ini, Dewi Putih menampakkan dirinya. Dia menyuruhku untuk bersabar menunggumu. Aku kemari untuk mensyukuri itu dan karena telah menyelamatkan nyawaku." "Aku diberitahu kalau kau sedang sekarat," ujar Takeo, dan tak bisa meneruskan lagi. Setelah beberapa saat, dia berkata. "Apa Muto Shizuka bersamamu?" "Ya." "Dan juga pengawal dari Tribe, Kondo Kiichi?" Dia mengangguk. "Mereka harus disuruh pergi. Tinggalkan beberapa orangmu di sini untuk sementara. Adakah pelayan perempuan yang akan menemanimu?" "Ya," jawab Kaede. "Tapi kurasa Shizuka tak akan mencelakaimu." Tapi saat mengatakan itu, Kaede berpikir, Tapi bagaimana aku bisa yakin? Bisakah aku mempercayai Shizuka? Atau Kondo? Aku telah melihat kekejaman mereka. "Aku di bawah ancaman hukuman mati dari Tribe," ucap Takeo. "Maka, anggota Tribe manapun akan sangat berbahaya bagiku." "Tidak berbahayakah kau keluar dari biara seperti sekarang ini?" Takeo tersenyum. "Aku tak membiarkan orang-orang mengurungku. Aku senang menjelajahi berbagai tempat di malam hari. Aku perlu tahu keadaan wilayah, dan apakah Otori berencana menyerangku dengan menyeberangi perbatasan. Aku dalam perjalanan pulang ketika aku melihat Raku. Dia mengenaliku. Kau mendengarnya?" "Raku juga merindukan dirimu," kata Kaede, merasakan kepedihan menjalar ke sekujur tubuhnya. "Apakah semua anggota Tribe menginginkan kematianmu?" "Mereka tak akan berhasil. Belum. Akan kukatakan alasannya nanti malam." Kaede mendambakan pelukan Takeo. Ia seolah merasa sedang bersandar pada Takeo. Seakan dapat membaca pikiran kekasih Kaede, Takeo pun menanggapi dan meraih tangannya. Kaede merasakan detak jantung Takeo. Kemudian Takeo berbisik, "Ada yang bangun, aku harus pergi." Kaede tak mendengar apa pun. Takeo menarik diri dengan lembut dari Kaede. "Sampai jumpa petang ini," dia berkata. Kaede menatap, mencari-cari mata Takeo, setengah berharap untuk tertidur, namun Takeo telah menghilang. Kaede berteriak dalam kegelisahan. Tak ada tanda-tanda keberadaan Takeo di dalam maupun di luar halaman ini. Genta angin berdering tajam seolah terkena deru napas orang yang lewat di bawahnya. Jantung Kaede berdebar kencang. Apakah tadi hantu Takeo yang datang? Apakah ia sedang bermimpi dan apa yang akan ia temukan bila terbangun nanti? "Apa yang kau lakukan di sini, Lady?" suara Manami melengking khawatir. "Kau bisa mati kedinginan." Kaede merapatkan kimono ke tubuhnya yang menggigil. "Aku tidak bisa tidur," ujar Kaede lambat, "Aku bermimpi.... " "Masuklah. Akan kubuatkan teh untukmu." Manami memakai sandalnya dan bergegas menyeberang halaman. Beberapa burung layang-layang melesat di dekat atap. Kaede mencium asap kayu saat api dinyalakan. Kuda meringkik saat diberi makanan. Ia mendengar ringkikan Raku seperti yang ia dengar sebelum ini. Udara terasa menusuk, namun ia dapat mencium wangi bunga yang bermekaran. Hatinya diliputi gelombang harapan. Ini bukan mimpi. Dia di sini. Tak lama lagi aku akan bersamanya. Kaede tidak ingin beranjak, dia ingin tetap tinggal di mana ia saat ini berada, sambil mengenang tatapan, sentuhan, dan aroma tubuh Takeo. Manami datang membawa nampan dengan teh di atasnya. Dia memarahi Kaede lagi, dan mengikutinya ke kamar. Shizuka sedang berpakaian. Begitu memandang, dia langsung berseru, "Kau bertemu Takeo?" Kaede tidak langsung menjawab. Ia malah mengambil mangkuk teh dari Manami dan meneguknya perlahan. Ia merasa perlu berhati-hati dengan ucapannya: Shizuka berasal dari Tribe yang telah memvonis mati Takeo. Ia sudah berusaha meyakinkan Takeo bahwa Shizuka tidak akan membahayakannya tapi bagaimana ia bisa begitu yakin? Bagaimana pun juga, ia merasa tak bisa mengendalikan perasaannya. Ia tidak dapat berhenti tersenyum, seolah topengnya telah retak dan terjatuh. "Aku akan ke biara," katanya. "Aku harus bersiap-siap. Manami akan ikut denganku. Shizuka, kau boleh pergi melihat kedua anakmu dan kau boleh mengajak Kondo." "Kupikir Kondo akan ikut bersamamu ke Inuyama," kata Shizuka. "Aku berubah pikiran. Dia harus pergi bersamamu. Dan kalian berdua harus pergi, sekarang juga." "Ini pasti perintah Takeo, kurasa," Shizuka berkata. "Kau tak bisa menipuku. Aku tahu kau telah bertemu dengannya." "Sudah kukatakan padanya bahwa kau tak akan mencelakainya," ujar Kaede. "Betul, kan?" Shizuka berkata tajam, "Sebaiknya lady jangan tanyakan itu. Jika tidak melihatnya, aku tak akan bisa mencelakainya. Berapa lama kau berniat tinggal di biara? Jangan lupa, Arai sedang menunggumu di Inuyama." "Aku tak tahu. Semuanya tergantung Takeo." Kaede tak bisa mencegah dirinya melanjutkan ucapannya. "Dia mengatakan kami harus menikah. Kami harus, kami akan melakukannya." "Jangan melakukan apa pun sebelum bertemu Arai," kata Shizuka mendesak. "Jika kau menikah tanpa persetujuannya, berarti kau menghinanya. Dia akan sangat tersinggung. Kau tak boleh memancing permusuhan dengan Arai. Dia adalah sekutu terkuatmu. Dan bagaimana dengan Lord Fujiwara? Dapat dikatakan selama ini kau telah bertunangan dengannya. Kau ingin dia juga tersinggung?" "Aku tak akan menikahi Fujiwara!" bentak Kaede. "Dia, seperti semua orang lainnya, tahu kalau aku tidak akan menikahi siapa pun kecuali Takeo. Bagi mereka, aku adalah pembawa kematian. Tapi akulah hidup Takeo dan dialah hidupku." "Bukan begitu cara dunia bekerja," balas Shizuka. "Ingat apa yang Lady Maruyama katakan padamu, betapa mudah bangsawan dan ksatria terpikat pada perempuan jika mereka pikir kau menyangsikan kekuasaan mereka. Fujiwara berharap dapat menikahimu: dia pasti sudah menyampaikan itu pada Arai. Dialah jodoh yang paling Arai sukai. Selain itu, seluruh Tribe memusuhi Takeo: dia tidak bisa bertahan. Jangan melihatku seperti itu: aku sedih bila kau disakiti. Karena sangat peduli padamu, sehingga aku katakan ini. Bisa saja aku bersumpah tak akan membahayakan Takeo, tapi itu tidak berguna: ratusan anggota Tribe di luar sana akan berusaha membunuhnya. Cepat atau lambat mereka akan berhasil. Tak seorang pun bisa lolos dari Tribe. Kau harus terima ini sebagai takdir Takeo. Apa yang akan kau lakukan bila dia mati, padahal kau telah menghina semua orang yang selama ini mendukungmu? Kau tidak akan mendapatkan Maruyama dan bahkan kau bisa kehilangan Shirakawa. Kedua adikmu akan hancur karena ulahmu. Arai adalah pemimpinmu. Kau harus ke Inuyama dan menerima keputusannya atas pernikahanmu. Kalau tidak, kau akan membuatnya marah. Percayalah. Aku tahu jalan pikiran Arai." "Bisakah Arai mencegah datangnya musim semi?" balas Kaede. "Bisakah dia menghentikan salju mencair?" "Semua laki-laki yakin mereka bisa. Perempuan menjalani hidup dengan menuruti keyakinan ini, bukan dengan melawannya." "Lord Arai akan belajar dengan cara yang berbeda," kata Kaede dengan suara rendah. "Berkemaslah. Kau dan Kondo harus segera pergi." Kaede lalu berpaling. Jantungnya berdebar liar, rasa sukacita terasa semakin kuat di perut, dada, dan tenggorokannya. la tidak dapat memikirkan apa pun selain pertemuannya nanti dengan Takeo. Sosok Takeo, kedekatannya, kembali menimbulkan demam dalam tubuhnya. "Kau sinting," kata Shizuka. "Kau telah kehilangan akal. Kau menimbulkan bencana pada dirimu dan juga pada keluargamu." Seolah menyetujui ketakutan Shizuka, tiba-tiba terdengar suara: rumah mengerang, jendela berderit, genta-genta angin berbunyi saat bumi bergetar.* SEPULUH SEGERA setelah salju mulai mencair dan cuaca mulai hangat, kabar tentang keberadaanku di Terayama dan keinginanku menantang pemimpin Otori demi warisan tahtaku menyebar. Dan seperti aliran air, pertama setetes, kemudian membanjir, para ksatria pun berdatangan ke biara di gunung ini. Beberapa orang adalah ksatria yang tidak bertuan, tapi sebagian besar adalah orang Otori yang mengakui keabsahanku sebagai penerus Lord Shigeru. Cerita tentang diriku sudah melegenda, dan aku tampaknya menjadi pahlawan, bukan hanya bagi para ksatria, tapi juga petani dan penduduk desa dari wilayah Otori yang putus asa setelah musim dingin yang menggigit, tingginya pajak dan kejamnya hukuman yang diberlakukan Shoichi dan Masahiro, kedua paman Shigeru. Udara dipenuhi bunyi-bunyian musim semi. Pepohonan willow memamerkan daunnya yang hijau keemasan. Burung gereja melesat di atas lahan yang tergenang air dan membangun sarang di pinggiran atap biara. Setiap malam katak sahut-menyahut semakin kencang; seruan keras katak memanggil hujan, ritme klik-klik dari katak pohon, dan dentingan manis dari kodok lonceng kecil. Bunga yang bermekaran merambat di sepanjang tanggul, tanaman selederi, bunga berbentuk mangkok yang berwarna kuning cerah dan juga tanaman berwarna merah muda yang disenangi hewan ternak. Ibis dan bangau kembali berdatangan ke sungai dan kolam. Kepala biara, Matsuda Shingen, mengijinkanku menggunakan harta benda biara, dan dengan bantuannya aku menghabiskan minggu-minggu awal musim semi ini untuk mengorganisir orang-orang yang datang padaku, memberi perlengkapan dan mempersenjatai mereka. Pandai besi berdatangan dari Yamagata dan tempat lain. Mereka membangun bengkel di kaki gunung suci ini. Hampir setiap hari pedagang kuda berdatangan, berharap dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan, dan mereka umumnya berhasil karena hampir semua kuda yang mereka bawa aku beli. Tak masalah seberapa banyak orang yang kumiliki dan seberapa baik mereka dipersenjatai, senjata utamaku selalu kecepatan dan kejutan. Aku tidak punya banyak waktu atau sumberdaya untuk mengumpulkan sejumlah besar pasukan pejalan kaki seperti yang dimiliki Arai. Aku hanya mengandalkan pasukan berkuda yang sedikit namun tangkas. Di antara rombongan pertama yang datang terdapat kakak beradik Miyoshi, Kahei dan Gemba, yang pernah menjadi teman berlatihku di Hagi. Waktu itu, yang kini terasa sudah lama berlalu, kami berlatih dengan menggunakan pedang kayu. Kehadiran mereka sangat berarti bagiku, lebih berarti dari yang mereka duga. Ini artinya kaum Otori tidak melupakan Shigeru. Mereka membawa tiga puluh orang dan, sebagai ucapan sambutan, mereka membawa kabar dari Hagi. "Shoichi dan Masahiro telah mewaspadai kembalinya dirimu," Kahei memberitahukan. Dia lebih tua beberapa tahun dariku dan dia juga memiliki pengalaman perang, dia pernah berperang di Yaegahara saat berusia empat belas tahun. "Tapi mereka tidak menganggapnya serius. Mereka pikir hanya butuh satu pertempuran kecil yang cepat untuk dapat mengalahkanmu." Dia menyeringai. "Aku tak berniat meremehkan, tapi mereka memberi kesan bahwa kau lemah." "Selama ini mereka memang meremehkan diriku," ujarku membalas. Aku teringat pengawal kepercayaan iida, Abe, yang berpikiran sama sampai akhirnya dia diberi pelajaran yang berbeda oleh Jato. "Mereka benar dalam beberapa hal. Memang aku masih muda dan hanya mengetahui teori perang, bukan praktek. Tapi aku memiliki tekad untuk mewujudkan amanat Shigeru." "Orang-orang mengatakan kau mendapat sentuhan Surga," kata Gemba. "Mereka mengatakan kau telah diberi kekuatan yang bukan berasal dari dunia ini." "Kami sudah tahu itu," kata Kahei. "Ingatkah saat anda latihan bertarung melawan Yoshitomi? Dia menganggap kekuatanmu itu berasal dari Neraka, bukan Surga." Aku memang pernah bertarung menggunakan pedang kayu dengan anak Masahiro. Dia lebih jago dariku, tapi aku memiliki kemampuan yang dia pikir suatu kecurangan karena aku telah menggunakan kemampuanku untuk mencegahnya membunuhku. "Apakah mereka telah merampas rumah dan tanahku?" tanyaku. "Aku mendengar kabar mereka kalau berniat begitu." "Belum, terutama karena guru kita, Ichiro, menolak menyerahkannya. Dia jelas-jelas menunjukkan kalau dia tidak akan menyerahkan semua itu tanpa berjuang. Para pemimpin Otori enggan memulai keributan dengannya dan juga dengan para pengawal Shigeru-yang kini menjadi anak buahmu." Rasa lega menghinggapiku karena tahu Ichiro masih hidup. Kuharap dia segera datang ke biara agar dapat aku lindungi. Sejak salju mencair, setiap hari aku mengharapkan kedatangannya. "Mereka juga takut pada penduduk kota," Gemba menyela. "Mereka tidak ingin memicu pemberontakan." "Mereka lebih senang menyusun rencana jahat secara sembunyi-sembunyi," kataku. "Menurut kabar, mereka hendak bernegosiasi denganmu," kata Kahei. "Mereka sudah mengutus orang untuk bertemu denganmu?" "Aku tidak mendengar apa pun dari mereka. Lagipula, tidak ada yang perlu dinegosiasikan. Mereka yang bertanggung jawab atas kematian Shigeru. Mereka mencoba membunuhnya dan ketika gagal, mereka menyerahkannya pada Iida. Aku tak akan melakukan kesepakatan apa pun, meskipun mereka menawarkannya." "Apa strategimu?" tanya Kahei, matanya menyipit. "Tidak mungkin aku menyerang Otori di Hagi. Aku memerlukan sumberdaya yang lebih besar dari yang ada sekarang ini. Rasanya aku mesti mendekati Arai... tapi aku tak akan melakukannya sebelum Ichiro tiba di sini. Dia akan datang begitu jalan tidak bersalju lagi." "Utus kami ke Inuyama," ujar Kahei. "Bibiku menikahi orang kepercayaan Arai. Kami bisa mencari tahu apakah musim dingin telah mengubah sikap Arai padamu." "Bila tiba waktunya, aku akan meminta bantuan kalian untuk pergi kesana," aku berjanji, gembira mempunyai cara untuk mendekati Arai secara tidak langsung. Aku belum memberitahukan pada siapa pun kalau aku telah memutuskan bahwa pertama-tama aku akan temui Kaede di mana pun dia berada, untuk menikahinya dan membantunya mengambil alih Shirakawa dan Maruyama, jika dia masih menerimaku, jika dia belum menikah.... Seiring semakin dekatnya musim semi, kegelisahanku pun semakin meningkat. Cuaca berubah-ubah, hari ini cerah, keesokan harinya dingin. Pohon plum mekar dalam badai hujan. Bahkan di saat kuncup cherry mulai berkembang, udara masih sangat dingin. Tapi tanda-tanda musim semi mulai terlihat di mana-mana, khususnya di dalam darahku. Hidup disiplin selama musim dingin membuat kondisiku prima, fisik maupun mental. Ajaran Matsuda, kasih sayangnya yang tidak pernah pupus, pengetahuan tentang darah Otoriku, semuanya telah memberiku rasa percaya diri yang baru. Aku agak terbebas oleh kepribadianku yang terbelah, aku tidak mengalami banyak kesukaran akibat kesetiaan yang saling berseteru. Aku tidak memperlihatkan kegelisahan yang menyiksaku. Aku belajar untuk tidak memperlihatkan apa pun pada dunia, namun saat malam datang, pikiranku hanya tertuju pada Kaede. Aku mendambakan dirinya; takut bila dia telah menikah dan menghilang dariku untuk selamanya. Ketika tak bisa tidur, aku menyelinap keluar, menjelajahi daerah di sekitar sini, terkadang hingga ke Yamagata. Meditasi, belajar dan latihan telah mempertajam kemampuanku; aku tidak takut lagi bila bertemu musuh. Makoto dan aku bertemu setiap hari untuk belajar bersama, tapi dengan kesepakatan untuk tidak saling bersentuhan. Persahabatan kami beranjak ke taraf lain, yang kurasa akan bertahan seumur hidup. Aku pun tidak tidur dengan perempuan lain. Selain karena tidak dibolehkan di biara, aku takut ada pembunuh menangkapku di rumah bordil, dan juga karena aku tidak ingin punya anak lagi. Aku sering teringat Yuki. Aku tak bisa menghentikan diriku melewati rumah orangtuanya di satu larut malam gelap di bulan kedua. Bunga pohon plum berkilauan putih di kegelapan, namun tidak ada cahaya di dalam rumah dan hanya satu penjaga di gerbang. Kini rumah itu sunyi. Bahkan aroma kedelai fermentasi pun memudar. Aku memikirkan anakku dari Yuki. Aku yakin anakku adalah anak laki-laki, anak yang akan dibesarkan Tribe dan akan dididik untuk membenciku dan kemungkinan ditakdirkan untuk memenuhi ramalan si perempuan buta. Meskipun telah mengetahui masa depanku, bukan berarti aku bisa lolos: inilah bagian paling menggetirkan dari hidup manusia. Aku ingin tahu di mana Yuki sekarang-mungkin jauh di desa tersembunyi di utara Matsue-dan aku seringkali teringat pada ayah Yuki, Kenji. Dia mungkin tidak jauh, mungkin di salah satu desa Muto di pegunungan, tanpa menyadari bahwa jaringan rahasia tempat persembunyian Tribe telah terungkap dalam catatan yang Shigeru tinggalkan dan aku telah mempelajarinya selama musim dingin ini. Aku masih tak yakin apa yang akan kulakukan dengan pengetahuan ini, apakah aku akan mengambil keuntungan untuk mendapatkan Arai atau menggunakannya untuk memusnahkan organisasi rahasia yang telah mengeluarkan hukuman mati padaku. Dulu Kenji pernah bersumpah untuk melindungiku. Aku anggap janjinya hanyalah bagian dari sifatnya yang penuh tipu daya dan aku tak memaafkan atas keterlibatannya dalam pengkhianatan pada Shigeru. Tapi aku juga sadar tanpa dia, aku tidak bisa balas dendam. Aku tidak bisa lupa bahwa dia mengikutiku kembali ke kastil malam itu. Jika bisa memilih bantuan seseorang, dialah pilihanku, tapi kurasa dia tak mau melanggar aturan Tribe. Seandainya aku bertemu dengannya, kami pasti akan saling membunuh. Saat dalam perjalanan pulang setelah fajar menyingsing, aku mendengar seekor serigala yang terengah dan kaget di jalan setapak. Hewan itu hanya mendengar tanpa bisa melihatku. Aku cukup dekat untuk melihat bulu kemerah-merahan terang di balik telinganya, cukup dekat untuk mencium napasnya. Dia menggeram ketakutan, mundur, berbalik dan menyelinap ke dalam semak belukar. Dapat kudengar dia berhenti dan mengendus-endus lagi, penciumannya setajam pendengaranku. Dunia indera kami saling melengkapi, duniaku dikuasai pendengaran, sedangkan dunianya dikuasai penciuman. Aku ingin tahu seperti apa rasanya memasuki alam serigala yang liar dan terpencil. Di Tribe aku dipanggil si Anjing, tapi aku lebih suka membayangkan diriku seperti serigala, tidak dimiliki siapa pun juga. Menjelang pagi, aku melihat Raku, kuda kesayanganku. Hari itu adalah akhir bulan ketiga, ketika kuncup cherry mulai bermekaran. Aku sedang mendaki jalan terjal saat langit mulai terang, mataku menatap puncak gunung yang masih ditutupi salju, yang berubah merah jambu dalam cahaya matahari. Aku melihat beberapa kuda berbaris di luar sebuah penginapan. Nampaknya belum ada orang yang bangun meskipun aku mendengar ada jendela dibuka dari salah satu sisi halaman. Aku memperhatikan kuda-kuda itu dan, di waktu bersamaan aku mengenali bulu abu-abu dan surai hitam Raku. Kuda itu membalikkan kepala, melihatku dan meringkik gembira. Raku telah kuhadiahkan untuk Kaede; hanya kuda itulah satu-satunya hartaku yang tertinggal setelah jatuhnya Inuyama. Apakah Kaede telah menjual atau menghadiahkan kuda itu pada orang lain? Ataukah Raku yang membawa Kaede kemari untukku? Di antara istal dan kamar tamu penginapan terdapat halaman kecil yang ditumbuhi pohon pinus, dan ada sebuah lentera batu. Aku melangkah ke dalam. Ada yang sudah bangun; dapat kudengar napasnya di balik jendela. Aku berjalan ke beranda, nekad ingin tahu apakah orang itu adalah Kaede, dan di waktu bersamaan aku pun yakin akan segera melihat gadis yang sangat kurindukan itu. Dia bahkan terlihat lebih cantik dari yang kuingat. Sakit telah membuat dia lebih kurus dan rapuh, tapi memunculkan keindahan tulangnya, kerampingan lengan dan lehernya. Gemuruh jantungku menghentikan dunia di sekelilingku. Kemudian, menyadari bahwa ada sedikit waktu bagi kami berdua sebelum penghuni lain bangun, aku mendekat dan berlutut di hadapannya. Semuanya berjalan begitu singkat karena aku mendengar ada orang yang bangun. Aku lalu menghilangkan diri dan menyelinap pergi. Aku mendengar desah ketakutan Kaede dan menyadari aku belum menceritakan kemampuan menghilang yang kumiliki. Begitu banyak yang masih harus kami bicarakan; apakah kami akan memiliki cukup waktu? Genta angin berbunyi saat aku lewat di bawahnya. Raku menatap ke arahku, namun tidak dapat melihat diriku. Kemudian tubuhku muncul kembali. Aku mendaki bukit dengan penuh semangat seolah-olah aku baru meneguk minuman ajaib. Kaede ada di sini. Dia belum menikah. Dia akan menjadi milikku. Seperti yang kulakukan setiap hari, aku pergi ke pemakaman dan berlutut di depan makam Shigeru. Di pagi hari seperti ini, keadaan sunyi-senyap, cahaya bersinar temaram di bawah pepohonan cedar. Matahari menyentuh ujung pepohonan; di seberang bukit, kabut menggantung sepanjang sisi-sisi lereng sehingga puncak gunung terlihat mengambang di atas kabut. Air terjun tetap mengoceh tiada henti, digemakan oleh percikan air lembut yang mengalir melalui parit menuju kolam dan tanki air di taman. Dapat kudengar para biarawan berdoa, timbul dan tenggelam untaian sutra, kumandang jernih yang tiba-tiba dari sebuah lonceng. Aku senang Shigeru dimakamkan di tempat yang damai ini. Aku berbicara pada arwahnya untuk meminta kekuatan dan kearifannya. Aku ceritakan padanya tentang apa yang dia pasti sudah tahu, bahwa aku akan memenuhi permintaan terakhirnya. Dan, pertama-tama, aku akan menikahi Shirakawa Kaede. Tiba-tiba terjadi getaran kuat seperti gempa bumi. Aku dicengkram oleh kepastian bahwa aku sedang melakukan hal yang benar, dan juga oleh perasaan mendesak. Kami harus segera menikah. Perubahan nada air membuatku memalingkan kepala. Di kolam besar, ikan berenang hilir mudik sehingga mirip permadani merah emas yang berkelap-kelip. Makoto sedang memberi makan ikan-ikan itu, wajahnya tenang. Merah dan emas mengisi mataku, warna keberuntungan, warna pernikahan. Melihat aku sedang menatapnya, dia memanggil, "Ke mana saja kau? Kau ketinggalan makan pagi." "Nanti saja." Aku berdiri dan berjalan ke arahnya. Aku tak bisa menyimpan rasa gembiraku. "Lady Shirakawa ada di sini. Maukah kau bersama Kahei menemaninya ke rumah tamu untuk perempuan?" Dia melemparkan kue mochi terakhir ke dalam kolam. "Akan kupanggil Kahei. Lebih baik aku tidak ikut. Aku tak ingin mengingatkan Kaede pada sakit yang kutimbulkan pada dirinya." "Mungkin kau benar. Ya, panggillah Kahei. Biar mereka yang membawa Kaede ke sini sebelum siang." "Mengapa dia di sini?" tanya Makoto. "Dia hendak ziarah, dia hendak mengucapkan syukur atas kesembuhannya. Tapi karena dia sudah di sini, aku berniat menikahinya." "Begitu saja?" Dia tertawa tanpa rasa senang. "Mengapa tidak?" "Pengalamanku tentang pernikahan sangat sedikit, tapi aku yakin dalam keluarga terpandang seperti Shirakawa atau, juga, Otori, harus ada pemberian restu, pemimpin klan pun harus menyetujuinya." "Akulah pemimpin klan dan akan kuberikan restuku," kataku ringan, merasa kalau Makoto sedang mengangkat masalah yang tidak perlu. "Keadaanmu memang agak berbeda. Tapi siapakah yang dipatuhi Lady Shirakawa? Keluarganya mungkin saja punya rencana lain." "Dia tidak mempunyai keluarga lagi." kemarahanku mulai muncul. "Jangan bodoh, Takeo. Semua orang punya keluarga, apalagi bagi gadis yang mewarisi wilayah yang luas." "Aku berhak dan memiliki kewajiban moral untuk menikahinya karena dia telah ditunangkan dengan ayah angkatku." Suaraku mulai memanas. "Kehendak Shigeru yang menginginkan aku berbuat demikian." "Jangan marah," kata Makoto setelah diam sejenak. "Aku tahu perasaanmu padanya. Aku hanya mengatakan apa yang semua orang akan katakan." "Dia juga mencintaiku!" "Cinta tak ada hubungannya dengan pernikahan." Dia menggeleng-gelengkan kepala, memandangku seolah-olah aku anak kecil. "Tak ada yang bisa menghentikanku! Dia di sini. Tak akan kubiarkan dia pergi dariku lagi. Kami akan menikah minggu ini." Lonceng berdentang dari biara. Seorang biarawan tua berjalan melintasi halaman sambil menegur ke arah kami. Makoto tetap menjaga suaranya rendah, tapi aku berbicara dengan keras dan memaksa. "Aku harus bermeditasi," kata Makoto. "Mungkin kau juga. Pikirkan lagi sebelum bertindak." "Tekadku sudah bulat. Pergi dan bermeditasilah! Aku akan memanggil Kahei. Dan setelah itu, aku akan bicara dengan Kepala Biara." Aku langsung sadar kalau aku sudah terlambat untuk bertemu Kepala Biara guna berlatih pedang. Aku bergegas mencari kakak-beradik Miyoshi, dan memanggil mereka yang sedang menuruni bukit ke tempat pandai besi. "Lady Shirakawa?" kata Kahei, "Elmankah berjalan di dekatnya?" "Mengapa kau berkata begitu?" tanyaku kasar. "Jangan tersinggung, Takeo, tapi semua orang tahu tentang dia. Dia membawa kematian bagi laki-laki." "Hanya bagi mereka yang memiliki hasrat padanya," Gemba menambahkan, kemudian menatapku sekilas, dia melanjutkan, "Itulah yang orang-orang katakan!" "Dan orang-orang juga mengatakan dia begitu cantik sehingga tak mungkin menatapnya tanpa memiliki hasrat padanya." Kahei memandang ragu. "Kau mengutus kami pada kematian yang tak terelakkan." Aku tak bersemangat membalas lelucon itu, tapi perkataan mereka makin menyadarkanku betapa pentingnya pernikahan kami. Kaede pernah mengatakan bahwa dia hanya akan aman bila bersamaku dan aku mengerti alasannya. Hanya menikah denganku yang dapat menyelamatkan dia dari kutukan yang tampak menyertainya. Aku tahu dia tak akan berbahaya bagiku. Laki-laki lain yang berhasrat padanya sudah mati, tapi aku telah bersamanya dan aku masih hidup. Aku tak akan menjelaskan semua ini pada kakak beradik Miyoshi. "Bawa dia ke rumah tamu yang khusus diperuntukkan bagi perempuan sesegera mungkin," kataku singkat. "Pastikan jangan sampai satu pun anak buahnya ikut dan juga pastikan Kondo Kiichi dan Muto Shizuka pergi hari ini juga. Kaede akan membawa seorang pelayan. Perlakukan mereka dengan hormat. Sampaikan padanya bahwa aku akan menemuinya sekitar waktu Monyet*." "Takeo, kau tak kenal takut," gerutu Gemba. "Lady Shirakawa akan menjadi isteriku." Ucapanku membuat mereka kaget. Mereka menatapku dan menutup mulut rapat-rapat. Mereka membungkuk resmi dan berjalan tanpa bicara sampai di pos jaga, di mana ada lima atau enam orang. Saat di luar gerbang, mereka membuat lelucon yang menyinggung diriku, tanpa sadar kalau aku bisa mendengarnya. Mereka menyamakan Kaede dengan belalang betina yang melahap pasangannya. Aku hendak mengejar dan memberi mereka pelajaran, tapi aku sudah terlambat untuk menghadap Kepala Biara. Seraya mendengar tawa mereka sayup-sayup, aku bergegas ke aula tempat latihan. Kepala Biara sudah menunggu di sana, mengenakan jubah rahibnya. Aku masih dalam balutan pakaian kasar. Aku mengenakan pakaian penjelajah-malamku: mirip seragam hitam Tribecelana selutut, pembalut kaki, dan sepatu yang memiliki pemisah ibu jari yang juga bisa dipakai untuk bertarung dengan pedang atau melompat ke atas dinding dan berlari di atap. Matsuda tampak tak terbebani oleh rok dan lengan jubahnya yang panjang. Aku biasanya menyelesaikan latihan dengan terengah-engah dengan keringat membasahi yang sekujur tubuhku. Sedangkan dia begitu tenang dan tidak berkeringat, seakan dia tidak melakukan gerakan apa pun, seakan dia hanya duduk berdoa. Aku berlutut di hadapannya, meminta maaf atas keterlambatanku. Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang aneh, tapi tidak berkata apa-apa, kepalanya menunjuk ke tongkat kayu. Kuambil tongkat dari rak. Tongkat ini berwarna gelap, nyaris hitam, lebih panjang dan lebih berat dari Jato. Sejak berlatih setiap hari dengan tongkat ini, tanganku semakin kuat dan luwes, dan luka di tangan kananku akibat bertarung melawan Akio kini telah sembuh. Awalnya tongkat ini terasa seperti kuda liar yang tidak mau mengikuti tali kekangnya; sedikit demi sedikit aku belajar mengendalikannya hingga dapat kumainkan setangkas aku menggunakan sepasang sumpit. Ketepatan dalam latihan sama pentingnya seperti pertarungan yang sesungguhnya, karena satu gerakan salah dapat meretakkan tengkorak atau mematahkan tulang rusuk. Kami tidak memiliki cukup orang untuk mengambil resiko terbunuh dan terluka dalam latihan. Gelombang keletihan menerpa saat aku mengangkat tongkat membentuk posisi menantang. Aku belum tidur semalaman dan belum makan sejak pagi. Kini aku membayangkan Kaede, melihat sosoknya seperti saat aku melihat dia tadi pagi, sedang berlutut di beranda. Aku mendapatkan kembali energiku. Sekejap saja aku sadari betapa pentingnya dia bagiku. Biasanya aku bukan tandingan Matsuda. Tapi sesuatu telah mengubahku, sesuatu yang memungut semua unsur latihan dan mengumpulkannya menjadi satu kesatuan: satu semangat kuat, tak bisa dihancurkan, yang memancar dari inti tubuhku dan mengalir ke lenganku. Untuk pertama kalinya kusadari kalau aku empat puluh tahun lebih muda dibanding Matsuda. Aku melihat ketuaan dan kerapuhannya. Aku merasa iba kepadanya. Aku membatalkan serangan dan membiarkan tongkatku jatuh. Saat kejadian itu, tongkat Matsuda menemukan daerah badanku yang tak terlindungi, menyerang sisi leherku, dengan satu pukulan yang membuatku pusing. Untung saja dia tak memukulku dengan kekuatan penuh. Matanya, yang biasanya teduh, kini menyala-nyala karena marah. "Pukulan itu memberimu pelajaran," dia berkata kesal. "Pertama, kau tak boleh lambat dan kedua, jangan biarkan kelembutan hatimu muncul saat sedang bertarung." Ketika aku membuka mulut hendak bicara, dia langsung menyela. "Jangan membantah. Aku telah meluangkan waktu untuk melatihmu, tapi kau malah merusaknya. Mengapa? Bukan karena kasihan padaku, kuharap?" Aku menggeleng. Dia menghela napas. "Kau tak bisa membohongiku. Aku melihat itu di matamu. Aku melihat bocah laki-laki yang kemari tahun lalu dan tergerak oleh Sesshu. Seperti itukah yang kau inginkan? Menjadi seniman? Aku pernah mengundangmu kemari untuk belajar dan menggambar itukah yang kau inginkan?" Aku enggan menjawab, tapi dia menunggu tanggapanku. "Sebagian dari diriku mungkin menginginkannya, tapi tidak sekarang. Pertama aku harus menjalankan perintah Shigeru." "Kau yakin? Maukah kau berjanji pada dirimu sendiri untuk melakukannya sepenuh hati?" Aku mendengar keseriusan nada bicaranya dan aku menjawab dengan nada yang serupa. "Ya, aku berjanji." "Kau akan memimpin banyak orang, beberapa orang akan mati. Yakinkah kau hendak melakukan itu? Jika kau memiliki kelemahan, Takeo, maka itulah kelemahanmu. Kau mudah merasa iba. Seorang ksatria harus memiliki karakter yang tak mengenal ampun. Banyak orang yang mengikutimu akan mati dan kau pun akan membunuh banyak orang. Sekali kau terjun ke jalan ini, kau harus menjalaninya sampai akhir. Kau tidak bisa membatalkan seranganmu hanya karena kau merasa iba pada lawanmu." Aku dapat merasakan rona bersemu di wajahku. "Aku tak akan melakukannya lagi. Aku tak bermaksud menghinamu. Maaf." "Akan kumaafkan bila kau bisa menunjukkan gerakan itu lagi dan menyelesaikannya." Dia mengambil posisi menantang, matanya menatap lurus ke mataku. Aku tidak cemas membalas tatapannya: dia tak pernah terlena oleh daya tidur Kikuta dan aku tak pernah mencoba memperdayainya. Aku pun tak pernah secara sengaja menggunakan kemampuan menghilangku atau sosok keduaku padanya, meski kadangkala, dalam panasnya pertarungan, aku merasakan bayanganku mulai menyelinap muncul. Tongkatnya bergerak bagaikan kilat menembus udara. Aku lalu berhenti memikirkan apa pun kecuali musuh di depanku dan tusukan tongkatnya, lantai di bawah kaki-kaki kami. Ruang latihan kami dipenuhi berbagai gerakan yang menyerupai tarian. Dan dua kali aku mencapai titik di mana aku menyadari keunggulanku, dan tak sekali pun aku gagal mengikuti seluruh gerakan itu. Ketika selesai latihan, Matsuda agak bersinar-sinar, mungkin karena cuaca musim panas. Saat kami menyeka keringat dengan handuk yang Norio bawakan, Matsuda berkata, "Aku tak menduga kau akan menjadi jago pedang, tapi kau telah melakukannya lebih baik dari yang kuharapkan. Bila kau berkonsentrasi, kau tidak buruk, sama sekali tidak buruk." Aku kehilangan kata-kata karena pujian yang luar biasa itu. Matsuda tertawa. "Jangan besar kepala dulu. Kita akan bertarung sekali lagi sore ini. Kuharap kau sudah menyiapkan strategi." "Baiklah, Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan." "Sesuatu yang berhubungan dengan Lady Shirakawa?" "Bagaimana kau tahu?" "Aku mendengar kabar dia dalam perjalanan kemari. Persiapan telah dilakukan agar dia bisa tinggal di rumah tamu khusus perempuan. Ini merupakan kehormatan bagi kami. Aku akan menemuinya nanti." Dia seperti berbicara santai, tapi aku cukup mengenal Matsuda: dia tidak melakukan sesuatu secara santai. Aku takut dia akan mencemaskan pernikahanku dengan Kaede seperti yang Makoto utarakan, tapi aku harus mengatakan padanya tentang niatku ini, cepat atau lambat. Semua potongan pikiran melintas di benakku dan kemudian terpikir olehku bahwa bila aku harus meminta restu pada seseorang, maka dialah orangnya. Aku berlutut dan berkata, "Aku bermaksud menikahi Lady Shirakawa. Bisakah kau memberi restu dan bisakah upacara itu dilangsungkan di sini?" "Itukah alasan Lady Shirakawa datang? Apakah dia datang dengan restu keluarga atau klannya?" "Tidak, dia kemari karena alasan lain-untuk mensyukuri kesembuhannya. Namun salah satu amanat Lord Shigeru yaitu aku harus menikahinya, dan kini takdir telah membawa Lady Shirakawa ke tempat ini untukku.... " Aku mendengar nada memohon dalam suaraku. Kepala Biara juga mendengarnya. Sambil tersenyum, dia berkata, "Bagimu itu tidak jadi masalah, Takeo. Tapi bagi gadis itu, menikah tanpa persetujuan dari klannya, dari Arai... Bersabarlah, mintalah ijin Arai. Tahun lalu dia ingin menikahkan kalian. Banyak alasan untuk berpikir kalau Arai masih menginginkan pernikahan ini." "Aku bisa dibunuh kapan saja!" teriakku. "Aku tidak ada waktu untuk bersabar! Lagipula, ada orang lain yang juga berniat menikahinya." "Apakah mereka sudah bertunangan?" "Tidak resmi. Tapi tampaknya orang itu berharap agar pernikahan segera dilangsungkan. Dia kerabat kaisar, dan tanahnya berbatasan dengan tanah Lady Shirakawa." "Fujiwara," Matsuda berkata. "Kau mengenalnya?" "Aku tahu siapa dia. Semua orang juga, kecuali yang setengah-terpelajar sepertimu. Dia memang sekutu yang sangat cocok. Wilayah mereka akan menyatu, anak Fujiwara akan mewarisi kedua wilayah, dan yang lebih penting lagi, karena Fujiwara hampir dipastikan akan kembali ke ibukota tak lama lagi, Arai nantinya akan memiliki sahabat di kekaisaran." "Ini tidak akan terjadi. Lady Shirakawa tidak akan menikah dengan Fujiwara. Dia akan menikah denganku, sebelum akhir Minggu ini!" "Mereka akan menghancurkanmu." Matanya terpaku ke wajahku. "Tidak, bila Arai berpikir aku dapat membantunya menghancurkan Tribe. Dan bila kami menikah, kami akan langsung ke Maruyama. Lady Shirakawa adalah pewaris sah wilayah Maruyama dan Shirakawa. Itu semua akan memberi sumberdaya yang kuperlukan untuk melawan pemimpin Otori." "Sebagai suatu strategi, rencanamu memang tidak buruk," kata Matsuda. "Tapi ada beberapa resiko: Arai bisa marah. Kurasa lebih baik bagimu bila tidak menentangnya, dan kau juga tak ingin mencari musuh baru seperti Fujiwara. Tindakanmu, dengan semua keberaniannya, bisa menghancurkan semua harapanmu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin melihat semua keinginan Shigeru terpenuhi. Layakkah pertaruhan ini?" "Tak ada yang bisa mencegahku untuk menikahinya," kataku dengan nada rendah. "Kau tergila-gila padanya. Jangan sampai itu mempengaruhi keputusanmu." "Aku lebih dari sekadar tergila-gila. Dialah hidupku dan akulah hidupnya." Kepala Biara menghela napas. "Di usia tertentu, kita semua berpikiran seperti itu tentang perempuan atau lainnya. Percayalah, ini tak akan bertahan lama." "Lord Shigeru dan Lady Maruyama tetap saling mencintai selama bertahun-tahun," kataku memberanikan diri. "Ya, ini pasti kegilaan yang ada dalam darah Otori," dia menjawab pedas, namun ekspresinya melembut dan matanya memperlihatkan pandangan merenung. "Benar," akhirnya Matsuda berkata. "Cinta mereka memang bertahan. Dan ini mencerahkan semua rencana dan harapan mereka. Jika mereka menikah dan mewujudkan persekutuan yang mereka impikan antara Wilayah Tengah dan Barat, siapa yang tahu apa yang tak mungkin mereka raih?" Dia menepuk-nepuk bahuku. "Rasa-rasanya arwah mereka telah memberi kesempatan yang kedua padamu dan Lady Shirakawa. Dan, aku tidak dapat mengabaikannya, karena menjadikan Maruyama sebagai basis sangat masuk akal. Maka, demi kepentingan para arwah, aku merestui pernikahan ini. Kau boleh mulai melakukan persiapan yang diperlukan." "Aku belum pernah melihat pesta pernikahan," aku mengakui, setelah aku bersujud untuk berterima kasih. "Apa yang perlu kulakukan?" "Perempuan yang menyertai Lady Shirakawa tahu. Tanyakan padanya. Kuharap aku belum pikun," dia menambahkan, sebelum menyuruhku pergi. Saat ini hari mendekati waktu makan siang. Aku pergi membersihkan badan dan mengganti pakaian. Aku berpakaian dengan hati-hati karena memakai kimono sutera yang ada simbol Otori di punggung. Kimono ini diberikan sewaktu aku tiba di Terayama setelah perjalananku menembus salju. Aku makan dengan pikirari terpecah, hampir tidak bisa menikmati makananku, sementara itu aku pun memasang telinga terus menerus untuk mendengar kedatangannya. Akhirnya aku mendengar suara Kahei di luar aula. Aku memanggilnya dan dia datang bergabung. "Lady Shirakawa sudah di rumah tamu," dia berkata. "Ada lima puluh orang lagi yang datang dari Hagi untuk bergabung dengan kita. Kita akan memberi mereka penginapan di desa. Gemba yang mengaturnya." "Akan kutemui mereka malam ini," kataku, hatiku melayang-layang mendengar kedua kabar itu. Aku tinggalkan Kahei yang hendak makan untuk kembali ke kamarku, di mana aku berlutut dan mengambil gulungan kertas yang Kepala Biara berpesan agar aku membacanya. Kurasa aku akan mati dalam ketidaksabaran sebelum aku bertemu Kaede lagi, namun perlahan-lahan aku terserap dalam seni perang: jumlah pertempuran yang menang dan kalah, strategi dan taktik, peran yang dimainkan oleh Surga dan Bumi. Masalah yang dirancang Matsuda adalah bagaimana mengambil alih kota Yamagata. Ini hanyalah masalah teoritis, tidak lebih; Yamagata masih di bawah kekuasaan Arai melalui gubernur penggantinya, meski ada beberapa laporan bahwa Otori berencana mengambil kembali bekas wilayahnya dan saat ini sedang menyusun pasukan bersenjata di perbatasan selatan dekat Tsuwano. Matsuda berniat mendekati Arai atas namaku dan menjalin perdamaian antara kami berdua, di mana aku kelak akan mengabdi pada Arai selagi menuntut warisan tahta Otori. Tapi aku juga waspada karena bila ternyata Arai semakin marah karena aku menikahi Kaede, mungkin aku perlu langsung merebut Yamagata. Hal ini menambah pemahamanku tentang strategi perang yang aku baca. Aku sangat mengenal Yamagata; aku telah menjelajahi setiap ruas jalannya; aku telah memanjat masuk ke dalam kastilnya. Dan aku tahu daerah di sekitarnya, gunung, bukit, lembah dan sungai-sungainya. Kesulitan utamaku yaitu sedikitnya anak buahku: seribu orang paling banyak. Yamagata adalah kota makmur, namun musim dingin telah menyengsarakan semua orang. Jika aku serang Yamagata di awal musim panas, bisakah kastil itu bertahan cukup lama? Apakah diplomasi akan membuat mereka menyerah bila ternyata cara paksa tidak berhasil? Apa keunggulan pasukanku? Selagi terus memikirkan masalah ini, pikiranku beralih pada si gelandangan Jo-An. Aku pernah mengatakan akan mencarinya di musim semi ini, tapi aku masih belum yakin apakah aku menginginkannya. Aku tak dapat melupakan tatapan lapar, penuh harapan di matanya, di mata si nelayan dan gelandangan lainnya. "Dia orangmu, sekarang," kata Jo-An tentang nelayan itu, "Begitu juga kami semua." Bagaimana bila aku memasukkan para gelandangan dalam pasukanku, atau para petani yang datang setiap hari untuk berdoa di makam Shigeru? Aku bisa saja mengikutsertakan mereka bila aku menghendakinya. Tapi, inikah yang akan dilakukan para ksatria? Belum pernah aku mendengar tentang pertempuran yang melibatkan petani. Biasanya mereka menghindari pertempuran, membenci dua belah pihak yang berperang sama besarnya dan mengambil semua yang ada pada orang yang tewas tanpa pandang bulu. Seperti yang sering terjadi, wajah petani yang pernah kubunuh di ladang rahasianya di bukit di balik Matsue melayang-layang di depan mataku. Aku mendengar dia memanggil, "Lord Shigeru!" Seperti juga yang lainnya, aku ingin membaringkan jasadnya agar beristirahat dengan tenang. Namun bayangan petani itu juga membawa keberanian dan keteguhan hati kawan-kawan petaninya ke dalam pikiranku, itu adalah sumberdaya yang kini tersiasiakan. Jika aku memanfaatkan para petani, apakah orang yang kubunuh akan berhenti menghantuiku? Petani di wilayah Otori, baik yang masih menetap di Hagi maupun di wilayah yang telah direbut Tohan termasuk Yamagata-sangat mencintai Shigeru. Mereka semua bangkit dalam kemarahan setelah kematiannya. Aku yakin mereka akan mendukungku, namun bila aku memanfaatkan mereka, maka kesetiaan para ksatria kemungkinan akan terbelah. Masalah Yamagata: jika aku berhasil menyingkirkan pimpinan pengganti sementara yang Arai tempatkan di kastil, akan ada kesempatan lebih besar bagi kota untuk menyerah tanpa pertempuran panjang. Apa yang aku butuhkan adalah seorang pembunuh yang bisa dipercaya. Tribe mengakui bahwa akulah satu-satunya yang mampu memanjat seorang diri ke dalam kastil Yamataga, hanya saja rasanya bukanlah skema yang bagus bagi pemimpin merangkap komandan melakukan tindakan itu. Konsentrasiku terpecah, mengingatkan bahwa aku belum tidur semalaman. Aku penasaran apakah aku bisa melatih para pemuda seperti cara Tribe melatih. Mereka mungkin tidak memiliki bakat, tapi kebanyakan kemampuan itu hanyalah masalah latihan semata. Dapat kulihat semua keuntungan dari jaringan mata-mata ini. Mustahilkah bila beberapa anggota Tribe yang tidak setia bisa dibujuk mengabdi padaku? tapi aku membuang pikiran itu untuk sementara ini. Seiring hari yang semakin hangat, waktu berjalan lebih lambat. Lalat-lalat yang terbangun dari tidur musim dingin berdengung di jendela. Aku dengar kicau burung yang memanggil-manggil dari hutan, terbangnya burung layang-layang dan gigitan paruh mereka saat menangkap serangga. Bunyi-bunyian biara bergumam di sekelilingku: langkah kaki, desiran jubah, timbul dan tenggelamnya rangkaian doa, nada jernih dari lonceng yang berdentang. Angin sepoi-sepoi bertiup dari selatan, penuh dengan keharuman musim semi. Dalam seminggu Kaede dan aku akan menikah. Hidup nampak bergelora di sekitarku, merangkulku dengan semangat dan energinya. Namun aku masih duduk di sini, tenggelam dalam pelajaran perang. Saat Kaede dan aku bertemu malam itu, kami hanya membicarakan tentang strategi. Kami tidak perlu membicarakan tentang cinta; kami akan menikah, kami akan menjadi suami-isteri. Tapi bila kami hidup cukup lama hingga punya anak, kami perlu bertindak cepat untuk menyatukan kekuatan kami. Instingku benar saat Makoto memberitahukan bahwa Kaede sedang membentuk pasukan, bahwa dia akan menjadi sekutu yang hebat. Dia sepakat denganku kalau kami harus langsung ke Maruyama; dia menceritakan pertemuannya dengan Sugita Haruki di musim gugur. Sugita sedang menanti kabar darinya, dan Kaede memberi saran untuk mengutus beberapa orangnya ke Maruyama guna memberitahukan Sugita tentang niat kami. Aku setuju, dan memikirkan si bungsu dari kakak beradik Miyoshi, Gemba, mungkin bisa pergi bersama mereka. Kami tidak mengirim pesan ke Inuyama: semakin sedikit yang Arai tahu tentang rencana kami, semakin baik. "Shizuka mengatakan bahwa pernikahan kita akan membuat Arai marah," kata Kaede. Aku tahu itu mungkin saja benar. Kami memang seharusnya bersabar. Mungkin jika kami mendekati Arai melalui cara yang tepat, melalui bibi Kahei atau melalui Matsuda atau Sugita, Arai mungkin akan mengambil keputusan yang menguntungkan kami. Tapi kami dicengkram oleh desakan keputusasaan, mengetahui kemungkinan betapa singkatnya hidup kami. Dan akhirnya, kami menikah beberapa hari kemudian, di kuil, dalam bayangbayang pepohonan yang mengelilingi makam Shigeru, menuruti keinginan ayah angkatku itu meskipun melanggar semua aturan yang berlaku di klas kami. Kurasa bila aku bisa membela diri, bahwa tak seorang pun dari kami berdua yang dibesarkan secara wajar. Kami berdua lolos dari kematian karena alasan yang berbeda. Kondisi ini memberi kami kebebasan untuk bertindak sesuka hati, tapi para tetua dari klas kami yang pasti akan menuntut balas. Cuaca terus menghangat dalam hembusan angin dari selatan. Di hari pernikahan, bunga cherry merekah penuh, membentuk kerumunan merah jambu dan putih. Anak buah Kaede diijinkan bergabung dengan anak buahku dan ksatria yang berderajat paling tinggi di antara mereka, Amano Tenzo, berbicara atas nama Kaede dan atas nama Klan Shirakawa. Saat Kaede dituntun ke kuil perawan, dia memakai busana merah dan putih, memperlihatkan kecantikan abadi seolah-olah dia orang suci. Entah bagaimana Manami mendapatkan busana itu. Aku menyebut namaku sebagai Otori Takeo dan menyebut Shigeru dan Klan Otori sebagai leluhurku. Kami bertukar mangkuk sake sebagai ritual, sebanyak tiga kali dan, secara bersamaan, dahan suci tertiup angin sehingga daunnya berguguran menjatuhi kami. Kejadian itu dianggap sebagai pertanda buruk, namun malam setelah pesta, ketika kami akhirnya berdua saja, kami tidak memikirkan pertanda tadi. Saat di Inuyama kami bercinta dalam keputusasaan yang liar, yakin tak akan hidup sebelum pagi. Namun kini, di Terayama yang aman ini, kami memiliki waktu untuk memberi dan menerima kerinduan secara perlahan. Kami membicarakan hidup kami setelah sekian lama terpisah, terutama tentang anak. Kami memikirkan jiwa anak kami yang akan. muncul kembali dalam siklus kelahiran dan kematian, dan kami pun mendoakannya. Aku menceritakan tentang kunjunganku ke Hagi dan pelarianku menembus salju. Aku tidak menceritakan tentang Yuki, dan dia pun menyimpan beberapa rahasia dariku, karena meskipun dia bercerita tentang Lord Fujiwara, namun dia tak menyinggung tentang rincian kesepakatan yang telah dibuat. Aku tahu Fujiwara telah memberi dia banyak uang dan makanan, dan hal itu membuatku cemas, karena orang itu pasti menganggap dirinya telah bertunangan dengan Kaede. Tulang punggungku terasa dingin, ini mungkin suatu pertanda, namun aku buang pikiran itu karena tidak ingin merusak kebahagiaanku. Aku terbangun menjelang fajar dan mendapati dia dalam pelukanku. Kulitnya yang putih, lembut di sentuhanku terasa hangat dan sekaligus dingin. Rambutnya begitu panjang dan tebal dengan wangi melati menutupi kami layaknya selendang. Sebelumnya dia seperti bunga di pegunungan yang tinggi, sangat jauh dari jangkauanku, namun kini dia di sini, dia milikku. Malam masih hening ketika suatu perusahaan meresap ke dalam hatiku. Mataku pedih karena air mata. Surga berbaik hati. Para dewa mencintaiku. Mereka telah memberikan Kaede padaku. Selama beberapa hari, Surga tetap tersenyum padalcu, memberi kami cuaca yang hangat dan lembut, setiap hari matahari bersinar cerah. Semua orang di biara tampalc bahagia, dari Manami yang berseri-seri senang saat mcmbawakan kami teh di pagi pertama. Kepala Biara yang melanjutkan lagi pelajaran, menggodaku tanpa ampun jika dia melihatku menguap karena mengantuk. Banyak orang datang membawa hadiah dan memberi ucapan selamat kepada kami, persis seperti yang dilakukan penduduk di desaku, Mino. Hanya Makoto yang mengeluarkan kata-kata berbeda. "Berbahagialah sekarang sepuas-puasnya," dia berkata, "Aku juga turut bahagia, percayalah, tapi aku takut ini tak akan berlangsung lama." Aku tahu itu: Aku pelajari itu dari Shigeru. Kematian datang tiba-tiba dan hidup itu rapuh dan singkat, begitulah yang dia katakan setelah menyelamatkan aku di Mino. Tak ada yang bisa mengubahnya meskipun dengan doa atau mantra. Semua itu justru semakin menambah kesadaran betapa cepatnya kebahagiaan ini mungkin akan berlalu. Bunga cherry mulai berguguran, hari-hari kian panjang seiring musim yang berubah. Musim dingin telah berganti: musim semi mulai menyambut datangnya musim panas dan musim panas adalah musim berperang. Ada lima peperangan yang menanti di hadapan kami, empat kali kemenangan dan satu kali kekalahan.*** TAMAT Catatan Kaki * Juggle: permainan yang menjaga agar 3 atau lebih obyek (bola atau lainnya) di udara dengan melempar dan menangkapnya. Permainan ini sering dipertunjukkan dalam sirkus. * Mochi (atau omochi) yaitu kue kecil yang terbuat dari beras. Kue ini dipanggang lalu disajikan dengan sup atau dibungkus dengan rumput laut. Makanan ini umumnya disajikan pada perayaan tahun baru. * Waktu Kambing: berkisar antara jam 13.00 s/d jam 15.00. * Orang Jepang percaya bahwa pada tanggal 13 sampai 15 Agustus roh leluhur mereka datang ke bumi, dan keluarga yang masih hidup berziarah ke makam untuk mendoakan serta menyediakan makanan bagi arwah keluarganya. * Atsumori: Kisah tentang Rensei yang memenggal Atsumori dalam perang. Karena menyesali perbuatannya, Rensei pun menjadi rahib. Arwah Atsumori yang marah menyerang Rensei dengan pedang, tapi kemarahan arwah itu reda karena doa-doa rahib Rensei sehingga mereka berdua pun berbaikan. * Fulling block (kinuta): Mengisahkan tentang seorang istri/kekasih yang kesepian karena terpisah, atau diabaikan oleh suami/kekasihnya. Bunyi tumbukan pakaian (agar lembut) menggemakan kerinduan dan juga emosi melankolis sang istri/kekasih. * Tauco = Bumbu masakan yang terbuat dari kedelai. * Minamoto Yoshitsune seorang pejuang yang berhasil membunuh penguasa jahat saat itu, Taira Kiyomori. Tapi kemudian dia dikhianati (tan dikejar oleh kakaknya serta sekutu-sekutunya. Yoshitsune akhirnya bunuh diri-setelah membunuh istri dan putrinya. * Kobumaki (rolled kelp) adalah kue yang terbuat dari ganggang dan umumnya di makan pada tahun baru. * Waktu Monyet: sekitar antara jam 15.00 s/d jam 17.00. Baca lanjutannya dalam buku: Kisah Klan Otori 3 Brilliance of the Moon Sumber Pdf: syauqy_arr@yahoo.co.id Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net